Jumat, 05 November 2010

hidupkan

puisi abdul azis sukarno

AKDIRKUKAH INI?

aku bangkit dari tidur panjang,
untuk tidur yang lebih panjang lagi

aku bergegas membuka selimut,
untuk menggantikannya dengan kain yang lebih tebal lagi

dan begitulah,
pagi demi pagi kubiarkan melewatiku tanpa permisi,
tanpa keresahan dan sakit hati

sebab, aku ingin mati dalam hidupku berulang kali
dan hidup dalam matiku tak henti-henti

seperti saat ini
saat Kau seolah melarang aku
untuk dapat menulis puisi!

Pringgolayan, Yk, 2005

TRAGIS

aku ingin bersembunyi dalam rumah bekicot
lalu bergerak perlahan-lahan
meninggalkan kota ini
pergi menuju hutan sunyi

di sana aku akan menulis puisi
tentang kesedihan seekor binatang lembek
yang kandangnya hilang dicuri entah oleh siapa
hanya aku yang tahu

“ya, tuhan,” katanya,
“bagaimana aku bisa hidup dengan tubuh seperti ini?
tanpa rumah berarti tanpa nyawa bagiku.”
ucapnya lagi seraya berkelojot-kelojot akan mati
kubayangkan, menyedihkannya ia
berhari-hari kerjanya pasti menangis dan tak bisa apa-apa
hingga kondisinya melemah dan pet!
tamatlah riwayatnya.

sungguh mengharukan bila aku menulis puisi seperti ini
tapi, sungguh memalukan jika harus kembali
dan melihat mayat bekicot yang asli.

Pringgolayan, Yk, 2006

SIAPAKAH CECAK ITU?

siapakah cecak itu
yang terjebak dalam gelas sisa kopi tadi malam
aku ataukah kau?
lihatlah baik-baik,
bagaimana cara ingin membebaskan dirinya
begitu sukar, bukan?
meski bergerak sekuat tenaga
meski berusaha sekeras baja
ia tetap di tempatnya
lebih keras lagi, lebih terjerembab ke dalamnya
menangiskah ia? mungkin
diam atau tidak diam, baginya sama saja
menyesalkah ia? mungkin
tapi sisa kopi tetaplah sisa kopi
sesuatu yang siap dibuang sebelum gelas dibersihkan
dan lihatlah kembali baik-baik
Ia kini hampir sekarat
dengan tubuh terbalik dan mengambang
ia megap-megap
namun, adakah yang peduli padanya?

Pringgolayan, Yk, 2006

SEPULUH TAHUN SUDAH

sepuluh tahun sudah
kusimpan mayat penyair dalam tubuhku
dan sepuluh tahun sudah
aku berjalan menjadi keranda baginya
hari-hariku pun hidup bersama bangkai dan
sisa puisi yang pernah ditulisnya.

“kenapa tak kau kubur saja ia?”
tanya seseorang, seolah ingin meringankan bebanku
tapi aku hanya tersenyum, lalu kujawab
“tidak, sebab ia kini telah menyatu denganku.
Menguburnya berarti mengubur diri sendiri.”

kau akan kepayahan, zis,” katanya lagi
“ya, aku akan kepayahan karena menggotongnya siang dan malam,
namun akan lebih kepayahan jika aku mesti berpisah dengannya.”

sepuluh tahun sudah
aku mencoba setia dengannya
meminjamkan nyawa untuknya
bahkan jika perlu, kutukar posisinya!

Pringgolayan, Yk, 2006

JADIKAN AKU DEBU

aku sengaja merebahkan diri,
agar kau tak perlu menikamku dari belakang
agar kau bebas melumatkan kesumatmu
agar kau tahu, betapa banyaknya kesempatan
yang dianugerahkan waktu padamu

jika luka dapat diobati dengan luka
jika isak tangis dapat dihibur dengan isak tangis
lakukanlah, karena kau
tidak akan pernah berlutut mencium kakimu
seperti seorang pengecut tertawan ke pihak musuh
cepatlah, aku tertidur
dan bermimpi indah bertemu gadis lembut berjilbab biru
cepatlah, buat aku mengaduh
lepaskan pisau beracun itu dari bola matamu
lepaskan panah kebencian itu dari busur hatimu
tancapkan ke tubuhku, tak perlu ragu
anggaplah ini semua demi senyummu.
demi kebahagiaanmu. Demi rasa cintamu padaku
lalu bakarlah jasadku. jadikan aku abu.
dan biarkan angin menerbangkanmu menjadi debu.
menjadi debu.

barangkali dengan ini, aku dapat menyembuhkan sakitmu
yang selalu kau bilang telah membeku dan membatu!

