Kamis, 02 Desember 2010

Kembang Api itu.... oh...
oleh Kaki Langit pada 10 September 2010 jam 19:56

Malam pertama di kampung





Pesta kembang api memanjakan mata

Melesat terbang, berdentum berbinar hanya sesaat lantas hilang, menjadi asap

gema dan percikkannya menyeruak di malam basah yang kian menyeret dingin menuju pagi lebaran. diam-diam aku memungut tiap letupan kemudian merupiahkannya untuk disantuni pada si fakir yang mungkin sedang terusik lelap tidurnya malam ini...



bersama letih dan penat usai perjalanan melelahkan, melintasi dua selat dan berpuluh kota, di atas pembaringan istighfarku menusuk-nusukkan tanya, inikah malam kemenangan itu...? inikah kebaikan usai puasa yang mengasah kepekaan tenggang rasa pada sesama..? inikah kegembiraan yang dirahmati itu atokah kemubaziran atas nama agama



perasaanku payah tuk skedar membuka fail maslahatul mursalah, ato kitab ushul fiqh di pikiranku.. maka kututup kuping ini, sambilku ajak mata terpejam, benamkan kepala di atas bantal kumal coreng moreng, bagai lukisan abstrak dari tinta keringat dan liur.. ternyata serat kapuk itu tak mampu meredam suara dentuman kembang api, yang kian lama terdengar bagai suara firaun menantang kekayaan tuhan..



gema takbir menjadi sayup tak merdu dan khusuk lagi yang berkumandang dari load speker kubah-kubah megah itu, seolah lagu usang tak ngetren, yang tergerus entah oleh budaya apa. meletup dan berdentum tanpa komposisi dan ritme yang jelas, kecuali atas dasar semau-maunya pemilik uang yang di tukar dengan selonjor dua lonjor inovasi benda yang dulunya kusebut petasan ato mercon...



takbir kian sayaup, mataku kian sayu, 17 watt lampu kamar menjadi bersinar 5 watt... dentuman petasan kian menggema, aku semakin muak, satu dentuman besar membuatku limbung lantas roboh dalam kesabaran dan kepasrahan...

di atas bantal kumal, kucoba meninabobokan kebisingan.... bismika Allahumma ahya wa amut....

Mataram (00;45)



Untuk Laily yang suka teriak israel....

Inikah israel itu..?
Buat Kawanku Azis yang akan Menikah
oleh Alwan Ariyanto pada 18 November 2010 jam 16:26

Batang – Bekasi

Buah karya : Khairil Alwani



Kami yang kini bersanding

antara Batang – Bekasi

tak bisa menolak tuk“Menikah”

dan angkat senjata ini



Tapi siapakah yang tidak iri

Mendengar kisah cinta kami

Terbayang kami maju selangkah memadukan hati?



Kami cerita padamu dalam hening dimalam sepi

Jika dada rasa berdegup dan jam dinding ikut berdetak

Aah..aah.. sungguh memikat hati



Kami masih muda

Yang tinggal hanyalah kenangan menjadi bapak dan ibu

Kenang, kenanglah kisah kami.



Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai belum apa apa

(kebanyakan teori sih.. skrg saatnya praktik)



Kami sudah jalin kami punya jiwa

Kerja belum selesai

Belum bisa memperhitungkan 4 -5 anak saya



Kami cuma insan-insan bermesraan

Tapi adalah kepunyaan-Mu

Kau-lah Yang menentukan

Nilai insan-insan yang bermesraan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kenikmatan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa



Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa bercerita

Kaulah sekarang yang mengira-ira



Kami cerita padamu dalam hening dimalam sepi

Jika dada rasa berdegup dan jam dinding ikut berdetak



Kenang, kenanglah kami

Doakan-doakan jiwa kami

Menjadi bin Abdul

Menjadi bin Azis

Menjadi Bin Safa

............

(Menunggu 30 tahun itu tidaklah sebentar, kami turut bahagia dan kami berdo'a, semoga ikatan yang terjalin langgeng, mjd keluarga yg sakinah mawadah wa rahmah,dan satu lagi..semoga banyak anak ya, amiin)
In My Life
oleh Noviar Hidayat pada 30 November 2010 jam 17:31

Mengenal Lagu-lagu the Beatles (2)



In My Life



Pada tahun 1964 Kenneth Allsop, sahabat John Lennon, mendorong John Lennon untuk membuat terobosan dengan membuat sesuatu yang berfokus pada interior hidupnya sendiri.

Pada awal 1965, lirik lagu itu sudah ditulis John Lennon berupa puisi yang panjang. Puisi itu berisi petualangan yang panjang seorang anak dari rumahnya di Menlove Avenue,menuju Penny Lane, Jalan Gereja, menara jam, Bioskop Abbey, gudang trem, kafe Belanda, St Columbus Gereja, Docker’s Umbrella dan Calderstones Park.

Kisah petualangan itu sebenarnya cukup untuk membuat sebuah otobiografi. Menurut Elliot Mintz, yang disewa oleh Yoko Ono untuk melakukan inventarisasi barang pribadi milik John Lennon setelah kematiaanya, “Ini adalah titik balik signifikan dalam karier kepenulisan lagu John Lennon.” Meskipun menurut John Lennon sendiri itu semua hanyalah serangkaian kenangan yang begitu akrab tetapi cepat menghilang.

“Itu hal yang paling membosankan yang ku lakukan saat berlibur, melakukan perjalanan dengan bus. Lalu aku berbaring dan kata-kata itu tiba-tiba saja mengalir di kepalaku, tentang tempat-tempat yang ku ingat.” kata John Lennon.

John membuang nama-nama tempat itu, dan mengerjakan semua itu sampai rasa berkabung untuk masa kanak-kanak menghilang dan remaja, dan mengubah itu semua dari lagu tentang perubahan wajah Liverpool menjadi lagu yang universal tentang bagaimana menghadapi fakta kematian dan kerusakan. Tentang teman-teman yang sudah meninggal, seperti Stuart Stuclif anggota The Beatles yang meninggal karena tumor otak pada april 1962, dan juga tentang teman-teman yang masih hidup.

Dalam menulis lirik-liriknya John Lennon terinspirasi puisi Charles Lamb (abad ke-18) yang berjudul ‘The Old Familiar Faces’:



I have had playmates, I have had companions

In my days of childhood, in my joyful schooldays -

All, all are gone, the old familiar faces.

How some they have died, and some they have left me,

And some are taken from me; all are departed -

All, all are gone, the old familiar faces.

Dalam hal melodi John Lennon terinspirasi lagu Robinson “You Really Got a Hold on Me” yang digarapnya pada album With The Beatles (1963). Paul McCartney membantunya pada reff. George Martin membantu bermain piano untuk mengisi melodi di tengah-tengah lagu ini.







Berikut lirik lagu In My Life:



There are places I’ll remember

All my life, though some have changed

Some forever not for better

Some have gone, and some remain





All these places have their moments

With lovers and friends, I still can recall

Some are dead and some are living

In my life, I’ve loved them all





But of all thee friends and lovers

There is no one compares with you

And these mem’ries lose their meaning

When I think of love as something new





Though I know I’ll never lose affection

For people and thing, that went before

I know I’ll often stop and think about them

In my life, I love you more





Though I know I’ll never lose affection

For people and thing, that went before

I know I’ll often stop and think about them

In my life, I love you more

In my life, I love you more



post by Noviar hidayat @ www.kompasiana.com/nunohidayatsyam
Perkenankanlah Aku Mencintai-Mu Semampuku
oleh Ahmaed Albar pada 02 Desember 2010 jam 9:01
Tuhanku, Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintaiMu… Lembar demi lembar kitab kupelajari… Untai demi untai kata para ustadz kuresapi… Tentang cinta para nabi Tentang kasih para sahabat Tentang mahabbah para sufi Tentang kerinduan para syuhada
Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam
Kutumbuhkan dalam mimpi-mimpi dan idealisme yang mengawang di awan…
Tapi Rabbii, Berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan kemudian tahun berlalu… Aku berusaha mencintaiMu dengan cinta yang paling utama, tapi… Aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untukMu… Aku makin merasakan gelisahku membadai… Dalam cita yang mengawang Sedang kakiku mengambang, tiada menjejak bumi… Hingga aku terhempas dalam jurang Dan kegelapan…
Wahai Ilahi, Kemudian berbilang detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan tahun berlalu… Aku mencoba merangkak, menggapai permukaan bumi dan menegakkan jiwaku kembali Menatap, memohon dan menghibaMu: Allahu Rahiim, Ilaahi Rabbii, Perkenankanlah aku mencintaiMu, Semampuku Allahu Rahmaan, Ilaahi Rabii Perkenankanlah aku mencintaiMu Sebisaku Dengan segala kelemahanku
Ilaahi, Aku tak sanggup mencintaiMu Dengan kesabaran menanggung derita Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al musthafa Karena itu izinkan aku mencintaiMu Melalui keluh kesah pengaduanku padaMu Atas derita batin dan jasadku Atas sakit dan ketakutanku
Rabbii, Aku tak sanggup mencintaiMu seperti Abu bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarga. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo harta demi jihad. Atau Utsman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan dienMu. Izinkan aku mencintaiMu, melalui seratus-dua ratus perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan–makanan sederhana yang terkirim ke handai taulan.
Ilaahi, aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang shahabat NabiMu hingga tiada terasa anak panah musuh terhunjam di kakinya. Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.
Robbii, aku tak dapat beribadah ala para sufi dan rahib, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu. Maka izinkanlah aku untuk mencintaimu dalam satu-dua rekaat lailku. Dalam satu dua sunnah nafilahMu. Dalam desah napas kepasrahan tidurku.
Yaa, Maha Rahmaan, Aku tak sanggup mencintaiMu bagai para al hafidz dan hafidzah, yang menuntaskan kalamMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.
Yaa Rahiim Aku tak sanggup mencintaiMu semisal Sumayyah, yang mempersembahkan jiwa demi tegaknya DienMu. Seandai para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihadnya bagiMu. Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu. Maka izinkanlah aku mencintaiMu dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.
Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, bagai Ibrahim yang rela tinggalkan putra dan zaujahnya, dan patuh mengorbankan pemuda biji matanya. Maka izinkanlah aku mencintaiMu di dalam segalanya. Izinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku, dengan mencintai sahabat-sahabatku, dengan mencintai manusia dan alam semesta.
Allaahu Rahmaanurrahiim, Ilaahi Rabbii Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku. Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.
Lelaki Pendongeng dan Gadis Senja
oleh Desi Dan Dewi pada 04 April 2010 jam 17:54
Lelaki Pendongeng dan Gadis Senja
Rabu, 17 Maret 2010 | 22.55 WIB

