Minggu, 21 November 2010

Para penulis Itu Seperti Siput....







“Kami, para penulis, tulis Camilo Jose Cela, pengarang besar Spanyol yang meraih hadiah nobel 1989, hidup hampir seperti siput, yang sesekali mengeluarkan leher kami, tetapi lalu langsung menariknya kembali.” Apa yang dikatakan Cela sungguh tepat: untuk bisa merenungkan renik-pelik persoalan yang menghampar di bumi manusia ini, dan kemudian menghadirkannya ke dalam sulaman permadani kata-kata, seorang penulis perlu terlebih dulu menarik diri dari kancah orang ramai dan riuh rendah kehidupan sehari-hari. Di ruang kerjanya, seorang diri dengan hanya dikelilingi oleh tenaga kesunyian yang dahsyat. Dari hari ke hari, sang penulis mesti bergulat dengan pikirannya, dengan kebahagiaan dan kepedihan yang merundung diri dan sesamanya, dengan cahaya yang menyemburat dari kata-katanya. Tanpa ketabahan dan kegigihan yang keras kepala semacam ini, seorang penulis tak akan pernah bisa melahirkan karya-karya yang agung dan bermartabat.

Namun sejatinya, seorang penulis tak pernah sendirian benar. Sebelum mampu mencipta dunia-dunia baru dalam karyanya, dia akan dipandu dan ditemani oleh karya-karya para pendahulunya, oleh buku-buku orang lain, oleh kisah-kisah orang lain, oleh kata-kata orang lain. Sesiapa yang ingin jadi penulis mesti sadar betul bahwa mengandalkan bakat alam serta percikan inspirasi saja tidaklah cukup. Terlebih dahulu dia mesti menjelajah dan melakukan ekspedisi ke alam pikiran orang lain, menyibak dan mengupas kisah-kisah orang lain. Setiap halaman buku adalah jendela. Seseorang bisa mengintip aneka hal dari jendela itu: bangkit dan runtuhnya dinasti, suku-suku asing dan pelbagai ras yang unik, perkelahian manusia yang sia-sia melawan waktu, percintaan yang menggetarkan, binatang-binatang yang ganjil, batu-batu tak bernama, secercah warna kupu-kupu atau setangkai bunga lili yang mekar sendirian di lembah sunyi. Dengarlah pengakuan Jean Paul Sartre dalam otobiografinya yang bertajuk Les Mots: “Buku-bukulah yang menjadi burung dan sarangku, binatang piaraanku, kandang berikut seluruh dunia pedesaanku.” Dengan sayap buku-buku seseorang bisa terbang menembus tingginya angkasa pengetahuan, menghirup oksigen jernih yang mengambang di atas pedesaan kata-kata, atau menyelam jauh ke bawah laut, menemukan spesies-spesies langka dan pasir kearifan yang telah dihimpun umat manusia selama berabad-abad. Dalam penerbangan dan penyelaman itu, indra-indra dan pikiran mesti terus awas dan peka; sang penulis mesti tahu kapan saat meraba, mendengar, mencium, memeluk atau melepas, mengalah atau menantang, bersembunyi atau bertarung dengan kata-kata. Kalau tidak, bisa-bisa dia terkecoh dan tersesat di hutan lambang yang menyesatkan, atau terbutakan oleh dunia menyilaukan yang tiba-tiba terbentang tak terduga di hadapannya.

