Untuk "Suatu" Metafora
(Catatan pendek penghantar diskusi Being Community)
“metaphor intrinsically transcendental”.
Frase di atas saya temukan dari buku History and Tropology: The Rise and Fall of Metaphor karya Ankersmit, F. R. Kalimat ini semakin menambah kurang paham saya ketika metafor dibaca dalam perspektif filsafat—seperti teman-teman Being mau—lengkap dengan sejarah, tokoh dan cabang ranah pemikirannya. Sejauh ini, sebagai penulis dan penyuka sastra (puisi), saya memperlakukan metafor sebagai alat untuk membebaskan dan menghadirkan imajinasi dalam puisi-puisi saya. Soal perspektif filsafatnya, biar Being nanti membingkainya dan teman-teman sendiri yang bertanggung jawab mempersoalkannya.
Merunut kepada F. R. Kalimat, metafor adalah proposing that we see one thing in terms of another, sebuah perangkat kata, frase, atau bahasa yang bisa menghantarkan makna yang mendua dan lebih. Apakah makna mendua tadi sebagai absurditas ataupun ambivalensi adalah bergantung kepada interpretasi-interpretasi yang hadir berikutnya. Yang jelas bahwa kehadiran makna yang terikat (meaning-governed) dan makna yang bisa dibuat (meaning-making) akan menjadi salah satu yang menyertai laku metafor.
Dalam keseharian hidup sulit menggindar dari kelindan metafor. Dan ajaibnya, hidup itu sendiri memang metafor, dalam artian yang luas. Ia menyusun makna sendiri di balik simbol-simbol yang ada di dalamnya, baik menjadi makna referensi ataupun makna tekstual. Dalam konteks inilah metafor menjadi perlu dibicarakan agar ‘kekayaan’ dan kembang kehidupan itu bisa didiskusikan dan dipahami.
Sebagai seorang penulis puisi, saya kerap menemukan metafor sebagai media yang bisa merancang dan menemukan impossile world yang hendak saya ciptakan. Upaya untuk melangkah ke sana, saya kerap memperlakukan bahasa, dengan simbol-simbolnya, hadir sebagai sosok yang ambigu dan ambivalen. Saya merasakan teks yang bisa lepas dari makna referensial (makna dari luar bahasa) namun melulu mengacu kepada makna tekstualnya, makna yang ditimbulkan dalam-bahasa tanpa mengaitkan kepada yang di luar (bahasa), menjadi satu-satunya kunci saya bisa bermain bebas dengan metafor. Metafor akan muncul dalam tugasnya yang menyurutkan kekuatan mainstrim referensial yang kerap mengklaim.
Dan, metafor tidak boleh hanya menjadi menara bahasa yang tak boleh disentuh. Namun ia harus ditarik ke dalam interpretasi dan pemaknaan. Sehingga, dalam konteks ini, Paul Ricoeur (dari Ignas Kleden, 2004: 161) memberikan cirikhas metafor yang penting sekali dikaji, yaitu (munculnya) keteganangan di antara fungsi identifikasi dan fungsi prediksi, atau dengan istilah mudah, antara subjek dan predikat. Identifikasi berfungsi membatasi, sedangkan prediksi membuka kembali pembatasan. Dua istilah ini akan sangat pas ketika dikontekskan dalam pengkajian karya sastra seperti cerpen atau pun novel. Upaya Ricoeur ini hanya ingin memetakan kerja metafor demi mencapai makna yang maksimal.
Bagi saya, metafor sangat penting ada. Ia akan menjadi pelentur (purifier) di tengah ketegangan-ketegangan pemaksaan pemahaman yang dikalim oleh satu atau dua orang tentang makna otoritas. Di tengah orang-orang mempersoalkan materi, uang, jabatan, kekuasaan, dan bahkan kekerasan, seorang penyair, orang yang selalu bergulat dengan metafor, akan menjadi sosok lain, yang bebas dari kesibukan-kesibukan yang dipaksakan oleh dunia dan sistem-sistemnya. Beginilah yang kemudian memaksa penyair terus bergulat mencairkan yang keras dan mendinginkan tensi, tidak mempersoalkan yang berat.
Begitu juga metafor, menyusup ke dalam setiap bahasa dengan kapasitasnya yang lentur sehingga semua orang bisa menemukannya namun kadang sulit memahaminya. Ya, memang benar bahwa metaphor intrinsically transcendental.
Yogyakarta, Selasa, Februari 10, 2009
Bernando J. Sujibto
Jumat, 25 Februari 2011
Pasar Malam (bukan) Sekaten
Setiap mendekati bulan Maulud, sebagai cara memhormati makna sebuah kelahiran: kelahiran Sang Utusan Muhammad SAW, Alun-Alun yang telah menjadi simbol kebesaran sejarah kerajaan di Yogyakarta itu pasti selalu ramai, dipadati bukan hanya oleh penduduk lokal setempat, tapi para pendatang dari luar daerah pun berjejalan bertandang menikmati khazanah kebesaran Yogyakarta di balik untaian tradisi.
Mengantarkan seorang teman asal Korea Selatan berkeliling Yogyakarta, dua Alun-Alun di Kota Yogyakarta selalu menjadi salah satu rujukan sebagai ruang pubik yang bisa mengakses “keterbukaan Yogyakarta” di samping desain arsitektur dan tata ruangnya yang memincut mata para pengunjung. Alasan ini menjadi keyakinan saya untuk mengenalkan sebuah tradisi yang saat-saat sekarang mengisi Alun-Alun Utara.
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) nama kerennya yang sekarang dikenal banyak orang. Pasar malam untuk tahun ini dihelat sejak 7 Januari hingga 16 Februari 2011, berlokasi di area Keraton Ngayokyakarta yang telah menjadi simbol kebesaran bagi Daerah Istimewa ini. Perayaan Sekaten selalu akan memberikan warna dan kesan yang berbeda bagi masyarakat, tidak seperti laiknya pasar malam rakyat di daerah lain di Indonesia. Sekaten berdiri di atas pungguk sejarah yang panjang, sejarah kerajaan Yogyakarta dan sejarah Islam yang berlebur di tengah pergulatan budaya Kejawen. Lanskap inilah yang kemudian memberikan ruang dan diskursus berbeda terhadap perayaan Sekaten.
Namun saat ini, saya lebih nyaman menyebut perayaan ini dengan sebutan Pasar Malam, bukan Sekaten. Sekaten hanya menjadi polesan nama kebesaran tradisi yang mendomplang kepada keajegan kraton. Padahal praktiknya, perayaan selama sebulan penuh itu, adalah sepenuhnya pasar dan transaksi ekonomi. Meskipun memang sejak pertama kali saya datang ke Yogyakarta, perayaan ini kerap diperdengarkan dengan sebutan Sekatenan, kali ini, setelah lebih lima tahun berada di kota gudeg, saya semakin hati-hati menyebutkan nama tradisi untuk setiap perhelatan besar yang sebenarnya minus nilai-nilai tradisi itu sendiri.