shutterstock
Cerpen: Adi Toha
Bertahun-tahun ia telah berjalan dari kota ke kota, singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama orang-orang baik hati yang ia temui. Namun pada suatu senja yang remang, ketika ia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa cahaya lembayung dari jendela kamarnya, mendadak ia merasa bahwa perjalanannya telah sampai di kota terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya.
Orang-orang mengenalnya sebagai lelaki pendongeng. Ia sering terlihat di depan sebuah sekolah dasar atau taman kanak-kanak, di tengah kerumunan bocah-bocah yang dengan khidmat mendengarkan dongeng-dongengnya. Di waktu lain, ia terlihat di depan barisan bocah-bocah yang mengikuti langkahnya seperti tikus-tikus kota Hamelin mengikuti sang peniup seruling. Dengan sabar mereka menunggu lelaki pendongeng itu berhenti dan duduk istirahat, karena di saat itulah ia akan menceritakan satu dua dongeng kepada bocah-bocah itu.
Di kota-kota tempat singgahnya, ia hidup dari pemberian para orang tua yang mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Selesai mendongeng, orang tua bocah-bocah itu meletakkan sekeping dua keping uang receh di topi jeraminya. Kadang, mereka juga ikut mendengarkan dongeng lelaki itu, duduk menemani anak-anak mereka. Dalam hati mungkin mereka berterima kasih atau mungkin iri, mereka tidak pernah mendongeng kepada anak-anak mereka.
Tidak diketahui dengan pasti siapakah sebenarnya lelaki pendongeng itu, siapakah keluarganya, dari kota mana ia memulai perjalanannya. Sosoknya tak begitu jauh dengan lelaki kebanyakan, di tengah puncak masa mudanya. Menurut mereka yang sempat berbicara dengannya, lelaki itu terlihat tak lebih tua dari usia tiga puluhan. Hanya saja, pakaian pejalannya lah yang membuat lelaki itu terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Bahkan, dari penampilannya, ia terlihat seperti sosok dari masa lalu yang tersesat di masa kini.
Entah berapa kota yang pernah ia singgahi, ia sendiri tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Berapa sekolah yang pernah ia kunjungi, ia tidak bisa menghitungnya. Kabar tentang lelaki pendongeng yang berjalan dari kota ke kota menyebar dengan cepat dari satu kota ke kota lain, terutama di kalangan anak-anak. Anak-anak akan dengan sabar menunggu kedatangan lelaki pendongeng di kota mereka. Jika mereka mendengar selentingan kabar bahwa lelaki pendongeng tengah singgah di kota tetangga mereka, maka keesokan harinya, seusai pulang sekolah, mereka akan menunggu di batas kota, berharap menjadi yang pertama yang mendengarkan dongeng lelaki itu di antara anak-anak lain di kota. Saat dari kejauhan terlihat sosok lelaki itu, mereka akan bersorak, saling bergenggaman tangan dan berjingkrak gembira.
Pengaruh lelaki pendongeng dan dongeng-dongengnya bagi anak-anak tidak jarang membuat khawatir para orang tua. Anak-anak lebih mempercayai apa kata dongeng lelaki itu daripada perkataan orang tua mereka. Mereka percaya tentang peri-peri, tentang malaikat, tentang semua benda yang hidup dan bernyawa, tentang sebuah dunia yang hanya dihuni oleh anak-anak dan orang-orang baik, sebuah dunia tanpa peperangan dan kejahatan, dunia di mana cinta dan kebaikan selalu menang, dunia tanpa kebohongan dan kesombongan. “Dengarkan kata hatimu, ikuti mimpimu dan menarilah bersama jiwa buana.” Kalimat itulah yang selalu diingat oleh anak-anak, yang tidak jarang membuat para orang tua kerepotan dalam mengikuti keinginan anak-anaknya.
Khawatir dengan pengaruh lelaki pendongeng kepada anak-anak mereka, di sebuah kota para orang tua berjaga-jaga di perbatasan, dan bersiap menolak kedatangan lelaki itu. Tidak ingin membuat keributan, lelaki pendongeng memilih untuk berbelok dan menuju ke kota lain. Tak ingin dikenali oleh orang-orang, ia mengganti pakaian perjalanannya dengan pakaian sewajarnya penduduk kota dan mulai mencukur rapi rambutnya yang telah dibiarkannya memanjang. Di kota itu sosoknya terlihat lebih seperti seorang pelajar daripada pengelana.
Pada suatu senja di kota itulah ketika ia tengah berhenti sejenak di bawah tiang lampu kota, tanpa sengaja ia memandang sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa lembayung senja dari jendela kamarnya di lantai dua rumah di depan tempatnya berdiri. Matahari perlahan tenggelam jauh di belakang punggungnya. Gadis itu membalas tatapannya dan tersenyum. Ada sesuatu yang merekah di kedalaman hatinya, fajar telah terbit di langit malam jiwanya. “Gadis senja,” bisiknya. Ia berdiri mematung sampai malam menjelang dan gadis itu hilang dari pandangan.
***
Rumah tempat tinggal Allea hanya beberapa ratus meter dari garis pantai. Tidak heran jika aroma asin laut sudah tercium dari sana. Di hari biasa, Allea seringkali duduk menyendiri di tepi pantai, menyaksikan detik-detik bibir piringan jingga matahari mencium bibir laut. Ia tidak menghiraukan para lelaki pengunjung pantai yang menggodanya dengan tatapan dan siulan. Beberapa memberanikan diri mengajaknya berbincang-bincang, namun ia hanya menanggapinya sewajarnya. Ia lebih senang berbicara dengan para nelayan dan istri-istri mereka.
Senja itu ia tidak pergi ke pantai. Tubuhnya dilanda demam beberapa hari sebelumnya, setelah ia bermimpi melihat piringan jingga matahari tidak tenggelam di saat senja. Alih-alih tenggelam, matahari hanya diam satu jengkal dari garis cakrawala dan kota menjadi kota senja. Ia membuka jendela kamarnya melihat garis-garis cahaya senja kerlap-kerlip di antara celah dedaunan yang tertiup angin laut. Ia menghirup nafas panjang dan membayangkan matahari perlahan tenggelam di garis pandangnya. Saat ia menurunkan pandangannya, ia melihat seorang lelaki berdiri di bawah tiang lampu tengah memandanginya. Allea tersenyum membalas pandangan lelaki itu.
Peristiwanya terjadi beberapa hari kemudian. Setelah merasa cukup sehat, Allea kembali mengunjungi pantai dan menghabiskan senja duduk di tepian pasirnya. Pantai itu bukan pantai wisata, sehingga tidak banyak orang yang berada di sana, hanya sekumpulan nelayan yang tengah mempersiapkan kapal untuk perjalanan melaut pada malam harinya. Allea melambaikan tangan kepada nelayan-nelayan yang dikenalnya.
Sebuah rumah kerang yang dibawa lidah ombak dan terdampar di tepi basah pasir menarik perhatiannya. Ia melangkah mendekat dan mengambil rumah kerang sebesar genggaman tangannya itu lalu mengelap dan mengeringkannya dengan ujung bajunya. Sambil kembali duduk di tempatnya semula, ia meniup kerang itu untuk membersihkan butir-butir pasir yang masih menempel padanya.
“Di dalam rumah kerang terdapat suara laut, suara yang telah diabadikan selama kehidupannya di kedalaman samudera.” Tiba-tiba terdengar suara seseorang. Allea menoleh. Ia melihat seorang lelaki yang entah darimana datangnya tiba-tiba telah duduk di sampingnya. “Dekatkan rumah kerang itu di telingamu, maka kau akan mendengarnya. Kau juga akan mendengar suara lonceng yang berdentang dari kedalaman samudera,” lanjut lelaki itu.
Seperti tersihir oleh kata-katanya, Allea mendekatkan rumah kerang itu ke telinganya. Perlahan dan samar ia mendengar getaran-getaran halus dari dalam rongga kerang itu. Ia tersenyum setengah tak percaya, lalu kembali ia mendengarkannya dengan lebih seksama. Allea mendengar desahan ombak yang pelan, getaran-getaran halus rumput laut yang bergoyang pelan seiring arus. Ia juga mendengar suara pelan dan lemah lonceng yang berdentang entah dari mana.
“Dahulu kala, ada sebuah kuil yang didirikan begitu dekat dengan laut. Sebegitu dekatnya, sehingga angin laut mampu menggoyangkan lonceng dan membunyikannya. Para nelayan menggunakan kuil itu untuk berdoa kepada dewa laut, meminta keselamatan dan keberuntungan dalam pelayaran. Bunyi lonceng dari kuil itu adalah pertanda apakah laut tengah ramah ataukah laut tengah marah. Seiring waktu, air laut semakin meninggi hingga ketika kuil itu mulai tergenang, para nelayan tidak lagi mengunjunginya, namun mereka masih menggunakan suara loncengnya sebagai pertanda. Air laut semakin naik menuju daratan sehingga beberapa ratus tahun lalu, kuil itu telah sepenuhnya tenggelam. Menurut cerita para nelayan tua, mereka masih mendengar suara lonceng yang sesekali berdentang dari kedalaman laut,” dongeng lelaki itu.
Allea tersenyum dan memandangi lelaki itu yang tengah memandang jauh ke cakrawala senja. Ia merasakan kehangatan yang tiba-tiba di sekujur tubuhnya, menyusup ke dalam hatinya.
“Apakah aku pernah melihatmu?” tanyanya sopan.
“Beberapa hari lalu, tapi mungkin kau tidak mengingatku.”