Pringgolayan, Yk, 2006
Pelajaran Kreatif dari Joni Ariadinata Aug 7, '07 12:34 AM
oleh Epriuntuk
Kategori: Lainnya

(hary b kori’un/riau pos/ahad, 5 agustus 2007)


BAGI kalangan sastrawan atau penulis, tetap mempertahankan nyala api kreatif, bukanlah persoalan mudah. Banyak sastrawan yang pada suatu masa menjadi sangat produktif, tiba-tiba mengalami stagnasi dan karya-karyanya tak lagi bisa dinikmati masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhinya. Ada yang sibuk dengan pekerjaannya di luar dunia kepenulisan, ada yang karena sudah makmur sehingga kehilangan ide-ide kreatif, atau masalah lainnya yang lebih beragam.

Menurut Joni Ariadinata, ada beberapa cara atau tips untuk tetap menyalakan api kreativitas tersebut. Dia mencontohkan dirinya sendiri. Di tahun 1990-an ketika dia baru masuk di dunia menulis (sastra) yang dianggapnya sudah sangat terlambat, dia harus bersaing keras dengan Agus Noor, salah seorang cerpenis asal Jogjakarta yang juga sangat produktif ketika itu. Semua orang tahu, Joni dan Agus adalah dua sahabat kental, namun persaingan mereka di dunia menulis juga diketahui publik sangat keras. “Pernah suatu saat Agus Noor datang ke rumah saya membawa sebuah majalah terkenal, Matra, yang di dalamnya memuat cerpennya. Agus tidak mengatakan kalau cerpennya dimuat, tapi hanya bilang ke saya, ‘Jon, Matra... Matra...’ Hati saya jengkel betul ketika itu. Yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana supaya Agus juga merasakan sakit hati saya itu. Untuk itu saya harus berjuang keras agar menulis yang lebih baik dari Agus,” kata Joni.

Lelaki yang terkenal dengan cerpennya, “Lampor” (menjadi cerpen terbaik Kompas tahun 1994) ini juga mengisahkan, setiap dia membaca koran Ahad dan di sana ada karya Agus Noor, dia langsung merobek koran itu dan meremas-remas karya Agus. “Tetapi itu hanya persaingan kreatif. Di kehidupan sebenarnya, kami tetap berteman. Saya tak punya rokok, minta Agus. Dia tak punya kopi, datang ke rumah saya dan kami ngopi dan saling berbagi cerita dan ide. Hal-hal seperti ini perlu untuk menyalakan api kreatif. Yang tidak bagus kalau persaingan itu masuk ke hati dan membuat kedua orang teman saling bertolak belakang pandangan dan malah berseberangan secara pribadi,” kata redaktur Majalah Sastra Horison ini.

Kamis malam, 26 Juli 2007 lalu, Joni yang sedang berkunjung ke Pekanbaru karena menjadi pembicara dalam sebuah pelatihan menulis sastra bagi guru-guru bahasa dan sastra di LPMP, secara mendadak didaulat oleh Komunitas Paragraf Pekanbaru untuk berbicara dalam sebuah diskusi tentang proses kreatif. Sekitar 40-an penulis Pekanbaru datang dalam acara itu. Di antaranya sastrawan senior Fakhrunnas MA Jabbar, Olyrinson, Budy Utamy, Griven H Putra, M Badri, Jefry Malay, Hang Kafrawi, Murparsaulian, Gde Agung Lontar, Faris Iksan, Syafrini Nofitri bersama rekan-rekannya dari UIR, dan beberapa penulis dari berbagai komunitas di Pekanbaru.