Dalam setiap perhelatannya, Sekaten selalu akan menjadi lahan kontestasi yang empuk bagi kepentingan pasar dan kapital. Berbagai jenis “hantu-hantu” ekonomi dengan kemasan dan desain terbaru masuk begitu saja dan mengambil peran yang dominan dalam perayaan Sekaten. Sehingga dari waktu ke waktu, perayaan Sekaten terus dilacurkan ke tengah kepentingan pasar tanpa kontrol yang jelas, tergerus dari nilai-nilai lokal yang telah menjadi prinsip di balik kebesaran Sekaten. Jika kita sekarang datang ke Sekaten, unsur dan simbol Islam sangat sulit ditemukan, begitu juga dengan budaya lokal Kejawen. Paling kita hanya akan mendapati panggung keseniaan di tengah Alun-Alun yang mementaskan beragam keseniaan Kraton Yogyakarta dengan minus penonton.
Sebagai pengunjung bersama seoarang turis, keinginan menyaksikan secara langsung sisi-sisi unik di balik Sekaten selalu akan menjadi pertanyaan pertama. Saya berinisiatif mencarikan sisi-sisi unik di balik perhelatan saat ini. namun, dalam perayaan Sekaten sekarang, saya tidak bisa secara leluasa menunjukkan “sisi-sisi unik” tersebut, selain hanya menunjukkan beberapa pementasan kesenian yang minus penonton itu, masuk ke kios Dewan Keseniaan Yogyakarta, dan sisanya mondar mandir begitu saja di tengah tumpukan kios pasar dengan bunyi-bunyian masing-masing. Benar, saya nyaris tidak menemukan unsur-unsur Sekaten itu. Yang kutemukan adalah pasar dan pasar!
Syahadatain
Simbol Islam yang konon mendasari di balik sejarah Sekaten memang sangat sulit kita temukan sekarang. Terma Sekaten dengan mencangkok kata “syahadatain” (dua syahadat) di mana dalam agama Islam dua syahadat ini menjadi laku utama dalam setiap orang yang hendak masuk Islam ataupun menyatakan diri sebagai orang Islam sudah seperti kehilangan substansi. Sekaten yang pada awalnya dijadikan oleh masyarakat untuk mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin, melalui tontonan, syiar, dan sentuhan musik tradisional gemelan, kini sudah berubah secara signifikan menjadi arena hura-hura pasar keserakahan industri kapital.
Padahal secara jelas, sejarah Sekaten disebutkan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 bulan Maulud, atau bulan ketiga dari tahun Jawa. Sekaten dikenal sebagai upacara sebelum sampai kepada pesta inti yaitu perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Sejarah Sekaten dengan spirit yang sama sebagai bentuk perayaan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW juga dirayakan di Keraton Surakarta dalam waktu yang bersamaan.
Salah satu ornamen paling inti di balik perayaan Sekaten sebenarnya adalah simbol Masjid Agung yang ada di kedua daerah, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Artinya, “nilai-nilai masjid”—dalam artian integrasi Islam dengan kultur lokal—harus menjadi bagian terpenting di balik Sekaten, dan masyarakat yang mengunjungi perayaan Sekaten harus dipertemukan dengan unsur penting ini. Praktik justifikasi lokalitas seperti ini bisa dilihat diantaranya melalui “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, lalu pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Yogyakarta. Ritual penutup adalah Grebeg. Masjid dan gamelan, dalam perayaan Sekaten, menjadi identitas sebagai simbol keislaman dan sekaligus budaya lokal-Jawa.
Kesadaran ihwal ini harus dimunculkan memalui banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah ataupun pelaksana perayaan Sekaten, seperti ornamen-ornamen khusus yang bisa disampaikan melalui gambar-gambar slide semi naratif yang memungkinkan pengunjung bisa dengan mudah mendapatinya di setiap sudut area perayaan Sekaten. Sehingga suasana Sekaten yang substansial bisa merasuk ke dalam kesadaran kultural masyarakat Yogyakarta dan perayaan yang memakan waktu panjang ini tidak hanya melulu menjadi arena kepentingan sesaat: pasar, budaya poluler, dan arus budaya massa yang semakin tak terkendali. Upaya ini perlu dilakukan demi menjaga substansi khazanah kultur masyarakat Yogyakarta yang teramat kaya ini dari berbagai pengaruh budaya luar yang secara serta merta menggerus nilai-nilai budaya lokal tapa ada filterisasi dan defensisasi dari masyarakat lokal sendiri.
Kebudayaan masyarakat Jawa, oleh Romo Frans Magnis-Suseno (1991: 1), disebut sebagai kebudayaan yang membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hipotesis seperti ini menunjukkan bahwa masayarat Jawa secara umum harus sudah menyiapkan benteng diri yang kuat demi menetralisir arus kultur hibrida yang datang dari berbagai latar belakang bangsa dan negara. Sehingga untuk mempertahankan keaslian khazanah kebudayaan Jawa perlu suatu proses yang terus-menerus dan konsiten yang semua itu dilandasi kepada proses pembelajaran kebudayaan dan eksistensi pendidikan yang nantinya bisa memberikan ruang pubik yang mencerahkan dan rasional dalam setiap lakon tradisi lokal yang tengah dilangsungkan.
Bernando J. Sujibto
Setiap mendekati bulan Maulud, sebagai cara memhormati makna sebuah kelahiran: kelahiran Sang Utusan Muhammad SAW, Alun-Alun yang telah menjadi simbol kebesaran sejarah kerajaan di Yogyakarta itu pasti selalu ramai, dipadati bukan hanya oleh penduduk lokal setempat, tapi para pendatang dari luar daerah pun berjejalan bertandang menikmati khazanah kebesaran Yogyakarta di balik untaian tradisi.
Mengantarkan seorang teman asal Korea Selatan berkeliling Yogyakarta, dua Alun-Alun di Kota Yogyakarta selalu menjadi salah satu rujukan sebagai ruang pubik yang bisa mengakses “keterbukaan Yogyakarta” di samping desain arsitektur dan tata ruangnya yang memincut mata para pengunjung. Alasan ini menjadi keyakinan saya untuk mengenalkan sebuah tradisi yang saat-saat sekarang mengisi Alun-Alun Utara.