“Aku ingat. Kau lelaki yang waktu itu kulihat berdiri di bawah lampu jalan di depan rumahku ya?” Allea mengingatnya. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. “Apakah kau tinggal di sekitar sini?” tanyanya.
“Tidak. Aku berasal dari kota jauh telah menempuh perjalanan panjang sampai ke kota ini. Kupikir, di kota inilah pemberhentianku,” jawab lelaki itu.
“Apa yang kau lakukan di kota-kota itu, sepanjang perjalananmu? Sepertinya menyenangkan.”
“Mencari dan menceritakan dongeng.”
“Dongengkan aku sesuatu.”
“Pernahkah kau mendengar tentang negeri dua matahari?”
“Apakah negeri itu benar-benar ada?”
“Ada. Aku pernah singgah di sana.”
“Ceritaka kepadaku.”
Maka senja pun berlalu dalam kalimat demi kalimat yang keluar dari cerita lelaki itu. Allea mendengarkannya dengan senang hati. Ia membayangkan, senja-senja berikutnya ia akan bertemu kembali dengan lelaki itu dan mendengarkan dongeng-dongengnya. Mereka berpisah di depan pintu rumah Allea ketika malam mulai beranjak. Dari jendela kamarnya di lantai dua, Allea memandangi langkah lelaki itu yang bayangannya semakin memanjang dan menghilang di ujung jalan.
***
Cukup lama lelaki pendongeng berdiri mematung di bawah tiang lampu jalan setelah gadis senja menutup jendela kamarnya. Dari tempatnya berdiri ia bisa mencium bau laut. Tidak butuh waktu lama untuk memikirkan kemana ia akan melangkah selanjutnya. Dengan langkah pasti, ia mengikuti penciumannya menuju ke arah pantai. Dari kejauhan, suara ombak sayup terdengar di antara suara-suara dari deretan rumah di sepanjang jalan dan mobil-mobil yang sesekali melintas.
Ia tiba di pantai tepat ketika sebuah kapal nelayan kecil hendak melaut. Ia berseru memanggil para nelayan di kapal itu dan meminta agar mereka mengijinkannya ikut serta. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menjadi bagian dari nelayan-nelayan itu. Perjalanan-perjalanan yang telah dilaluinya dan pengalamannya bertemu dengan bermacam orang, telah memberinya pelajaran yang lebih dari cukup untuk dapat dengan mudah diterima oleh para nelayan itu. Untuk menghibur mereka, lelaki itu menceritakan dongeng-dongeng tentang laut. Ia bercerita tentang sekumpulan nelayan yang selamat dari amukan badai, namun ketika pulang ke rumah, mereka mendapati istri-istri mereka telah berubah menjadi sangat tua, padahal mereka merasa hanya meninggalkannya dalam semalam saja; cerita tentang seorang nakhoda yang berlayar ke tujuh samudera demi mencari mutiara langka untuk istrinya; dongeng tentang seorang bocah yang terlahir dengan insang di belakang telinganya, sehingga ayah bocah itu mengira bahwa istrinya telah berselingkuh dengan mahluk laut; dongeng tentang paus bermahkota yang barang siapa mampu mengambil mahkota itu akan menjadi penguasa samudera.
Mereka merapat di dermaga keesokan paginya dengan membawa tangkapan yang cukup banyak. Lelaki pendongeng dipersilahkan menginap di rumah salah satu keluarga nelayan. Mereka menerima lelaki itu dengan senang hati dan mempersilahkannya menempati sebuah ruangan kecil yang biasanya dipakai untuk menyimpan peralatan melaut. Di ruangan itu ia berbaring beralaskan tikar jerami sambil terus membayangkan tentang gadis senja yang baru saja ditemuinya. Ia telah memutuskan untuk tinggal di perkampungan nelayan itu yang letaknya cukup dekat dengan rumah gadis senja. Dari orang-orang di keluarga itu, lelaki pendongeng mengetahui lebih banyak tentang gadis senja.
***
Senja berikutnya Allea kembali ke pantai. Kali ini ia melihat lelaki itu berada di antara para nelayan yang tengah mempersiapkan kapalnya untuk melaut. Lelaki itu tidak menyadari keberadaan Allea karena pikirannya tertuju pada persiapan peralatan dan perbekalan. Setelah beberapa saat, barulah ia menyadari Allea tengah duduk begitu saja di atas pasir memperhatikan mereka kesibukannya dan para nelayan yang lain. Lelaki itu melangkah mendekati Allea dan duduk di sampingnya.
“Mereka mengatakan kalau namamu adalah Allea,” kata lelaki itu. Allea mengangguk sembari tersenyum.
“Mereka juga mengatakan, ayahmu lah pemilik sebagian besar kapal nelayan di tempat ini,” kata lelaki itu lagi.
“Apakah itu penting?” Allea balik bertanya.
“Aku tidak tahu.”
“Ada dongeng apa senja ini?”
“Dongeng tentang lelaki pendongeng dan gadis senja.”
“Ceritakan kepadaku.”
“Bertahun-tahun lelaki pendongeng berjalan dari kota ke kota, singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama orang-orang baik hati yang ia temui. Namun pada suatu senja yang remang, ketika ia tengah berdiri sejenak di bawah lampu jalan yang mulai menyala dan matanya tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menikmati sisa cahaya lembayung dari jendela kamarnya, mendadak ia merasa bahwa perjalanannya telah sampai di kota terakhir tempat ia akan menghabiskan sisa hidupnya, karena ia telah bertemu dengan gadis senja yang selalu muncul di mimpi-mimpinya.” Lelaki itu mulai bercerita.
“Apakah kau lelaki pendongeng itu? Apakah memang benar kau adalah lelaki pendongeng yang sering dikabarkan oleh orang-orang itu? Aku sungguh beruntung bisa bertemu dan berkawan denganmu.” Wajah Allea berseri.
“Apakah itu penting?” lelaki itu balik bertanya.
“Aku tidak tahu.”
“Aku bukan lelaki pendongeng. Aku seorang nelayan. Kau lihat sendiri kan, kau menemuiku di tengah para nelayan ini, bukan di tengah kerumunan anak-anak yang tengah mendengarkan dongeng?” gurau lelaki itu.
“Jangan bergurau. Aku juga bukan gadis senja.” Lalu keduanya tertawa.
***
Tidak butuh waktu lama bagi semua orang di tempat itu untuk tahu tentang kedekatan Allea dengan lelaki pendongeng. Keduanya sering terlihat di waktu senja, berjalan bersisian menyusuri tepian pantai. Kadang lelaki pendongeng terlihat di tengah kerumunan bocah-bocah nelayan yang khidmat mendengarkan dongengnya, sementara Allea duduk tak jauh dari kerumunan, ikut mendengarkan. Tak jarang, di waktu malam, keduanya terlihat di atas sebuah sampan kecil yang terapung pelan di perairan teluk yang berair tenang, di bawah taburan bintang.
“Ikut denganku, akan aku tunjukkan sesuatu.” Lelaki pendongeng menggenggam lengan Allea dan menuntunnya untuk mengikuti langkahnya. Mereka masuk ke kawasan hutan, melangkah di antara pohon-pohon bakau yang lebat, lalu mendaki bukit karang yang cukup tinggi. Langkah mereka seolah semakin menjauhi pantai. Atap hutan semakin rimbun dan pilar-pilarnya semakin merapat. Lalu sampailah mereka di sebuah bukaan hutan di atas bukit. Jauh di bawah, garis putih pantai dengan ombak-ombaknya yang berkejaran terlihat lebih indah. Sebatas mata memandang, hamparan biru laut dan garis cakrawala. Riuh suara camar meningkahi desah desau ombak.
“Aku telah hidup lama di tempat ini, namun aku tidak pernah menemukan tempat di mana aku bisa melihat laut seindah aku melihatnya dari tempat ini,” ucap Allea bahagia. Ia memandang jauh ke bentang samudera di depannya. Angin laut menerbangkan helaian rambutnya. “Terima kasih,” ucapnya lirih. Setitik air mata meluncur dari sudut matanya.
“Besok aku akan pergi jauh. Lebih jauh dari kota terjauh di negeri ini. Ayahku menyuruhku untuk belajar di negeri seberang. Entah kapan aku akan kembali. Entah apakah kita bisa bersama lagi seperti ini.” Allea terisak. Lelaki pendongeng menyusupkan kedua lengannya dari belakang tubuh Allea dan memeluknya erat.
“Maka aku akan menunggumu di tempat ini. Atau aku akan menyusulmu suatu saat nanti. Ingatlah, aku adalah lelaki pendongeng yang berjalan dari kota ke kota. Suatu saat aku akan sampai di kota manapun tempatmu akan berada,” ucap lelaki pendongeng menenangkan.
“Maukah kau menceritakan satu dongeng terakhir untukku?”
“Dongeng tentang lelaki pendongeng dan gadis senja.”
“Ceritakan kepadaku.”
“Bertahun-tahun lelaki pendongeng berjalan dari kota ke kota, dari satu negeri ke negeri lain, singgah di banyak tempat, bertemu dengan bermacam orang, namun tak pernah sekalipun terbersit keinginan untuk tinggal di salah satunya dan hidup bersama orang-orang baik hati yang ia temui. Karena ia tahu, seindah apapun tempat yang telah dan akan disinggahinya, sebaik apapun orang-orang yang pernah dan akan ditemuinya, semuanya tak akan pernah berarti sampai ia tiba di kota di mana gadis senja berada dan hidup bersamanya.”
“Jangan bergurau, aku bukan gadis senja,” canda Allea.
“Dan aku bukan lelaki pendongeng,” balas lelaki itu.
“Apakah itu penting?” keduanya berucap hampir bersamaan. Lalu mereka tertawa.
Di kejauhan, gegaris buih berkejaran menuju tepian.
Jatinangor, 13032010
Adi Toha, lahir di Pekalongan, 22 September 1982, bergiat di Rumah Baca Jalapustaka, Pekalongan.
"JIWA"
oleh Desi Dan Dewi pada 20 Mei 2010 jam 20:33
JIWA