Adakalanya sang penulis juga mesti bersabar, sebab perjalanan dengan buku-buku kadang sulit dan berat, seperti mengarungi tempat tak berpeta dan tanpa rute yang jelas. Penuh ranjau, onak, dan duri. Sehingga boleh jadi setelah sang penulis suntuk dari detik ke detik, dari jam ke jam, rimba kata-kata dan lambang-lambang itu masih saja gelap dan tak menyingkapkan misterinya, rahasianya. Dalam satu pasase hidupnya sebagai penerbang dan penyelam kata-kata, Sartre pun tak luput dari deraan kesulitan itu. Kenangnya: “Berbaring di permadani, kulakukan perjalanan-perjalanan yang berat ke tengah karya-karya Fontenelle, Aristophanus dan Rebelais: kalimat-kalimat berkutat di hadapanku seperti benda-benda hidup; mereka harus kuamati; aku mengelilinginya, pura-pura kujauhi dan tiba-tiba kembali agar bisa mengagetkan mereka di saat lengah: pada umumnya kalimat-kalimat itu tidak bisa membuka rahasia dirinya.” Berat dan sulitnya perjalanan itu, tak boleh membuat sang penulis menyerah dan surut, sebab jika demikian dia adalah pengecut, baik dalam darahnya maupun dalam jiwanya. Seorang penulis mesti terus meluaskan batas-batas kesadarannya, membentangkan layar dan merambah lautan-lautan dan kemungkinan-kemungkinan baru, memasuki goa-goa batin yang keramat dan terlarang, menyimak dan kemudian menyenandungkan lagu-lagu kemanusiaan yang telah terkubur atau tertekan. Semangat pencarian dan petualangan seorang penulis mesti seperti ombak yang, tiap-tiap kali pecah membentur batu karang, tiap-tiap kali datang lagi dengan tenaga dan hempasan-hempasan yang lebih kuat. Kelak, setelah selama bertahun-tahun mengurung diri di dalam kamar bersama buku-bukunya dan menapaki perjalanan panjang dan jauh ke (dan di) dalam batinnya sendiri, seorang penulis, kata sastrawan raksasa dari Turki, Orhan Pamuk, dalam kuliah nobelnya yang mengharukan “My Fathers Suitcase”: “akan menemukan kekuatan abadi sebuah karya sastra; ia akan menguasai kepiawaian untuk menyampaikan cerita-cerita sendiri seakan-akan telah menjadi cerita-cerita orang lain, dan untuk menyampaikan cerita-cerita orang lain seakan-akan sudah menjadi ceritanya sendiri. Dan untuk inilah sastra itu ada. Tetapi kita memang harus menjelajahi cerita-cerita dan buku-buku orang lain itu terlebih dahulu.”

Beberapa abad sebelum Sartre dan Pamuk, yakni sekitar medio abad ke-16, hidup seorang penerbang dan penyelam kata-kata yang ulung, bernama Michel de Montaigne. Tatkala seantero bumi Prancis—dan juga Eropa—tengah dicekam perang agama yang berdarah-darah dan tak berkesudahan, Montaigne menarik diri dan lalu menghabiskan seluruh hidupnya di perpustakaan pribadinya yang terletak di lantai tiga menara, nun jauh di pedalaman barat daya Prancis, di puncak bukit 30 mil, timur Bourdeaux. Perpustakaan itu mempunyai tiga jendela, sebuah bangku, kursi, dan tiga rak tingkat lima agak melingkar, berisi lebih dari seribu volume tentang filsafat, sejarah, puisi, dan agama. Di sinilah bangsawan paruh baya itu ber-uzlah dan mengurung diri, menyaksikan ketabahan Socrates dalam menghadapi para juri Athena, menyimak pandangan Epicurus mengenai kebahagiaan, menikmati humor-humor Seneca, membaca dengan khusuk Metamorphoses karya Ovid, atau terpukau oleh Tusculan Disputations-nya Cicero. Kelak, hasil dari pelancongan Montaigne yang panjang dengan buku-buku dan kepak imajinasinya itu menghasilkan sebuah genre tulisan yang baru, yang kita kenal dengan sebutan Essay.

Cela, Sartre, Pamuk, Montaigne, juga para pengarang besar lainnya: merekalah suri bagi siapapun yang ingin menempuh jalan sunyi menjadi penulis. Mereka telah menempuh petualangan yang jauh nan berbahaya untuk menemukan pulau-pulau kosong tempat rumah-rumah imajinasi ditegakkan dan dipelihara, gagasan-gagasan ajaib mengembang dan bercahaya, pohon-pohon impian tumbuh dan menjulang menakjubkan. Dan di manapun terdapat kegersangan atau ketandusan, maka para pengarang bakal datang menurunkan hujan rahmat dan menebarkan benih-benih harapan. Benih-benih harapan yang kelak akan menjelma kota-kota peradaban masa depan, yang tersusun dari kata-kata kita yang paling rahasia, bisikan-bisikan dan mimpi-mimpi kita, kerja keras kita, darah kita, cinta kita, sejarah kita. Begitulah yang telah terjadi, dan akan selalu tetap begitu!



catatan: tulisan ini udah lama kutulis, sekitar 7 bulan yg lalu...di muat di mjlh gong kyknya.sy teringt tulisan ini lagi setelah berbincang dengan sahabat saya,irianto ibrahim dari buton, tentang pohon dan silisilah kepengarangan, visi menulis, dan kinerja para penulis yg layak atau tak layak di contoh. kepada teman2 sesama penulis, mari bekerja lebih keras lagi, bukit2 masih menjulang di kejauhan, kita blm lagi apa apa....semangat!