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) nama kerennya yang sekarang dikenal banyak orang. Pasar malam untuk tahun ini dihelat sejak 7 Januari hingga 16 Februari 2011, berlokasi di area Keraton Ngayokyakarta yang telah menjadi simbol kebesaran bagi Daerah Istimewa ini. Perayaan Sekaten selalu akan memberikan warna dan kesan yang berbeda bagi masyarakat, tidak seperti laiknya pasar malam rakyat di daerah lain di Indonesia. Sekaten berdiri di atas pungguk sejarah yang panjang, sejarah kerajaan Yogyakarta dan sejarah Islam yang berlebur di tengah pergulatan budaya Kejawen. Lanskap inilah yang kemudian memberikan ruang dan diskursus berbeda terhadap perayaan Sekaten.
Namun saat ini, saya lebih nyaman menyebut perayaan ini dengan sebutan Pasar Malam, bukan Sekaten. Sekaten hanya menjadi polesan nama kebesaran tradisi yang mendomplang kepada keajegan kraton. Padahal praktiknya, perayaan selama sebulan penuh itu, adalah sepenuhnya pasar dan transaksi ekonomi. Meskipun memang sejak pertama kali saya datang ke Yogyakarta, perayaan ini kerap diperdengarkan dengan sebutan Sekatenan, kali ini, setelah lebih lima tahun berada di kota gudeg, saya semakin hati-hati menyebutkan nama tradisi untuk setiap perhelatan besar yang sebenarnya minus nilai-nilai tradisi itu sendiri.
Dalam setiap perhelatannya, Sekaten selalu akan menjadi lahan kontestasi yang empuk bagi kepentingan pasar dan kapital. Berbagai jenis “hantu-hantu” ekonomi dengan kemasan dan desain terbaru masuk begitu saja dan mengambil peran yang dominan dalam perayaan Sekaten. Sehingga dari waktu ke waktu, perayaan Sekaten terus dilacurkan ke tengah kepentingan pasar tanpa kontrol yang jelas, tergerus dari nilai-nilai lokal yang telah menjadi prinsip di balik kebesaran Sekaten. Jika kita sekarang datang ke Sekaten, unsur dan simbol Islam sangat sulit ditemukan, begitu juga dengan budaya lokal Kejawen. Paling kita hanya akan mendapati panggung keseniaan di tengah Alun-Alun yang mementaskan beragam keseniaan Kraton Yogyakarta dengan minus penonton.
Sebagai pengunjung bersama seoarang turis, keinginan menyaksikan secara langsung sisi-sisi unik di balik Sekaten selalu akan menjadi pertanyaan pertama. Saya berinisiatif mencarikan sisi-sisi unik di balik perhelatan saat ini. namun, dalam perayaan Sekaten sekarang, saya tidak bisa secara leluasa menunjukkan “sisi-sisi unik” tersebut, selain hanya menunjukkan beberapa pementasan kesenian yang minus penonton itu, masuk ke kios Dewan Keseniaan Yogyakarta, dan sisanya mondar mandir begitu saja di tengah tumpukan kios pasar dengan bunyi-bunyian masing-masing. Benar, saya nyaris tidak menemukan unsur-unsur Sekaten itu. Yang kutemukan adalah pasar dan pasar!
Syahadatain
Simbol Islam yang konon mendasari di balik sejarah Sekaten memang sangat sulit kita temukan sekarang. Terma Sekaten dengan mencangkok kata “syahadatain” (dua syahadat) di mana dalam agama Islam dua syahadat ini menjadi laku utama dalam setiap orang yang hendak masuk Islam ataupun menyatakan diri sebagai orang Islam sudah seperti kehilangan substansi. Sekaten yang pada awalnya dijadikan oleh masyarakat untuk mendapatkan pencerahan (berkah) dari tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam kebahagiaan lahir dan batin, melalui tontonan, syiar, dan sentuhan musik tradisional gemelan, kini sudah berubah secara signifikan menjadi arena hura-hura pasar keserakahan industri kapital.
Padahal secara jelas, sejarah Sekaten disebutkan untuk memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 bulan Maulud, atau bulan ketiga dari tahun Jawa. Sekaten dikenal sebagai upacara sebelum sampai kepada pesta inti yaitu perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Sejarah Sekaten dengan spirit yang sama sebagai bentuk perayaan terhadap kelahiran Nabi Muhammad SAW juga dirayakan di Keraton Surakarta dalam waktu yang bersamaan.
Salah satu ornamen paling inti di balik perayaan Sekaten sebenarnya adalah simbol Masjid Agung yang ada di kedua daerah, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Artinya, “nilai-nilai masjid”—dalam artian integrasi Islam dengan kultur lokal—harus menjadi bagian terpenting di balik Sekaten, dan masyarakat yang mengunjungi perayaan Sekaten harus dipertemukan dengan unsur penting ini. Praktik justifikasi lokalitas seperti ini bisa dilihat diantaranya melalui “Sekaten Sepisan” yakni dibunyikannya dua perangkat gamelan Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu, lalu pemberian sedekah `Ngarso Dalem` Sri Sultan HB X berupa `udhik-udhik` (menyebar uang) dan kemudian diangkatnya kedua gamelan menuju Masjid Agung Yogyakarta. Ritual penutup adalah Grebeg. Masjid dan gamelan, dalam perayaan Sekaten, menjadi identitas sebagai simbol keislaman dan sekaligus budaya lokal-Jawa.
Kesadaran ihwal ini harus dimunculkan memalui banyak cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah ataupun pelaksana perayaan Sekaten, seperti ornamen-ornamen khusus yang bisa disampaikan melalui gambar-gambar slide semi naratif yang memungkinkan pengunjung bisa dengan mudah mendapatinya di setiap sudut area perayaan Sekaten. Sehingga suasana Sekaten yang substansial bisa merasuk ke dalam kesadaran kultural masyarakat Yogyakarta dan perayaan yang memakan waktu panjang ini tidak hanya melulu menjadi arena kepentingan sesaat: pasar, budaya poluler, dan arus budaya massa yang semakin tak terkendali. Upaya ini perlu dilakukan demi menjaga substansi khazanah kultur masyarakat Yogyakarta yang teramat kaya ini dari berbagai pengaruh budaya luar yang secara serta merta menggerus nilai-nilai budaya lokal tapa ada filterisasi dan defensisasi dari masyarakat lokal sendiri.
Kebudayaan masyarakat Jawa, oleh Romo Frans Magnis-Suseno (1991: 1), disebut sebagai kebudayaan yang membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hipotesis seperti ini menunjukkan bahwa masayarat Jawa secara umum harus sudah menyiapkan benteng diri yang kuat demi menetralisir arus kultur hibrida yang datang dari berbagai latar belakang bangsa dan negara. Sehingga untuk mempertahankan keaslian khazanah kebudayaan Jawa perlu suatu proses yang terus-menerus dan konsiten yang semua itu dilandasi kepada proses pembelajaran kebudayaan dan eksistensi pendidikan yang nantinya bisa memberikan ruang pubik yang mencerahkan dan rasional dalam setiap lakon tradisi lokal yang tengah dilangsungkan.