Apakah gerangan yang menyebabkan manusia-manusia
Sebelumnya tak saling mengenal, sejenak
Saling memandang, lalu berkehendak,
Tak akan berpisah selama-lamanya?

Apakah gerangan yang mengharukan hati,
Waktu mendengar suara...
Tak pernah didengar sebelumnya,
Lama bak rekuiem berdesing di telinga kami?

Apakah gerangan yang membuat jiwa,
Dalam gembira ria melambung tinggi,
Membuat hati hebat berdetak?
Bila sepasang mata,
Manis memandang mata kami,
Dan kami terima jabat tangan hangat?

Tahukah kau, samudera biru,
Yang mengombak dari pantai ke pantai?
Tahukah kau berkata kepadaku,
Apa dasar keajaiban itu, wahai?

Katakan kepadaku, angin bersayap cepat
dari tempat-tempat jauh kau datang,
Apakah gerangan yang tak dipanggil datang,
Selama-lamanya mengikat hati kuat-kuat?

Wahai! Katakan, surya emas bercahaya-cahaya
Sumber cahaya dan panas alam semesta nan kuasa,
Apa gerangan keajaiban besar itu namanya,
Yang membuat hati dengan nikmatnya,
Melembutkan, melupakan duka,
Yang menghampiri kita di dunia?

Sinar matahari menembus dedaunan,
Jatuh pada pasang naik bergelombang,
Menjadi serba berkilauan, di sekitar serba terang,
Di bawah sinar cahaya matahari keemasan!

Permainan permai dari cahaya dan warna,
Disaksikan mata nan gembira ria
Dan dari dada yang terharu dalam,
Membubung piji syukur yang salam!

Bukan satu keajaiban, melainkan tiga!
Berkilauan di atas indung mutiara yang cair
Dengan huruf berlian tertulis oleh cahaya:
"Cinta, persahabatan, simpati!"

Cinta, persahabatan, simpati,
Riak ombak menggumam menirukan,
Bayu di pepohonan menyanyikan
Kepada anak manusia yang bertanya

Manis terbelai telinga yang mendengarkan
oleh nyanyian gelombang dan angin nan ajaib,
Di seluruh, seluruh dunia
Jiwa yang sama akan berjumpa!

Jiwa yang sama tak memandang warna,
Tak memandang pangkat dan tingkat
Tetapi tangan berjabat
Dalam hal apa pun jua!

Dan bila jiwa telah berjumpa,
Tak dilepaskan lagi ikatan,
Yang mengikat, dan dalam hal apa jua
Meski waktu dan jarak, tetap setia

Suka, duka ditanggung bersama,
Demikian sepanjang hidup!
Duhai! Bahagia nian bertemu dengan jiwa yang sama
Telah tersua harta terkudus.


"dari : Kartini"
Sebuah Soneta Cinta "Ciuman Hujan" Pablo Neruda
oleh Desi Dan Dewi pada 20 Agustus 2010 jam 0:44

Ketika...PAGI...







Aku tak mencintaimu seakan kau mawar-bergaram, atau manikam,

atau panah bunga-bunga anyelir yang diluncurkan nyala api.

Aku mencintaimu bak benda-benda gelap tertentu yang dicintai,

dalam rahasia, di anatar bebayang dan jiwa.



Aku mencintaimu bagaikan tanaman yang tak pernah berbunga

namun membawa sinar dari bunga-bunga tersembunyi dalam dirinya;

terima kasih pada cintamu atas harumnya yang penuh,

yang bangkit dari bumi, mukim dalam gelap di tubuhku.



Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, atau kapan, atau dari mana.

Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa banyak soal atau rasa bangga;

begitulah aku mencintaimu sebab aku tak tahu jalan lain



selain ini: di mana aku tak ada, kau juga tak ada,

begitu dekat sehingga tanganmu yang di dadaku tak lain tanganku,

begitu dekat sehingga ketika aku tidur seolah matamulah yang terpejam,







Di Kala SENJA...





Kau mesti tahu bahwa aku tak mencintaimu dan bahwa aku mencintaimu,

sebab segala sesuatu yang hidup mempunyai dua sisi,

sepatah kata adalah satu sayap dari keheningan,

api mempunyai separuh dingin.



Aku mencintaimu untuk mulai mencintaimu,

untuk memulai ketakterbatasan kembali

dan tak pernah berhenti mencintaimu:

sebab itulah mengapa aku tak mencintaimu.



Aku mencintaimu dan aku tak mencintaimu,seolah kugenggam

kunci-kunci di tanganku; untuk masa depan kegembiraan

nasib malang dan kacau balau



Cintaku mempunyai dua kehidupan,untuk mencintaimu;

sebab itulah aku mencintaimu ketika aku tak mencintaimu

dan pula mengapa aku mencintaimu ketika aku mencintaimu









Saat PETANG...





Aku tak mencintaimu- kecuali karena aku mencintaimu;

aku pergi dari mencintaimu ke tak mencintaimu,

dari menunggu ke tak menunggumu

hatiku bergerak dari dingin ke dalam api.



Aku mencintaimu hanya karena engkaulah yang kucintai;

aku membencimu tanpa akhir, dan membencimu menikung ke arahmu,

dan ukuran dari cintaku yang berubah-ubah untukmu

adalah bahwa aku tak bisa memandangmu namun mencintaimu secara buta.



Barangkali cahaya Januari akan melahap

hatiku dengan cahaya kejamnya,

menculik kunciku untuk mencapai ketentraman sejati.



Dalam bagian dari cerita ini aku adalah seorang yang mati,

satu-satunya orang, dan aku akan mati oleh cinta karena aku mencintaimu,

karena aku mencintaimu, kekasih, dalam api dan dalam darah.





Masih...PETANG...







Mungkin...meski aku tak berdarah...aku terluka

berjalan

sepanjang rentang sinar kehidupanmu.

Di tengah-tengah hutan banyu menghentikanku,

hujan berluruhan bersama langitnya.



Lalu kusentuh hati yang gugur, ketika hujan:

di sana aku tahu itu matamu

yang menembusku, ke pedalaman dukaku yang maha luas.

dan hanya sebuah bisikan bebayang yang tampak,



Siapa dia? Siapa dia? Tapi dia tak bernama,

daun atau air gelap yang berderaian

di tengah-tengah hutan, tuli sepanjang jalan:



maka, Kekasihku, aku tahu bahwa aku terluka,

dan tak seorangpun bicara di sana kecuali bebayang,

malam yang berpetualang, ciuman hujan.





MALAM....