Menurut Joni, persaingan antar-penulis di daerahnya, Jogjakarta, sangat ketat. Persaingan kreatif ini tak jarang melibatkan sesama teman baik. Dia mencontohkan, Marhalim Zaini, sastrawan Riau, pernah bersaing kreatif sangat tajam dengan Raudal Tanjung Banua, rekannya sesama mahasisa Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta dan sama-sama teman satu komunitas penulis. Setiap cerpen atau puisi Raudal dimuat di koran, Marhalim akan bekerja keras untuk melakukan hal yang sama, juga sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi antara Putut EA dengan Satmoko Budi Santoso dan beberapa sastrawan lainnya. “Yang terjadi, persaingan ketat antar-teman itu membuahkan hasil. Semuanya jadi. Sekarang, redaktur budaya media mana yang berani menolak karya Raudal, Marhalim, Satmoko atau Putut?” kata Joni lagi.

Dalam bagian lain, Joni juga menjelaskan bagaimana “permusuhannya” dengan kritikus sastra UGM, Faruk HT. Pernah suatu kali, kata Joni, ketika peluncuran kumpulan cerpennya, Kali Mati, Faruk diundang oleh Penerbit Bentang Pustaka. Dan ketika maju ke depan, Faruk mengatakan bahwa cerpen-cerpen Joni adalah karya yang buruk dan tidak menawarkan apa-apa. Faruk mengambil buku Kali Mati dan kemudian membuangnya. Joni sangat sedih sekali ketika itu. “Tetapi, sekali lagi, secara pribadi dengan Faruk, saya tetap akrab sebagai teman,” jelasnya lagi.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Marhalim Zaini dan cukup menarik tersebut, Fakhrunnas juga membenarkan apa yang dikatakan oleh Joni. Fakhrunnas memaparkan bagaimana persaingan kreatifnya dengan koleganya, Taufik Ikram Jamil. “Tahun 1987 saya ke Pusat Dokumentasi HB Jassin bersama Taufik. Saya meminta kepada petugas untuk mencarikan file kliping tulisan saya. Ternyata karya saya banyak di sana. Taufik juga meminta kepada petugas untuk dicarikan file kliping karyanya. Dan ternyata tidak ada. Taufik kesal sekali ketika itu,” jelas Fakhrunnas.

Dan ternyata, kata Fakhrunnas, kejadian itu telah memacu Taufik untuk menghasilkan karya yang lebih baik. “Terbukti, setelah itu Taufik menjadi sastrawan asal Riau yang sangat produktif, jauh meninggalkan yang lainnya, termasuk saya,” jelas lelaki yang salah satu bukunya, Sebatang Ceri di Serambi, menjadi salah satu nominator Khatulistiwa Award tersebut.

Menanggapi banyak hal yang ber­kembang dalam diskusi, Joni menjelaskan, hal yang dilakukan oleh para penulis pemula untuk tetap eksis adalah selalu berkarya dan berkarya, tak peduli hasilnya seperti apa. “Tahun 1990-an, setiap hari Kompas menerima 80 lebih naskah setiap harinya atau lebih 500 cerpen setiap pekannya, dan yang dimuat hanya satu. Ketika “Lampor” menjadi cerpen terbaik Kompas, saya senang karena saya akan dengan mudah bisa menembus Kompas, minimal setiap bulannya. Tapi ternyata salah. Hampir setahun setelah itu cerpen saya ditolak Kompas. Tetapi saya terus menulis dan menulis,” kata sastrawan yang mengaku terpengaruh karya-karya Yanusa Nugroho ini.

Artinya, para penulis muda harus terus bekerja keras mengasah karyanya. Sebab, jika sudah terbiasa menulis, feelling akan muncul dan suatu saat pasti akan lahir karya-karya terbaik. “Yang menjadi persoalan, kalau baru dua sampai sepuluh karyanya ditolak media dan kemudian patah hati, ya sudah, tak akan pernah maju. Tetapi, saya kira, kalau kita tak berbakat menjadi penulis, untuk apa kita memaksakan diri? Toh masih banyak pekerjaan yang lainnya,” kata lelaki yang juga menerbitkan kumpulan cerpen Kastil Angin Menderu dan Malaikat Tak Datang di Malam Hari tersebut.