Bernando J. Sujibto
Urat Leher: “Allahu Akbar”
Hari itu, Senin 31 Januari 2011, kasus Ariel Peterpan dengan video porno bersama Cut Tari dan Luna Maya memasuki babak putusan hakim di Pengadillan Tinggi Bandung. Ariel harus menerima kurungan 3,5 tahun, meski vokalis yang punya suara serak-khas itu masih punya hak untuk naik banding. Semua orang ramai berdatangan: para fans, handai tolan, kawan karib, dan para pendemo. Suara mereka terdengar riuh rendah—ada senyum sumbringah, harapan, dan kecemasan. Sesekali teriakan dengan urat leher yang menjilat ke luar terlontar dari luar gedung pengadilan.
Ariel yang sedang duduk di bangku pesakitan itu terlihat dengan sangat yakin. Senyum khasnya menyebar ke siapa pun yang sempat menjalin muka. Proses di pengadilan dengan pasal pornografi kepada Ariel adalah yang pertama, dan Ariel menjadi saksi sejarah terhadap Undang-Undang yang sempat molor dan kontroversi itu. Jelas ini pengadilan selebritis, artis, dan pablik figure—penuh gengsi dan perlu ditonton bagi yang menyukainya.
Sebelum mandi pagi, saya sempat membuka channel Metro TV. Dan teriakan Allah Akbar menyalak melalui urat leher yang menjilat ke luar tadi, seperti ular yang tengah mengamati mangsa. Semakin lama semain riuh. Suara “Allahu Akbar” pun semakin bergelegar, dan tentu, urat leher mereka pun semakin menjilat dan keras.
Jika kita ingin tahu bagaimana kerasnya urat leher ketika berteriak dengan muka yang geram dan legam, cobalah belajar melihat muka sendiri di depan cermin. Saya jamin, Anda pun tidak akan lama-lama melakukan itu karena terasa malu menemukan keganjilan wajah kita sendiri.
Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya jika nama saya: BJ. Sujibto, Bernando J. Sujibto, ataupun nama Anda diteriakkan dengan urat leher yang keras dan kerutannya seperti lingkaran usus yang kembang-kempis. Apakah saya (atau Anda) akan senang, lalu senyam-senyum, dan meminta terus diteriakkan lebih lantang, atau bahkan saya geram dan naik pitam karena sebuah nama, yang diberikan orangtua dengan memilah-milih yang terbaik, telah dikotori dengan teriakan-teriakan yang penuh emosi?
Saya sebagai Muslim selalu diajarkan menyebutkan nama Allah dan firman-firmanNya dengan vokal seni yang indah dan semampai. Dan bahkan, Allah sendiri memerintahkan kita agar menyebut dan membaca firman-Nya dengan tartila (wa rattilul qur’ani tartilaa). Tartila dalam pemahaman sempit saya adalah seni membaca Al-Qur’an dengan perlahan-lahan, indah dan memikat. Sehingga bukan omong kosong ketika AL-Qur’an dibacakan banyak orang yang bergetar hatinya, bahkan pun orang segarang Umar bin Khattab yang dikenal sebagai Singa Padang Pasir.
Jika nama Allahu Akbar lalu disebutkan dengan suara yang indah, tartila, dipoles dengan senyum renyah disemati garis-garis berseri sumarah, keagungan, kebesaran, kemuliaan Allah akan mengalir ke segenap ciptaan di muka bumi dan kedamaian akan bergelinding menghampiri ciptaan Allah.
Mari serukan nama Allah, ayat-ayat-Nya dan semua risalah sejarah kenabian dengan kesyahduan, binaran senyum, dan sapa hangat untuk semua: demi rahmatul lil alamin.
Bernando J. Sujibto
Hari itu, Senin 31 Januari 2011, kasus Ariel Peterpan dengan video porno bersama Cut Tari dan Luna Maya memasuki babak putusan hakim di Pengadillan Tinggi Bandung. Ariel harus menerima kurungan 3,5 tahun, meski vokalis yang punya suara serak-khas itu masih punya hak untuk naik banding. Semua orang ramai berdatangan: para fans, handai tolan, kawan karib, dan para pendemo. Suara mereka terdengar riuh rendah—ada senyum sumbringah, harapan, dan kecemasan. Sesekali teriakan dengan urat leher yang menjilat ke luar terlontar dari luar gedung pengadilan.
Ariel yang sedang duduk di bangku pesakitan itu terlihat dengan sangat yakin. Senyum khasnya menyebar ke siapa pun yang sempat menjalin muka. Proses di pengadilan dengan pasal pornografi kepada Ariel adalah yang pertama, dan Ariel menjadi saksi sejarah terhadap Undang-Undang yang sempat molor dan kontroversi itu. Jelas ini pengadilan selebritis, artis, dan pablik figure—penuh gengsi dan perlu ditonton bagi yang menyukainya.
Sebelum mandi pagi, saya sempat membuka channel Metro TV. Dan teriakan Allah Akbar menyalak melalui urat leher yang menjilat ke luar tadi, seperti ular yang tengah mengamati mangsa. Semakin lama semain riuh. Suara “Allahu Akbar” pun semakin bergelegar, dan tentu, urat leher mereka pun semakin menjilat dan keras.
Jika kita ingin tahu bagaimana kerasnya urat leher ketika berteriak dengan muka yang geram dan legam, cobalah belajar melihat muka sendiri di depan cermin. Saya jamin, Anda pun tidak akan lama-lama melakukan itu karena terasa malu menemukan keganjilan wajah kita sendiri.
Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya jika nama saya: BJ. Sujibto, Bernando J. Sujibto, ataupun nama Anda diteriakkan dengan urat leher yang keras dan kerutannya seperti lingkaran usus yang kembang-kempis. Apakah saya (atau Anda) akan senang, lalu senyam-senyum, dan meminta terus diteriakkan lebih lantang, atau bahkan saya geram dan naik pitam karena sebuah nama, yang diberikan orangtua dengan memilah-milih yang terbaik, telah dikotori dengan teriakan-teriakan yang penuh emosi?
Saya sebagai Muslim selalu diajarkan menyebutkan nama Allah dan firman-firmanNya dengan vokal seni yang indah dan semampai. Dan bahkan, Allah sendiri memerintahkan kita agar menyebut dan membaca firman-Nya dengan tartila (wa rattilul qur’ani tartilaa). Tartila dalam pemahaman sempit saya adalah seni membaca Al-Qur’an dengan perlahan-lahan, indah dan memikat. Sehingga bukan omong kosong ketika AL-Qur’an dibacakan banyak orang yang bergetar hatinya, bahkan pun orang segarang Umar bin Khattab yang dikenal sebagai Singa Padang Pasir.