Dan kini engkau adalah aku. Istirah dengan mimpimu dalam mimpiku.

cinta dan sakit dan kerja telah pulas, sekarang.

Malam membelokkan roda-roda yang tak tampak.

dan kau murni di sampingku bak batu ambar yang tertidur



Tak ada seorang pun, Kekasih, akan tidur dalam mimpiku. Kau akan pergi,

kita akan pergi bersama, lewati sungai waktu.

Tak seorang pun akan berkelana menerobos bayang-bayang bersamaku,

hanya kau, selalu hijau, selalu surya, selalu bulan.



Tanganmu telah membuka kepalannya yang menyenangkan

dan biarkan tanda-tanda kelembutannya berguguran;

matamu terpejam bagaikan dua sayap kelabu, dan aku bergerak



ke depan, mengikuti lipatan air yang kau bawa, yang membawaku pergi.

Malam, buana, angin mengisarkan takdirnya.

Tanpamu, akulah mimpimu, hanya itu, dan itulah segalanya.







(penyulih:Tia setiadi...makasih ya buat pemberian buku2nya...dan terima kasih telah mengajariku men jadi penulis).





Untuk:seseorang...yang selalu aku sayangi...
sketsa
oleh Saiful Amri pada 22 Februari 2010 jam 0:33
bismillah. peristiwa demi peristiwa yang telah di skenario oleh Allah untuk kita adalah dalam rangka membimbing/mentarbiyah kita. sejauh mana kita telah tunduk kepada-Nya. bukan masalah apa yang terjadi pada kita saat ini tetapi bagaimana saat ini kita bisa lebih tunduk kepada-Nya, lebih memilih Dia dari pada segalanya. orang-orang yang sampai ke tahapan ini ia akan merasakan la khoufun 'alaihim walahum yahzanuun. sama saja bagi mereka apapun keadaan yang terjadi pada dirinya, dikala ia sedih atau gembira, kaya atau miskin, ada teman maupun ketika sendiri, mereka tetap bahagia. bahagia sebenarnya adalah ketika kita dekat dengan-Nya dan bekerja sesuai aturan-Nya.

ada seorang pengembara tiba di suatau desa katakanlah papringan tiba-tiba ia oelh penduduk desa papringan dianggap wali Allah. dia dialayani, disilakan sebagaimana mestinya menghormati wali Allah. ia disanjung puji dan bahkan dicium tangannya. lalu dia katakan bahwa dia orang biasa dan bukan wali allah namun tetap saja para penduduk desa memperlakukannya seperti itu.alhamdulillah.

kemudian melanjutkan ke desa lain katakanlah gowok. sampai disana pas waktu shalat dhuhur namun setelah shalat ia disusir oleh ajamah lantaran pakaianya kumuh kelihatan sekali ia miskin. dia di curigai sebagai maling sandal. "ini dia ni biang sandal yang selama ini menganggu di masjid kita"kata seorang jamaah.dia mengatakan bahwa dia tidak pernah mencuri sandal di masjid bahkan niatpun tidak ada , dia hanya mampir untuk shalat duhur. namun tetap saja ia dia di usir.alhamdulillah.

lalu sang pengembara melanjutkan perjalanan kepasar katakanlah pasarambarukma karena dia lapar. dasar watak pengembara ini memang aneh dia tidak mau minta terlebih dahulu kecuali jika ada orang yang memberi. maka dia mencari sisa kulit semangka yang ada di belakang pedagang buah semangka. begitu pengembara makan kulit yang telah ia cuci di kran dekat pedagang buah ia langsung kena hajar oleh sang pedagang bahkan orang-orang pasar juga ikut-ikutan. ini lantaran dia di tuduh sebagai sebab hilangnya semangka dalam sebulan ini buktinya, ia masih memegang kulit semangka dan sedang memakannya. dia sudah menyangkal bahwa dia tidak pernah mencuri semangka namun apa daya dia memegang barang bukti berupa kulit semangka dan memakannya dengan lahab. dalam hati dia hanya bilang "alhamdulillahi ya Allah hanya Engkau saja yang bisa membelaku." di tengah - tengah masa yang mulai berdatangan ada dua penduduk papringan yang kebetulan belanja di pasar ambarukma lalu dia katakan tidak mungkin pengembara mencuri semangka. karena pengembara tersebut adalah orang yang dekat dengan Allah.

spontan saja pedagang tersebut minta maaf dan menciun sang pengembara dan disilakan mkan buah semangka sepuasnya. alhamdulillah.

skenario dari Allah mungkin saja tidak bisa kita duga, karena bagi Allah jika Ia Menghendaki sesuatu cukup mengatakan "jadi" maka terjadilah. syukuri apa yang telah Dia berikan. sudah terlalu banyak pemberian-Nya. setiap saat, setiap detik dan tarikan nafas kita adalah anugerah yang memang seharusnya cukup menjadikan kita kaya. kekayaan sebenarnya bukan kaya harta benda semata-mata namun kaya "hati". bukan kita tak butuh harta benda tetapi yang yang perlu kita lakukan adalah menindak lanjuti nikmat yang kita miliki yang sebanyak ini untuk apa?nikmat mana lagi yang engkau akan dustakan? apa yang kita miliki saat ini sudah cukup sebagai modal untuk lebih mendekat kepada-Nya. mau kapan lagi untuk lebih dekat dengan-Nya? mau menunggu apa kita? menunggu kaya? menunggu punya istri? menunggu punya anak? menunggu punya kendaraan mewah? ingat pada dasarnya menunggu adalah menunggu kematian.

setelah kita mau bersyukur kehidupan ini adalah sebuah keajaiban.
Kartini dan Kartono *file temuan
oleh Ahmaed Albar pada 22 April 2010 jam 10:39
WANITA MEMANG SUSAH DIBUAT "BAHAGIA" !!
Jika dikatakan cantik dikira menggoda ,
jika dibilang jelek di sangka menghina ..
Bila dibilang lemah dia protes,
bila dibilang perkasa dia nangis .

Maunya emansipasi, tapi disuruh benerin genteng , nolak
(sambil ngomel masa disamakan dengan cowok)
Maunya emansipasi, tapi disuruh berdiri di bis malah cemberut
(sambil ngomel,Egois amat sih cowok ini tidak punya perasaan)

Jika di tanyakan siapa yang paling di banggakan, kebanyakan bilang Ibunya ,
tapi kenapa ya ..... lebih bangga jadi wanita karir,
padahal ibunya adalah ibu rumah tangga (hayooooo)

Bila kesalahannya diingatkankan,
mukanya merah..
bila di ajari mukanya merah,
bila di sanjung mukanya merah
jika marah mukanya merah,kok sama
semua ? bingung !!

Di tanya ya atau tidak, jawabnya diam;
ditanya tidak atau ya, jawabnya diam;
ditanya ya atau ya, jawabnya :diam,
ditanya tidak atau tidak, jawabnya ; diam,
ketika didiamkan malah marah
(repot kita disuruh jadi dukun yang bisa nebak jawabannya).

Di bilang ceriwis marah ,
dibilang berisik ngambek ,
dibilang banyak mulut tersinggung ,
tapi kalau dibilang S u p e l
wadow seneng banget...padahal sama saja maksudnya wakakakaka

Dibilang gemuk engga senang
padahal maksud kita sehat gitu lho
dibilang kurus malah senang
padahal maksud kita "kenapa elo jadi begini !!!"

Itulah WANITA makin kita bingung makin senang DIA !


PRIA ITU MEMANG SUSAH... :(

Jika kamu memperlakukannya dengan baik, dia pikir kamu jatuh cinta
padanya.. ....... Jika tidak, kamu akan dibilang sombong.

Jika kamu berpakaian bagus, dia pikir kamu sedang mencoba untuk
menggodanya. Jika tidak, dia bilang kamu kampungan.

Jika kamu berdebat dengannya, dia bilang kamu keras kepala.
Jika kamu tetap diam, dia bilang kamu nggak punya otak.

Jika kamu lebih pintar dari pada dia, dia akan kehilangan muka..
Jika dia yang lebih pintar, dia bilang dia paling hebat.

Jika kamu tidak cinta padanya, dia akan mencoba mendapatkanmu.
Jika kamu mencintainya, dia akan mencoba untuk meninggalkanmu.

Jika kamu beritahu dia masalah mu, dia bilang kamu menyusahkan.
Jika tidak, dia bilang kamu tidak mempercayai mereka.

Jika kamu cerewet pada dia, kamu dibilang seperti seorang pengasuh
baginya.Tapi jika dia yang cerewet ke kamu, itu karena dia perhatian.

Jika kamu langgar janji kamu, kamu tidak bisa dipercaya.
Jika dia yang ingkari janjinya, dia melakukannya karena terpaksa.

Jika kamu merokok, kamu adalah cewek liar !
Tapi kalo dia yang merokok, dia adalah seorang gentleman, wuiihh..!
*tapi aku ga merokok loh

Jika kamu menyakitinya, kamu dibilang perempuan kejam..
Tapi jika dia yang menyakitimu, itu karena kamu terlalu sensitif dan
terlalu sulit untuk dibuat bahagia !!!!!