Jika nama Allahu Akbar lalu disebutkan dengan suara yang indah, tartila, dipoles dengan senyum renyah disemati garis-garis berseri sumarah, keagungan, kebesaran, kemuliaan Allah akan mengalir ke segenap ciptaan di muka bumi dan kedamaian akan bergelinding menghampiri ciptaan Allah.
Mari serukan nama Allah, ayat-ayat-Nya dan semua risalah sejarah kenabian dengan kesyahduan, binaran senyum, dan sapa hangat untuk semua: demi rahmatul lil alamin.
Bernando J. Sujibto
DPR Menyandra
Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bahwa drama di pagi itu, 31 Januari 2011, akan benar-benar terjadi di depan mata saya. Meskipun saya tidak bisa cepat percaya kepada setiap “koar-moar” wakil rakyat (DPR) di Gedung Senayang sana, drama itu tidak bisa tidak telah mencuri perhatian saya. Beberapa saat, saya hanya bisa bergumam bahwa anggota DPR masih belum—sepenuhnya—mengajarkan praktik berdemokrasi yang substansial bagi bangsa dan negara di mana kepentingan rakyat menjadi aras utama di balik terciptanya lembaga ini. DPR di tanah air ini justru menjadi tangan pertama bagi terselenggaranya kekuatan dan kepentingan ekonomi yang mendomplang secara nyata kepada dunia politik, di samping itu manuver nafsu kekuasaan masih mewarnai cara kita berdemokrasi. Sehingga setiap poin persoalan selalu menjadi bola pingpong yang bisa digadang ke sana ke mari. Jarang menemui titik cerna hukum yang berkeadilan!
Ini bukti salah satunya. Kemarin, 31 Januari, kita disuguhi sebuah drama politik baru yang dimainkan oleh wakil rakyat di Komisi III DPR. Sasarannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak kehadiarannya—karena Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai tersangka yang sudah di-deponeering oleh Kejaksaan Agung ikut hadir—dalam rapat konsolidasi antara Komisi III dengan KPK.
Alasan Komisi III menolak kehadiran dua pimpinan KPK tersebuh terlihat sangat bodoh, dengan bersikukuh demi martabat parlemen yang menolak penerbitan deponeering kepada Bibit-Chandra. Saya tidak habis pikir bahwa anggota Komisi III itu harus tahu tentang hukum, seperti penerbitan deponering yang seharusnya sudah selesai di Kejaksaan Agung dan secara hukum sudah benar demi kepentingan umum.
Sudah jamak dipahami bahwa, seperti juga diungkapkan mantan wakil KPK Erry Riyana Harjapamengkas, penerbitan Surat Ketettapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum (SKMPDU/deponeering) berarti perkara hukum yang sempat disangkakan menjadi selesai. Jadi, konsekuensi yuridis terhadap penerbitan deponeering atas status tersangka yang pernah disematkan kepada Bibit dan Chandra secara otomatis juga menjadi tidak ada lagi. Namun, Komisi III (Komisi Hukum) yang menjadi gawang rapuh-tegaknya hukum di negeri ini malah mempersoalkannya.
Sebenarnya, banyak orang mafhum ihwal motif penolakan (pengusiran) atas dua pimpinan KPK itu. Sekitar empat hari sebelumnya, KPK dengan sangat berani menangkap 19 politisi, sebagian mereka terkenal cakap dan vokal dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, yang terlibat dalam kasus suap atas terpilihnya debuti gubernur BI Miranda S. Goeltom. Karena kader-kader terbaik partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP teringkus basah dalam kasus ini, partai besar itu pun berteriak akan “membalas” tindakan KPK. Buktinya, meski dengan silat lidah dan argumentasi “kerik (jangkrik)” yang sulit dinalar, pengambilan suara voting di Komisi III memutuskan untuk mengusir kedua pimpinan KKP itu.
Kenyataan ini tentu sangat naïf jika kita ingat beberapa bulan kemarin saat pemilihan ketua KPK dilakukan oleh Komisi III DPR yang memilih Busyro Muqoddas dan, jangan lupa, Bibit Samad Rianto juga mendapatkan suara dari Komisi Hukum meski tidak signifikan. Apa arti semua ini? Jelas alasan demi menjaga martabat Komisi III agar konsisten justru telah menjerumuskan integritas mereka sendiri di depan publik. Kalau begitu cara mainnya, tunggulah cibiran banyak rakyat bangsa ini! Dan sikap antipati dan ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga perwakilan mereka akan semakin ganas dan trengginas!
Implikasi Sosiologis
Para pemimpin negara harus cepat memahami bagaimana psikologi sosial bangsa ini yang sangat bergerak cepat. Pergerakan masif psikologi sosial masyarakat tidak lepas karena banyak rakyat kita yang kritis, di samping itu juga karena terjadi proses pendewasaan atas pembelajaran sejarah politik yang paranoid, imagologi politik citraan sang pemimpin, dan in absentia nilai-nilai keadilan hukum karena selalu dibawa ke ranah politik, sehingga kejengahan masyarakat terhadap para politisi dan dunia politik semakin memunculkan wajah antipatik yang tragik. Jika yang kedua ini terus berlanjut dalam kancah perpolitikan di kelas elit, sementara persoalan substantif tentang kemiskinan dan pengangguran semakin tenggelam, rakyat pun akan memberontak dan mengamuk.
Realitas ini akan menjadi politik horor bagi rakyat yang bisa merontokkan kekuasaan karena suara rakyat sudah dimatikan, dan DPR, sebagai artikulasi dan definisi rakyat, sudah buntu. Jadi, satu per satu kasus korupsi baik di tingkat nasional maupun daerah yang selalu melecehkan keadilan rakyat kecil, maraknya intoleransi, dan ancaman kelaparan akan mengendap dan menjadi luka sejarah bagi rakyat dan pada gilirannya akan meletus menjadi bara api kemarahan.
Sekarang pemerintah harus buka mata dengan realitas dunia politik internasional khususnya di Timur Tengah (Tunisia dan Mesir) yang tengah sedang menunjukkan betapa kekuatan rakyat (people power) telah mengambil alih dan merapuhkan tampuk kekuasaan yang diktator. Fenomena ini sangat mungkin menjalar ke tanah air dan menjadi momentum bagi pergerakan masyarakat yang masif. Memang Indonesia sudah berlalu dari wacana militer dan diktator, sejak lahirnya era reformasi, tapi cara dan praktik politik para politisi sekarang justru tak kalah membahayakan karena praktik perselingkuhan korupsi dengan transaksi hukum dan para mafia pengadilan telah memupus dan meringkihkan harapan hidup rakyat kecil di negeri ini.
Yang paling prinsipil tentang implikasi sosiologis atas praktik politik adu jangkrik yang diperankan oleh Komisi III saat ini adalah potensi terjadinya apa yang disebut Sidney Tarrow (1996: 194) sebagai transnational movement, karena salah satu instrumen untuk menuju tahap itu, yaitu cepatnya jaringan komunikasi global (rapidity of global communication) seperti melalui social media: Facebook dan Twitter (yang telah menjadi latar belakang meletusnya revolusi Melati di Tunisia), sudah terpenuhi.
Sudah tidak perlu berkilah lagi, bahwa pemerintahan negeri ini sudah butuh penyegaran kembali, demi cita-cita Pancasila dan UUD 1945!
Bernando J. Sujibto
Awalnya, saya tidak pernah membayangkan bahwa drama di pagi itu, 31 Januari 2011, akan benar-benar terjadi di depan mata saya. Meskipun saya tidak bisa cepat percaya kepada setiap “koar-moar” wakil rakyat (DPR) di Gedung Senayang sana, drama itu tidak bisa tidak telah mencuri perhatian saya. Beberapa saat, saya hanya bisa bergumam bahwa anggota DPR masih belum—sepenuhnya—mengajarkan praktik berdemokrasi yang substansial bagi bangsa dan negara di mana kepentingan rakyat menjadi aras utama di balik terciptanya lembaga ini. DPR di tanah air ini justru menjadi tangan pertama bagi terselenggaranya kekuatan dan kepentingan ekonomi yang mendomplang secara nyata kepada dunia politik, di samping itu manuver nafsu kekuasaan masih mewarnai cara kita berdemokrasi. Sehingga setiap poin persoalan selalu menjadi bola pingpong yang bisa digadang ke sana ke mari. Jarang menemui titik cerna hukum yang berkeadilan!
Ini bukti salah satunya. Kemarin, 31 Januari, kita disuguhi sebuah drama politik baru yang dimainkan oleh wakil rakyat di Komisi III DPR. Sasarannya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditolak kehadiarannya—karena Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai tersangka yang sudah di-deponeering oleh Kejaksaan Agung ikut hadir—dalam rapat konsolidasi antara Komisi III dengan KPK.
Alasan Komisi III menolak kehadiran dua pimpinan KPK tersebuh terlihat sangat bodoh, dengan bersikukuh demi martabat parlemen yang menolak penerbitan deponeering kepada Bibit-Chandra. Saya tidak habis pikir bahwa anggota Komisi III itu harus tahu tentang hukum, seperti penerbitan deponering yang seharusnya sudah selesai di Kejaksaan Agung dan secara hukum sudah benar demi kepentingan umum.
Sudah jamak dipahami bahwa, seperti juga diungkapkan mantan wakil KPK Erry Riyana Harjapamengkas, penerbitan Surat Ketettapan Mengesampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum (SKMPDU/deponeering) berarti perkara hukum yang sempat disangkakan menjadi selesai. Jadi, konsekuensi yuridis terhadap penerbitan deponeering atas status tersangka yang pernah disematkan kepada Bibit dan Chandra secara otomatis juga menjadi tidak ada lagi. Namun, Komisi III (Komisi Hukum) yang menjadi gawang rapuh-tegaknya hukum di negeri ini malah mempersoalkannya.
Sebenarnya, banyak orang mafhum ihwal motif penolakan (pengusiran) atas dua pimpinan KPK itu. Sekitar empat hari sebelumnya, KPK dengan sangat berani menangkap 19 politisi, sebagian mereka terkenal cakap dan vokal dalam menyuarakan pemberantasan korupsi, yang terlibat dalam kasus suap atas terpilihnya debuti gubernur BI Miranda S. Goeltom. Karena kader-kader terbaik partai-partai besar seperti Golkar dan PDIP teringkus basah dalam kasus ini, partai besar itu pun berteriak akan “membalas” tindakan KPK. Buktinya, meski dengan silat lidah dan argumentasi “kerik (jangkrik)” yang sulit dinalar, pengambilan suara voting di Komisi III memutuskan untuk mengusir kedua pimpinan KKP itu.
Kenyataan ini tentu sangat naïf jika kita ingat beberapa bulan kemarin saat pemilihan ketua KPK dilakukan oleh Komisi III DPR yang memilih Busyro Muqoddas dan, jangan lupa, Bibit Samad Rianto juga mendapatkan suara dari Komisi Hukum meski tidak signifikan. Apa arti semua ini? Jelas alasan demi menjaga martabat Komisi III agar konsisten justru telah menjerumuskan integritas mereka sendiri di depan publik. Kalau begitu cara mainnya, tunggulah cibiran banyak rakyat bangsa ini! Dan sikap antipati dan ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga perwakilan mereka akan semakin ganas dan trengginas!
Implikasi Sosiologis
Para pemimpin negara harus cepat memahami bagaimana psikologi sosial bangsa ini yang sangat bergerak cepat. Pergerakan masif psikologi sosial masyarakat tidak lepas karena banyak rakyat kita yang kritis, di samping itu juga karena terjadi proses pendewasaan atas pembelajaran sejarah politik yang paranoid, imagologi politik citraan sang pemimpin, dan in absentia nilai-nilai keadilan hukum karena selalu dibawa ke ranah politik, sehingga kejengahan masyarakat terhadap para politisi dan dunia politik semakin memunculkan wajah antipatik yang tragik. Jika yang kedua ini terus berlanjut dalam kancah perpolitikan di kelas elit, sementara persoalan substantif tentang kemiskinan dan pengangguran semakin tenggelam, rakyat pun akan memberontak dan mengamuk.
Realitas ini akan menjadi politik horor bagi rakyat yang bisa merontokkan kekuasaan karena suara rakyat sudah dimatikan, dan DPR, sebagai artikulasi dan definisi rakyat, sudah buntu. Jadi, satu per satu kasus korupsi baik di tingkat nasional maupun daerah yang selalu melecehkan keadilan rakyat kecil, maraknya intoleransi, dan ancaman kelaparan akan mengendap dan menjadi luka sejarah bagi rakyat dan pada gilirannya akan meletus menjadi bara api kemarahan.