Jika kamu mengirimkan ini pada cowok-cowok, mereka pasti bersumpah kalau
ini tidak benar. Tapi jika kamu tidak mengirimkan ini pada mereka, mereka akan bilangkamu egois.

Jadi..... kirimkan ini pada semua teman lelakimu diluar sana dan
juga pada semua teman cewekmu untuk berbagi tawa bersama.. ;)
hwahwahwa...
Well.... it's true..!!!!
ENGKAU & SANG LAIN
oleh Kian Santang pada 28 November 2010 jam 19:42

Engkau & Sang Lain





Why should the aged eagle stretch its wings?

(T S. Elliot)





Sahabat, pernahkah engkau memperhatikan setangkai bunga teratai merah yang telah tumbuh dibawah air dan tiba-tiba mencuat ke permukaan kolam? Begitulah sebuah fragmen kepribadianmu tampil mengukuhkan presensinya di antara fragmen-fragmen lain, seperti sepotong langit yang melukis kebiruannya sendiri. Kebiruan yang dilukis itu adalah Wajah Sang Lain yang menyingkap sekaligus melenyap. Menyingkap karena wajah itu ternyata mourpheus, dengan morfologi tubuhnya yang simetris dan lengkap, dengan nama yang dapat kau panggil, dengan bagian-bagian indra yang masing-masing bisa dikenali dan dibedakan. Melenyap karena sungguhpun wajah itu berbentuk, engkau tak akan pernah tahu seutuhnya tentang kedukaannya, kebahagiaanya, nasibnya. Bisakah kau terjemahkan pandang matanya tatkala ia menerawang ke arah akanan? Atau pada satu titik dimana matanya bertemu matamu?. Adakah ia berbahagia ketika sesituasi denganmu?. Engkau hanya dapat menduga-duga.

Di sini, aku terkenang kata-kata Emanuel levinas tentang Wajah, dalam suatu wawancara singkat dengan Phlippe Nemo. “Wajah, kata Levinas, ‘adalah makna pada dirinya sendiri. Engkau adalah engkau. Dalam arti ini dapat dikatakan bahwa Wajah itu tidak “dilihat”. Wajah tidak bisa menjadi isi yang engkau tangkap dengan pemikiran, wajah tidak bisa dirangkum, ia menghantar engkau ke sebrang”. Lantas, kita pun bertanya-tanya apa gerangan yang ada disebrang Wajah? Namun, bagaimana kita tahu apa yang di sebrang Wajah, kalau bahkan makna Wajah itu sendiri mrucut. Betapa susah sungguh/ Mengingat Kau penuh seluruh, kata Chairil Anwar dalam sepenggal puisinya. Barangkali, “Kau” yang diseru oleh Chairil adalah Ia yang di sebrang Wajah itu. Maka, bila demikian halnya, setiap Wajah selalu mengandung tilas dari Sang Maha Lain. Ia nampak pada kita, seraya sembunyi. Kehadirannya mustahil direngkuh, sebab setiap Wajah membawa serta kesunyiannya sendiri-sendiri.

Namun kenapa gerangan cuma Wajah itu yang tersingkap atau membukakan diri padamu? bukan yang lainnya? kenapa elang mesti merentangkan sayap-sayapnya?, seperti sekeping pertanyaan TS.Elliot dalam sajak yang kunukil di muka surat ini. Di sinilah letak misteri itu. Dan sebagaimana setiap misteri, ia menyangkal analisa nalar. Mendadak saja pelbagai kategorisasi tentang yang jelek dan yang jelita, yang anggun dan yang cacat, raib. Epifani Wajah itu oleh sang waktu mengetengahkan atmosfer sakral ke dalam setiap rendezvous. Ia menggaungkan jejak sayup-sayup dari Yang Suci. Ia menghindar dari segala penilaian. Penyair Coleridge menyatakan prosesi ini dengan frase yang indah, bahwa ia, Wajah itu, “falls sudden from heaven like a weeping cloud”.

Pada momen ketika weeping cloud itu menggelincir ke kanvas sanubari, seketika menyembul visiun-visiun baru, sebentang terra incognita, yang memberi efek sakinah sekaligus kesakitan. Ini mirip momen puitik dan bahkan profetik. Akan tetapi, bagaimana mesti menerjemahkan visi yang menyerupai melodi? Bagaimana kata-kata mesti menanggungkan percikan imaji? Lihatlah, sahabat, kini engkau terkatung-katung di antara melodi dan visi, imaji dan kata-kata, sakinah dan kesakitan. Dan tak mungkin bisa lari, sebab Wajah itu sudah memasuk-rasuki segalanya (Everything became a You and nothing was an It, bisik Auden). Bagai getar yang berkelebat dari atas, dari bawah, dari pinggir, dari selatan, dari utara, dari mana-mana, terus-menerus, berpendaran, ad infinitum. Mungkin momen inilah yang disebut mysterium terrible et fascinans (misteri yang menakutkan sekaligus memikat): Sebuah misteri “pewahyuan” dalam ektase waktu.

Nah, sahabat, demikianlah sekadarnya pemaknaan dariku, tentang fragmen perasaanmu pada si gadis itu. Lima atau sepuluh tahun yang akan datang mungkin engkau akan sudah bersatu dengannya, mungkin tidak. Tapi bagaimana pun surat pendek ini telah bersaksi tentang engkau dan dia. Sekali-kali, di lain waktu, mungkin engkau tertarik membacanya kembali. Kini, sebelum undur dari surat ini, baiklah kunukil untukmu satu puisi Tagore yang subtil, yang boleh jadi suatu saat kau bacakan padanya:





Tangan berlekapan dengan tangan dan mata berlena

pandang dengan mata;demikian bermula rekaman kisah

hati kita

Malam purnama di bulan maret ; bau henna yang

harum diudara ; sulingku terkapar lena ditanah dan

karangan bungamu terbengkalai tidak selesai.

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai

sebuah nyanyi.



Kulitmu yang berwarna kuning muda memabukan

mataku

Karangan melati yang kaurangkai bagiku mengge

tarkan hati laksana puji.

Suatu permainan beri dan tahan, buka dan katup

kembali; beberapa senyum dan sipuan lembut serta re

rebutan manis tanpa guna

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai se

buah nyanyi.



Tak ada rahasia diluar kini; tak ada tuntutan untuk

yang langka; tak ada bayang dibalik pesona, tak ada

raba dipusat kelam

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana bagai

sebuah nyanyi.



Kita tidak menyasar lari dari serba kata ke dalam

diam selalu;kita tidak mengangkat tangan bersumpah

janji untuk sesuatu diluar harapan.

Cukuplah apa yang bisa kita berikan dan kita dapat

Kita tidak merusak kegirangan hingga jadi berlebih

an untuk memerah anggur kepedihan dari dalamnya.

Kasih antara engkau dan aku ini sederhana, bagai

sebuah nyanyi.



( Rabindranath Tagore, Tukang Kebun, kidung bagian ke-16 )



Dengan nukilan dari puisi Tagore tersebut, aku harap, aku telah memungkas surat ini sebagus-bagusnya..





dari sahabat yang menyayangimu selalu,



Tia Setiadi





CATATAN: surat sederhana ini sudah lamaa banget saya tulis, mungkin di tahun 2005, saat seorang teman akan menyunting seorang gadis.kemarin saya temukan lagi surat ini, dan saya baca kembali. ada beberapa bagian yang masih saya suka, ada yg tak begitu saya sukai lagi. banyak hal diubah oleh waktu. namun mengingat lagi surat ini, saya jadi merindukan sesuatu, barangkali suatu suasana yang sangat terwakili oleh kata ini: Sakinah...

buat fahmi dan lisa, buat bela dan suaminya: tulisan ini semoga jadi kado sederhana buat kalian yg baru menikah....

buat sedopati dan kartini yang akansegera menikah, surat ini semoga jadi pemanis pernikahan kalian...

buat yg lain2 (dan saya juga) semoga jadi inspirasi menuju jalan sakinah.....
Jika saya berkualitas tinggi,
dibayar rendah oleh orang
yang TIDAK mampu,
dan saya terima dengan ikhlas;
itu namanya berharap kepada Tuhan.
...
Jika saya berkualitas tinggi,
menerima bayaran rendah
dari orang yang mampu membayar,
itu berarti saya tidak menghargai diri saya.

Saya harus meng-HARGA-i diri saya
sebagai anugerah dari Tuhan.

Saya tidak bekerja untuk bayaran.

Saya bekerja untuk harga diri saya.

Mario Teguh
Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah (in new and true story) Setiap orang ingin pacaran
oleh Desi Dan Dewi pada 03 Desember 2010 jam 0:55

NIKMATNYA PACARAN SETELAH MENIKAH

( IN NEW AND TRUE STORY )

SETIAP ORANG INGIN PACARAN



Meski setiap orang di dunia ini akan menyangkal, aku tetap akan menceritakan dan menulis kisah ini. Inilah hidupku dan inilah aku, perlu kurenungkan kembali hidupku, apa masalahku?

Pertama-tama aku seorang perempuan dengan tampang pas-pasan, itu artinya hidupku rumit. Kedua, sayangnya aku punya indera perasa dan pemikiran yang tajam itu berarti aku mempunyai cara yang berbeda, sedikit aneh dan juga terlalu sensitif.