Sekarang pemerintah harus buka mata dengan realitas dunia politik internasional khususnya di Timur Tengah (Tunisia dan Mesir) yang tengah sedang menunjukkan betapa kekuatan rakyat (people power) telah mengambil alih dan merapuhkan tampuk kekuasaan yang diktator. Fenomena ini sangat mungkin menjalar ke tanah air dan menjadi momentum bagi pergerakan masyarakat yang masif. Memang Indonesia sudah berlalu dari wacana militer dan diktator, sejak lahirnya era reformasi, tapi cara dan praktik politik para politisi sekarang justru tak kalah membahayakan karena praktik perselingkuhan korupsi dengan transaksi hukum dan para mafia pengadilan telah memupus dan meringkihkan harapan hidup rakyat kecil di negeri ini.
Yang paling prinsipil tentang implikasi sosiologis atas praktik politik adu jangkrik yang diperankan oleh Komisi III saat ini adalah potensi terjadinya apa yang disebut Sidney Tarrow (1996: 194) sebagai transnational movement, karena salah satu instrumen untuk menuju tahap itu, yaitu cepatnya jaringan komunikasi global (rapidity of global communication) seperti melalui social media: Facebook dan Twitter (yang telah menjadi latar belakang meletusnya revolusi Melati di Tunisia), sudah terpenuhi.
Sudah tidak perlu berkilah lagi, bahwa pemerintahan negeri ini sudah butuh penyegaran kembali, demi cita-cita Pancasila dan UUD 1945!
Bernando J. Sujibto
Betapa Tak Berartinya Rakyat Kecil di Negeri Ini!
--jangan halangi saya jika harus takut kepada negara sendiri!
Saya hanya bisa berkali-kali melongo dan tak percaya bahwa rakyat di negeri ini dianggap seperti sampah, tak berguna di mata pemerintah dan negara; mereka dibiarkan terbunuh begitu saja oleh berbagai macam kecelakaan karena keteledoran sistem yang digawangi manusia (human error), ataupun kecelakaan yang dibikin oleh pemerintah (apparatus state) sendiri, dan membiarkannya merajalela seperti skandal korupsi dan mafioso yang menggurita dan membunuh harapan mayoritas anak bangsa. Korupsi adalah kecelakaan sejarah paling fatal (lebih dari kriminal) yang—pelan-pelan tapi pasti—telah mengubur harapan masa depan bangsa ini.
Inilah negeri dengan seribu satu ragam bencana: bencana alam yang bertubi-tubi datang menggilas sendi-sendi tanah air dengan korban yang tak terhitung lagi; bencana kemanusiaan seperti korupsi dengan jumlah korban anak bangsa secara umum; dan “bencana pembiaran” seperti kerap menimpa alat-alat transportasi kita. Bencana terakhir adalah bencana kerena “ketidakacuhan” pemegang sistem tanah air tercinta ini. Orang-orang kecil yang menjadi korban bisanya hanya menjerit lantang dalam kekosongan realitas, karena jeritan mereka nyaris tanpa makna di mata negara dan pemerintahannya.
Coba kita tengok bagaimana kecelakaan yang terjadi dalam satu hari Jumat, tanggal 28 Januari. Satu di tengah laut, berupa kebakaran KMP Teduh di Perairan Merak menuju Bakauheni. Dan satu lagi terjadi di darat, sebuah tabrakan kereta Mutiara Selatan dan Kutojaya Selatan di Stasiun Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Kecelakaan macam ini sudah bukan cerita baru bagi dunia transportasi kita. Soal kecelakaan kereta api, alat transportasi rakyat kecil ini, pasti kita masih ingat ketika kereta api Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya yang menabrak kereta api Senja Utama Semarang jurusan Jakarta-Semarang, diiperkirakan pada pukul 02:48 WIB, 2 Oktober 2010, di Petarukan, Pemalang. Lebih dari 20 orang yang harus meregang nyawa. Hal yang sama terus berulang dari waktu ke waktu, tanpa ada langkah nyata yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Saya, segenap PT Kereta Api Indonesia, mohon maaf sekali atas kejadian ini. Semua biaya pengobatan korban akan kami tanggung.” Salah satu pegawai PT. KA meminta maaf secara resmi di depan publik. Kata maaf adalah ungkapan yang sangat mudah meluncur dari mulut siapa pun manusia di muka bumi ini. Tapi pertanggungjawaban menurut hukum dan hak-hak asasi yang prinsipil, nanti dulu. Ini belum terbiasa di negeri ini meski sudah mengatakan dirinya sebagai Negara Hukum.
Ingatan saya begitu mudah menggelinding ke sebuah negara bernama Negeri Kangguru, negeri yang sekarang masih berjuang mati-matian mengatasi banjir besar dalam sejarah mereka. Pemerintah Australia dengan sangat yakin meminta untuk menukarkan satu rakyatnya yang sekarang sedang mendekam di pendara Indonesia dengan puluhan rakyat Indonesia yang saat ini juga menghuni penjara di Australia. Ehm, 1 orang versus—kalau tidak salah—30 orang! Apakah pemerintah Australia bodoh? Ehm, saya kira tidak! Dari sini bisa dipahami tentang komitmen pemerintah Australia dalam melindungi rakyatnya, meskipun hanya 1 orang. Bagi mereka, rakyat dalah rakyat, yang sama di depan hukum dan negara.
Coba kita ingat lagi bangsa kita sendiri, saudara-saudari kita yang sekarang sedang sekarat memperjuangkan nyawanya di bawah jembatan di Jedah, Aran Saudi sana. Berapa jumlah TKI yang sekarang sedang terluntang-lanting tanpa bantuan siapa pun. Negara dan pemerintah Indonesia absen dalam situasi seperti ini. Apa pentingnya negara bagi mereka ketika mereka berjuang meminta secuil bantuan agar dipulangkan secepatnya ke tanah air, namun negara dengan pemerintahannya tak ada? Tentu mereka, para TKI yang sekarang mulai sakit-sakitan dan bahkan kehilangan ingatan karena penyiksaan oleh sang majikan, sudah tidak merasakan manfaat dari negara yang ditumpangi para bedebah ini.
Itu bukan mimpi, bukan pula teka-teki. Tapi realita-tersaji di depan mata kita sendiri yang membutuhkan langkah nyata—kehadiran negara dan pemerintah! Butuh berapa tahun lagi negara ini biar bisa cepat belajar terhadap sejarah yang telah mengajarkan keluhuran? Butuh berapa korban (rakyat) lagi yang harus kehilangan nyawa dengan sia-sia biar negara ini bangun dan tersadar tentang makna keberadaannya?
Saya pernah merasakan menjadi warga negara asing di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian South Carolina. Meski singkat hanya dua bulan, saya merasakan babagaimana kehadiran negara bagi saya, ketika saya merasa nyaman dan tanpa rasa takut secuil pun di tengah banyak orang dan fasilitas-fasilitas negara yang tersedia, ketika saya keluar malam lalu mengakses tempat-tempat umum sebagai ruang publik, ketika saya mengurus hal-hal kecil terkait proses keimigrasian dan surat-surut tinggal selama di sana. Pada waktu itu, saya merasakan sebuah negara hadir dan menyapa saya setiap saat.
Di negeri saya sendiri, saya semakin paham tentang tak berartinya rakyat di mata negara. Negara hanya menjadi mesin bagi para penguasa dan orang-orang elit untuk mendulang kekayaan dan kekuasaan, menyedot habis sumber daya alam, dan membiarkan rakyat kecil terlunta kelaparan, dan kehilangan harapan.
Bernando J. Sujibto
--jangan halangi saya jika harus takut kepada negara sendiri!
Saya hanya bisa berkali-kali melongo dan tak percaya bahwa rakyat di negeri ini dianggap seperti sampah, tak berguna di mata pemerintah dan negara; mereka dibiarkan terbunuh begitu saja oleh berbagai macam kecelakaan karena keteledoran sistem yang digawangi manusia (human error), ataupun kecelakaan yang dibikin oleh pemerintah (apparatus state) sendiri, dan membiarkannya merajalela seperti skandal korupsi dan mafioso yang menggurita dan membunuh harapan mayoritas anak bangsa. Korupsi adalah kecelakaan sejarah paling fatal (lebih dari kriminal) yang—pelan-pelan tapi pasti—telah mengubur harapan masa depan bangsa ini.
Inilah negeri dengan seribu satu ragam bencana: bencana alam yang bertubi-tubi datang menggilas sendi-sendi tanah air dengan korban yang tak terhitung lagi; bencana kemanusiaan seperti korupsi dengan jumlah korban anak bangsa secara umum; dan “bencana pembiaran” seperti kerap menimpa alat-alat transportasi kita. Bencana terakhir adalah bencana kerena “ketidakacuhan” pemegang sistem tanah air tercinta ini. Orang-orang kecil yang menjadi korban bisanya hanya menjerit lantang dalam kekosongan realitas, karena jeritan mereka nyaris tanpa makna di mata negara dan pemerintahannya.
Coba kita tengok bagaimana kecelakaan yang terjadi dalam satu hari Jumat, tanggal 28 Januari. Satu di tengah laut, berupa kebakaran KMP Teduh di Perairan Merak menuju Bakauheni. Dan satu lagi terjadi di darat, sebuah tabrakan kereta Mutiara Selatan dan Kutojaya Selatan di Stasiun Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Kecelakaan macam ini sudah bukan cerita baru bagi dunia transportasi kita. Soal kecelakaan kereta api, alat transportasi rakyat kecil ini, pasti kita masih ingat ketika kereta api Argo Bromo Anggrek jurusan Jakarta-Surabaya yang menabrak kereta api Senja Utama Semarang jurusan Jakarta-Semarang, diiperkirakan pada pukul 02:48 WIB, 2 Oktober 2010, di Petarukan, Pemalang. Lebih dari 20 orang yang harus meregang nyawa. Hal yang sama terus berulang dari waktu ke waktu, tanpa ada langkah nyata yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Saya, segenap PT Kereta Api Indonesia, mohon maaf sekali atas kejadian ini. Semua biaya pengobatan korban akan kami tanggung.” Salah satu pegawai PT. KA meminta maaf secara resmi di depan publik. Kata maaf adalah ungkapan yang sangat mudah meluncur dari mulut siapa pun manusia di muka bumi ini. Tapi pertanggungjawaban menurut hukum dan hak-hak asasi yang prinsipil, nanti dulu. Ini belum terbiasa di negeri ini meski sudah mengatakan dirinya sebagai Negara Hukum.
Ingatan saya begitu mudah menggelinding ke sebuah negara bernama Negeri Kangguru, negeri yang sekarang masih berjuang mati-matian mengatasi banjir besar dalam sejarah mereka. Pemerintah Australia dengan sangat yakin meminta untuk menukarkan satu rakyatnya yang sekarang sedang mendekam di pendara Indonesia dengan puluhan rakyat Indonesia yang saat ini juga menghuni penjara di Australia. Ehm, 1 orang versus—kalau tidak salah—30 orang! Apakah pemerintah Australia bodoh? Ehm, saya kira tidak! Dari sini bisa dipahami tentang komitmen pemerintah Australia dalam melindungi rakyatnya, meskipun hanya 1 orang. Bagi mereka, rakyat dalah rakyat, yang sama di depan hukum dan negara.
Coba kita ingat lagi bangsa kita sendiri, saudara-saudari kita yang sekarang sedang sekarat memperjuangkan nyawanya di bawah jembatan di Jedah, Aran Saudi sana. Berapa jumlah TKI yang sekarang sedang terluntang-lanting tanpa bantuan siapa pun. Negara dan pemerintah Indonesia absen dalam situasi seperti ini. Apa pentingnya negara bagi mereka ketika mereka berjuang meminta secuil bantuan agar dipulangkan secepatnya ke tanah air, namun negara dengan pemerintahannya tak ada? Tentu mereka, para TKI yang sekarang mulai sakit-sakitan dan bahkan kehilangan ingatan karena penyiksaan oleh sang majikan, sudah tidak merasakan manfaat dari negara yang ditumpangi para bedebah ini.
Itu bukan mimpi, bukan pula teka-teki. Tapi realita-tersaji di depan mata kita sendiri yang membutuhkan langkah nyata—kehadiran negara dan pemerintah! Butuh berapa tahun lagi negara ini biar bisa cepat belajar terhadap sejarah yang telah mengajarkan keluhuran? Butuh berapa korban (rakyat) lagi yang harus kehilangan nyawa dengan sia-sia biar negara ini bangun dan tersadar tentang makna keberadaannya?
Saya pernah merasakan menjadi warga negara asing di Amerika Serikat, tepatnya di negara bagian South Carolina. Meski singkat hanya dua bulan, saya merasakan babagaimana kehadiran negara bagi saya, ketika saya merasa nyaman dan tanpa rasa takut secuil pun di tengah banyak orang dan fasilitas-fasilitas negara yang tersedia, ketika saya keluar malam lalu mengakses tempat-tempat umum sebagai ruang publik, ketika saya mengurus hal-hal kecil terkait proses keimigrasian dan surat-surut tinggal selama di sana. Pada waktu itu, saya merasakan sebuah negara hadir dan menyapa saya setiap saat.
Di negeri saya sendiri, saya semakin paham tentang tak berartinya rakyat di mata negara. Negara hanya menjadi mesin bagi para penguasa dan orang-orang elit untuk mendulang kekayaan dan kekuasaan, menyedot habis sumber daya alam, dan membiarkan rakyat kecil terlunta kelaparan, dan kehilangan harapan.
Bernando J. Sujibto
Langganan:
Postingan (Atom)