“Hai…namaku Desi Wulandari! Orang sering memanggilku Desi...kenapa tidak Wulan ya? Kayaknya lebih cantik dan menawan seperti bulan…wuaha…ha. Mungkin karena Desi itu adalah nama seorang artis cantik dan terkenal di negeri ini yang tidak begitu terkenal di dunia, yang tampangnya lebih mirip diriku dari pada aku mirip dengannya…wakkakakakkakak. Najis habis gue…he…he…maafkan saya Mbak Desi Ratnasari telah menyeretmu dalam kasus ini. Yeach…apalah artinya sebuah nama kata William Shakespeare, tapi tak kasih tahu artinya namaku…sebelum banyak pertanyaan tentang asal-usul namaku dan akhirnya membawa usil…he…he….Desi itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti gadis desa…ha…ha…’wong ndeso’, Wulan dari bahasa Jawa yang artinya bulan, dan Dari itu dari kata Ndadari dalam bahasa Jawa yang artinya besar, kalo yang lebih tragis dan narsis ‘dari’ diambil dari kata bidadari katanya ibukku biar irit, maklum aku lahir ketika jaman masih susah jadi semua hal harus diirit termasuk nama…ha…ha…. Jadi kurang dan banyak lebihnya beginilah kira-kira arti dari namaku: “Seorang gadis desa yang bagaikan bulan purnama atau bidadari dari bulan yang diturunkan di sebuah desa”…wakakkakakkaka. Jika ingin protes ataupun kecewa boleh menghubungi nomor ini 081804242131, dijamin tidak akan ditanggapi dan dibalas kecuali orang-orang yang telah menyelamatkan kehidupanku dengan mengirimiku pulsa…wakkakakakak. Tapi semoga nama itu sesuai dengan pengharapan kedua orang tuaku…amiiin.”

Inilah kisahku.

Pada tahun 2002 aku diterima di jurusan Sosiologi UGM yang pada saat yang sama banyak orang yang ditolak dari jurusan itu. “Hmmmm…ternyata aku yang rada-rada bego gini bisa masuk UGM juga, meski harus mengalami perjuangan dua tahun ditolak terus oleh UGM…wakkakakakak…dasar UGM kagak bisa bedain mana orang pinter dan mana orang bego.” Semua sama di mata hasil UMPTN yang cara mengerjakan soalnya menggunakan rumus umpetan (umum dan penuh pengetahuan) wakakkakkkkk…dan pada akhirnya semua hal ditentukan oleh faktor yang namanya ‘keberuntungan’ tak peduli seberapa pintar dan seberapa bodohnya seseorang. “ Syukur alhamdulillah…aku termasuk orang yang beruntung, lebih beruntungnya lagi aku masuk di UGM yang belum mengenal sistem UM (uang masuk)…ha…ha…jadi masih bisalah aku sekolah di sana. Coba tahun berikutnya di jamin aku tak kan bisa kuliah di sana, yang mana pada saat itu “Orang miskin dilarang sekolah”. Aneh sekali memang pendidikan sekarang ini, semuanya dari, oleh, dan untuk UM (uang or money).

Aduh…maafkan saya para pembaca tersayang, ceritanya masih pada mulanya belum pada intinya…wakkakakakakk. Dalilku untuk alasan itu ‘Apa gunanya inti, jika kau tak tahu awal mulanya’…he…he…mari kita kembali ke jalan yang benar-benar benar!

Tahun 2005, tahun di mana aku sangat sibuk dengan dakwah kampus di bawah naungan JMF (jama’ah muslim FISIPOL). Di mana pada saat itu saya diamanahi sebagai Kabid Kemuslimahan, bagi yang belum tahu kepanjangan dari Kabid tak kasih tahu dech. Kabid itu kepanjangan tangan dari ketua bidang he…he…kok bisa ya saya jadi ketua bidang…biasanya saya jadi ketua umum...maklum laki-laki itu kan pemimpin perempuan, jadi ya manut sajalah apa kata imam (untungnya pada saat itu saya masih manutan).

Kedudukan yang prestisius yang sebenarnya tidak kuinginkan, gimana tidak prestisius dan pelik harus meratui dan mengurusi para akhwat (perempuan). Jadi perempuan saja sudah rumit apalagi harus mengurusi perempuan lain…banyak lagi, yang paling enak adalah mengurusi laki-laki karena mudah mengatakan ‘tidak’ kepada laki-laki daripada kepada perempuan. Pada saat yang sama, muncullah buku yang berjudul “Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah” karya Salim A Fillah yang diterbitkan oleh penerbit Pro-U Media yang masih baru di kalangan penerbit buku, maka gemparlah kerajaanku yang serba sensitif. Bagaimana tidak gempar, buku itu menjadi pemicu permasalahan di kalangan para akhwat di kerajaanku. Di sini kaumku terbagi menjadi dua kubu, Kubu pertama yang terprovokatori untuk menikah dan Kubu kedua sebagai oposisinya, yaitu kubu yang anti poligami…eh..eh…wait…wait apa hubungannya ya…? Aku juga tidak tahu, yang jelas ini hanya permasalahan penamaan. Dan sebagai seorang ketua aku harus bisa adil dan bijaksana terhadap dua kubu itu, meskipun sebenarnya dan sejujurnya aku berada dalam kubu yang kedua…hah…hah….

Permasalahan itu semakin sengit ketika kedua kubu beradu argument lewat adu opini masing-masing, meskipun itu hal yang sangat biasa dan tidak mencolok dalam kehidupan masyarakat SOSPOL yang terbiasa hidup dengan perbedaan. Ini hanyalah untuk menuju cerita intinya…he…he….

Karena penasaran dengan buku yang membuat teman-teman akhwat yang sering membicarakannya, akupun mencari tahu buku itu. Diiringi do’a dan rasa penasaranku yang menggebu (jargon salah satu anggota kemuslimahanku, yang di tahun berikutnya menggantikan kedudukanku…halo Mia Zuhara…salam Menggebbu…sekali menggebbu tetap menggebbu)…he…he…, dipertemukanlah aku dengan buku itu lewat jalur yang selalu kusukai yaitu meminjam buku teman, yang dikemudian hari tanpa kusadari itu menjadi tradisiku. Hal itu kulakukan sebagai target pribadi, supaya lebih cepat membaca karena yang punya belum membaca sehingga mengejar-ngejarku untuk mengembalikan bukunya, betapa enaknya dikejar-kejar saat itu…ha…ha….Kuucapkan terimakasih buat keluarga Az-Zuhruf (Anis Zuraidah, Ummi Kalstum, Rosi, mbak Aini Firdaus, Mbak Dian Era, Retno Palupi, Iken Lestari, Sari, Mia Zuhara) yang salah satu diantara yang kusebutkan itu adalah si pemilik buku yang berbaik hati meminjamiku buku itu…maaf kan saya si pemilik buku yang telah melupakan bahwa kau pemilik sebenarnya, gimana bisa ingat pemiliknya wong waktu meminjamnya dan waktu mengembalikannya tinggal ambil dan taruh saja…wkakakkakakk.

Ternyata buku itu terlalu berat untukku dari pada membaca resep masakan ala chef di majalah Femina…ha…ha…soalnya harus pake praktek, baru bilang enak. Gimana tidak repot dan bingung jika bahan-bahannya saja tidak tersedia di toko-toko terdekat, harus ke supermarket dulu baru bisa mendapatkannya. Lho kok gak nyambung nih…maksudku mencari suami itu tidak mudah seperti mencari bahan-bahan resep masakan apalagi bisa bilang enak, kalau belum pernah mencobanya…he…he…(cari suami kok coba-coba). Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Dan betapa terkejutnya diriku mengetahui bahwa yang menulis buku itu adalah adik kelasku beda jurusan dan fakultas dia anak tehnik dan ternyata belum menikah. Oh…layaklah dia terhujat oleh teman seperguruanku yang merupakan kubu kedua, hai Nenok…saat ini kau tersangka utamanya…ha…ha…, katamu:”Ikhwan yang menulis buku itu benar-benar aneh.” Yang lebih tragis lagi kata Wigke teman sepermainanku tapi tetap slalu mesra:”Durung nikah…kok wani nulis buku nikah!” maaf jika ada roaming bahasa, kira-kira begini bahasa planetnya “belum menikah kok berani menulis buku tentang nikah”. Hai Wig…apa kabarmu, sebentar lagi menikah ya…berarti kau bisa menulis buku tentang ‘rahasia menikah’…ha…ha…piss man. Sebenarnya gak kejam-kejam amat sih hujatannya, malah cenderung menggelitik dan asyik…artinya menggelitik pikiranmu dan mengusik imajinasimu.

Ternyata teori itu berlaku, semakin kontroversil sesuatu semakin banyak orang menginginkannya. Jadilah buku itu best seller di kota pelajar dan penulis buku itu menjadi the most wanted, terbukti saat kami mengundangnya di acara yang kami adakan, beliau tidak bisa karena jadwal telah padat dan pull di bulan itu…he…he…, maaf buat sang penulis anda juga saya ikutkan dalam cerita ini.

Saat aku menyelasikan buku Salim A Fillah yang satu ini, ini membuatku dan membawaku pada pemikiran yang berbeda…aku menamainya “bermain dengan bahaya” kata Foucault,”Jika segala hal berbahaya setidaknya ada hal yang bisa kita lakukan.” Dan yang kupikirkan setelah membaca buku ini adalah “aku harus berpacaran”, tahu kenapa?Dan kenapa harus tahu? Tak lain dan tak bukan karena aku belum percaya kalau pacaran sebelum menikah itu tidak nikmat, buktinya saja banyak orang yang berpacaran dan sibuk mencari pacar, itu berarti pacaran itu diinginkan setiap orang dan sesuatu yang diinginkan itu selalu nikmat jika didapatkan.

Sejak saat itu resmilah aku mencari pacar…ha…ha…kadang kita semua melakukan sesuatu yang tidak masuk akal sekedar mau mencari tahu kebenarannya. Orang lain hanya bisa bercerita soal cinta, pacaran dan indahnya pernikahan, bagiku ini soal realita dan rasa masing-masing orang tentunya memiliki pengalaman dan rasa yang berbeda…ini soal rasa dan cinta men bukan soal ujian semester yang bisa dipelajari semalam suntuk (sehabis tidak tidur semalam terus suntuk)…wkakakkkkaka. Jika Tuhan menginginkan semua orang sama, Dia akan melakukan hal yang sama pada semua orang, itu berarti aku bisa mendapatkan pacar dalam waktu terdekat…wakkakkkakkakkk…(Ngimpiiiiii…). Inilah kesulitan pertama yang kukatakan di awal tadi, bagaimana mungkin si buruk rupa mencari pacar ganteng nan rupawan, tampang saja pas-pasan, pas jeleknya maksudnya…wakkakaaakakk. Ini berarti aku harus belajar banyak hal dan belajar jurus-jurus menaklukan hati laki-laki…ha…ha….

Dan mulailah aku belajar mencari cinta…eh …pacar pada temenku yang memililki dan bergaul dengan banyak cowok yang saat itu telah sukses berpacaran karena telah memilki beberapa pacar…ups…hai Meif …jangan tersinggung dan tergoda ya…ha…ha…love you soo much. Seiring perjalananku mencari pacar aku bertemu dengan seorang teman sekaligus seorang ustadz. Di sebuah kajian yang temanya tentang pacaran dia mengatakan:”Pacaran itu boleh, tapi ada syaratnya”. Mendengar hal itu aku sangat senang, karena baru kali ini ada ustadz yang mendukung pacaran padahal yang lainnya selalu mengharamkan pacaran. Saking antusiasnya aku pun bertanya:”Ustadz…lalu apa syarat-syaratnya”, dan jawabannya jauh lebih tak terduga daripada yang telah kuduga…ha…ha…:”Pacaran itu boleh asal tidak bersentuhan, jika bersentuhan itu namanya nafsu bukan cinta…kau tinggal pilih, pilih nafsu atau cinta” (hai Am…jawabanmu sungguh selalu tak terduga, bagaimana kabar Ngawi bro?Masih tetap berjuangkah...). Hmmmmm…bagus sekali jawabannya…okelah kalau begithu…misi tetap dilanjutkan…”mencari pacar”…semangat…1000 kali.

Waktu berjalan sangat cepat, hingga tak satupun pacar yang kudapatkan…nasib buruk kadang memang kurang ngajar. Tapi anehnya datanglah sebuah pinangan dari seorang ikhwan (tak usah kusebut merknya karena aku tak mau mengingatnya…semoga beliau mendapatkan yang terbaik), masalahnya pada saat itu aku kan tidak sedang mencari suami…aku mencarinya pacar…jadi kutolaklah pinangannya. Beberapa pinangan telah kulewati dari hakim, bisnisman, engeenering, seniman, guru, ustadz, dll semua profesi kayaknya pernah mendaftar…wakkakakkaka…sok laku benar gue (cerita ini hanyalah fiktif belaka, para pembaca yang budiman dilarang keras untuk mudah tertipu) ini benar-benar rekayasa, faktanya tidak ada yang mau sampai sekarang…wkakakkakakak.

Akhirnya karena tidak juga aku menemukan pacar, bertanyalah aku pada banyak orang. Sembilan dari 10 pria yang kutanyai mengatakan :”Apa artinya pacaran tanpa sentuhan?”. Kesimpulannya berarti orang yang berpacaran itu karena nafsu bukan cinta. Karena diriku adalah perempuan sejati yang mana menjaga kehormatan dan kesuciannya adalah darmanya seorang wanita (wanita sholihah), maka kuputuskan untuk mengakhiri ‘bermain dengan bahaya’, aku tidak lagi mencari pacar. Kata temenku yang telah lebih dulu menikah: “Menikah itu adalah urusan Tuhan, jadi jangan pernah memikirkan apalagi mengurusi urusan Tuhan.” Hai Ulil (Lusi Dian Mayasari) miss you soo much, terimakasih selalu menyuruhku untuk selalu berpikir menikah.

Hal ini diperparah dengan kejombloanku yang sangat menggembirakan dan menyenangkan tapi selalu terusik dengan pertanyaan ibuku: “Kapan anak perempuanku ini menikah, suadah tua lho…sudah 29 tahun?” Dan selalu kujawab dengan bukunya Salim A Fillah: “Bagaimana mungkin aku mendapatkan suami wong aku tidak pacaran…” he...he…selamatlah riwayatku. Inilah yang kukatakan sebagai hal kedua yang terlalu berpikir dan memiliki perasaan tajam, terlalu sensitif jika berurusan dengan pilihan hidup apalagi soal menikah…ha…ha…masih dalam pemikiran belum perbuatan…ah tak mengapa…insyaallah jika Allah mengijinkan, tunggu saja undangannya.

Biasanya orang berlari ke tempat yang ingin semua orang tuju, menikah adalah hal yang diinginkan semua perempuan. Tapi untuk yang satu ini aku ingin menyerahkannya pada Tuhan, biarlah dia yang menentukan dan memilihkan waktu dan orang yang tepat…amiin. Terimakasih Faida telah memberitahuku tentang arti kata cantik, karena tidak hanya perempuan cantik saja yang laku…ha…ha…dan untuk Anis Zuraidah yang sering kupanggil dengan bahasa tersayangku Uul, yang senantiasa mendoakanku untuk menikah bahkan bersepakat membuat resolusi menikah di tahun 2010 ini, ternyata kau duluan...ya jelaslah Ul kau duluan yang menikah wong calonnya dah ada, tinggal dipanggil…ha…ha….

Jika menikah adalah sebuah kesempurnaan hidup, maka aku ingin menikah dengan kesempurnaan jiwaku, hai Ummi Kaltsum…terimakasih telah membuatku belajar bahwa menikah itu sebenarnya mudah yang rumit adalah jika kita tak pernah siap untuk menikah…he…he…kapan aku siapnya ya Mi…salam kangen buat Agha.

Kehidupanku bukanlah sesuatu yang kusesali…meski terlalu banyak tangis yang mengiringi bukan karena tidak punya pacar dan juga belum menikah. Buat Isri (Sri Lestari) dan Fiya (Alfiya Pusparini) tak perlu khawatir karena aku gak juga laku-laku…ha…ha…tapi kau tahu aku masih tetap semangat menyambut kehidupan, kata Tia (Tia Setadi) guru memanahku…eh…guruku menulis “Semangat itulah yang bisa melampaui waktu”…terimaksih guru, aku telah menulis hari ini dan untuk esok dan esoknya lagi. Dan juga buat Mr. Advant Garde dan Surealism, terimakasih telah selalu mengejekku karena gak laku-laku tapi selalu setia dalam debat-debat panjangnya ha…ha…salam buat Kang Pajar Aprianto.

Sekali lagi maaf…karena isinya ucapan terimaksih semua terhadap temen-temen Sospolku yang luar biasa, membersamaiku dalam membangun dan menghidupkan kisah kehidupanku.

Dan terakhir pesanku untuk semuanya: Jangan pernah coba-coba pacaran kalau tidak serius pacarannya!wkakakkakaakkak…ups…dilarang salah tafsir! Maksudku adalah ketika kau telah bertemu cinta maka ada dua pilihan: jatuh cinta atau membangun cinta, kalau katanya sang penulis buku Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah, pilihlah yang kedua, kalau kata ku pililhlah dua-duanya karena mengapa harus memilih salah satu jika soal cinta kau bisa mendapatkan dua-duanya. Terimakasih banyak buat Salim A Fillah yang telah menginspirasiku untuk menulis hari ini, itulah alasan paling tepat bukan untuk apa-apa atau untuk siapapun. Aku menulis agar aku dicintai, itulah hal pertama yang ingin kubangun di sini atas nama Cinta sehingga pacaran bukanlah cara yang tepat untuk mengatakan dan menyatakan cinta.

Menjelang malam di Semarang, 2 Nopember 2010

Buat temen-temen Sospol atau temen-temen terbaikku yang lain yang tak kusebutkan, lain kali pasti kusebutkan dalam tulisanku yang lain. Hidupku tak berarti tanpa kalian…we always love you forever.

Buat para pembaca mohon maaf jika ada salah kata dan perkataan saya yang kurang berkenan, saya selalu menyediakan ruang diskusi untuk itu.



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html