Tentang tanggung jawab sosial sastrawan terhadap masyarakatnya, Joni membuat ilustrasi. “Saya membaca karya legendaris dari Riau, yakni Panggil Aku Sakai karya Ediruslan Pe Amanriza. Itu novel yang luar biasa, penuh kritik sosial. Tentang penebangan hutan di Riau, masyarakat adat yang dipinggirkan, persoalan kapitalisme dan sebagainya. Tapi, apakah karya itu bisa mengubah semuanya? Toh semuanya yang diceritakan di novel itu masih terjadi di Riau saat ini?”

Joni mengatakan bahwa sastrawan tidak harus terbebani oleh persoalan sosial-kultural masyarakatnya dalam berkarya. Tetapi sastrawan tentu tidak bisa menutup mata atas persoalan sosial yang ada di ma­syarakatnya. Joni kemudian juga menanggapi pertanyaan salah seorang peserta diskusi, tentang maraknya sastra berbau seksual yang kini sedang hangat dibicarakan, yakni polemik antara Taufik Ismail dan kelompok Hudan Hidayat.

“Saya tidak membela Taufik dan menghujat kelompok Hudan. Tetapi saya tanya kepada teman-teman sekalian, etiskah dalam kondisi bangsa sekarang ini yang hancur secara ekonomi, sosial maupun kultural, sementara para sastrawan asyik bermain-main dengan kelaminnya? Menurut saya, itu tak etis, dan itu yang dikatakan oleh Taufik Ismail dalam pidato kebudayaannya yang kemudian ditanggapi beragam oleh kelompok pengarang yang suka mengutak-atik kelaminnya sendiri dalam karyanya. Kalau hanya menulis tentang kelamin dan seksual, tak perlu seorang pengarang membaca teori budaya dan sosial, cukup bayangkan tubuh gadis cantik dengan segala lekuk tubuhnya, maka jadilah karya. Tapi tak mudah menulis karya yang menjadi potret sosial-budaya masyarakatnya,” ungkap Joni panjang-lebar.(hary b kori’un/riau pos/ahad, 5 agustus 2007)

**Foto diambil dari http://epriabdurrahman.multiply.com/photos/album/14
saat launching buku Antologi Empati Jogja (Pustaka Jamil, 2006)
Catatan Perjalanan

Oleh Endry Sulistyo
S

ebuah karya sastra tentu tidak dapat dilepaskan dari pengarangnya. Sebelum karya itu sampai kepada pembaca, terlebih dahulu melewati suatu proses panjang. Proses yang seringkali tidak diketahui oleh pembaca awam dan sering pula dianggap sepele oleh para penelaah sastra, mulai dari munculnya dorongan pertama untuk menulis, pengendapan ide (ilham), penggarapan, sampai akhirnya tercipta sebuah karya yang siap untuk dibaca oleh publik.

Proses kreatif Joni Ariadinata sebagai penulis cerpen terwujud dalam berbagai pilihan tema antara lain: tema fisik yang berupa tubuh, tema organik yang berupa kekerasan dan penyimpangan seksual, tema sosial yang berupa politik, ekonomi, moral kemanusiaan, dan keluarga atau rumah tangga, tema egoik yang berupa profesi, dan tema religius yang berupa agama dan dunia mistik, takhayul, atau dongeng terdapat dalam ketiga antologi cerpennya. Tema-tema tersebut oleh Joni Ariadinata lebih ditekankan pada setting kehidupan masyarakat miskin (grass root).

Pria kelahiran Majalengka pada tahun 1966 ini mengaku baru mengawali menulis cerpen pada tahun 1993. Namun secara mengejutkan, pada tahun 1994, cerpennya yang berjudul “Lampor” terpilih menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas. Kehidupan sosial yang pernah ia alami saat tinggal dengan masyarakat kumuh itulah yang -diakui beberapa sastrawan, kritikus sastra, dan dirinya sendiri- sampai saat ini banyak memberi inspirasi dalam penggarapan tema-tema cerpennya. Berikut ini adalah sepenggal obrolan saya dengan Joni Ariadinata:

Sabtu, 19 Oktober 2002
Rumah Joni Ariadinata

(T) Sejak kapan dan apa yang melatarbelakangi Anda mulai menulis cerpen?
(J) Saya belajar menulis cerpen baru pada tahun 1993 dengan mengandalkan intuisi saja. Saya mulai menulis karena saran teman saja yang juga seorang penyair bernama Ismet N. M. Haris. Pada waktu itu saya masih bekerja sebagai buruh serabutan yang tinggal di lingkungan kumuh Kali Gajah Wong. Ismetlah yang menyarankan saya untuk mencoba menulis dan bukannya bekerja hanya dengan mengandalkan otot semata. Ismet pula yang mengenalkan Zaenal A. Thoha yang bersedia meminjamkan buku-bukunya untuk saya baca agar keinginan saya menjadi penulis cerpen cepat terwujud.

(T) Mengapa Anda memilih menulis cerpen dan bukan menulis yang lain?
(J) Saya pernah mencoba menulis puisi tetapi tidak merasa nyaman. Saya lantas memutuskan menulis cerpen karena dalam pandangan saya waktu itu, menulis cerpen hanyalah sekedar bercerita, jadi akan lebih mudah. Lagi pula banyak media (koran dan majalah) yang menyediakan kolom untuk cerpen dibanding puisi. Dari segi honor, honor cerpen juga lebih besar. Jadi, banyak pertimbangan praktis yang menjadikan saya untuk lebih memilih menulis cerpen daripada menulis puisi atau karya sastra yang lain.

(T) Apa yang anda harapkan dari pekerjaan menulis cerpen pada saat itu?
(J) Saat menulis cerpen harapan saya cuma satu, yaitu dimuat di media dan mendapat uang. Waktu itu upah saya sebagai buruh ditambah dengan hasil ngamen belum cukup, padahal saya telah menghabiskan banyak tenaga untuk itu. Ketika memutuskan untuk menulis cerpen, maka tujuan saya hanyalah menemukan cara termudah dan tercepat dalam menghasilkan banyak uang.

Sabtu, 2 November 2002
Rumah Joni Ariadinata

(T) Mengapa Anda cenderung memilih cerpen dengan mengangkat tema-tema sosial?
(J) Tidak juga. Cerpen saya banyak juga yang mengangkat tema-tema lainnya. Memang dalam antologi Kali Mati cerpen saya lebih bicara tentang persoalan sosial. Namun, pada antologi berikutnya saya berusaha untuk mengangkat tema-tema yang lain pula. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada awalnya saya menulis hanya berdasarkan intuisi semata, sehingga cerpen-cerpen yang muncul adalah hasil pengalaman, apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan sewaktu hidup bersama masyarakat kumuh di Kali Gajah Wong.

(T) Apa yang melatarbelakangi Anda dalam menulis cerpen dengan tema-tema religius?
(J) Saya rasa semua orang mempunyai religiusitas, dan apa yang saya utarakan dalam cerpen adalah apa yang saya rasakan tentang sifat-sifat Ketuhanan yang dapat saya pahami. Semasa kecil, di Majalengka, saya terbiasa (karena perintah ayahnya. Red.) untuk mengaji di salah satu surau dekat rumah. Ayah selalu mengajarkan agama secara ketat dan disiplin. Seringkali saya mendapatkan hukuman atas ketidakmampuan dan ketidakdisiplinan yang saya perbuat. Masyarakat di kampung saya memang cenderung religius, tetapi juga sangat kental dengan dunia mistik atau alam gaib. Di kampung, status sebagai seorang ulama adalah sangat dihormati, disanjung dan dianggap sebagai sumber kebenaran. Apa yang saya tulis dalam cerpen, adalah kritik bagi masyarakat saya sendiri dan juga kritik bagi masyarakat di berbagai daerah yang saya yakin masih kental dengan kultur tersebut.

(T) Mengapa Anda cenderung menggunakan kata atau kalimat yang pendek-pendek dan cenderung menyimpang dari aturan yang ada?
(J) Saya tidak yakin bahwa bahasa yang sudah diatur (sesuai dengan EYD) dapat mengungkapkan maksud yang saya inginkan dalam cerpen. Oleh karena itu saya menggunakan bahasa dalam cerpen yang menurut saya tepat untuk menghadirkan peristiwa yang saya maksud. Bahasa yang cenderung pendek-pendek tersebut memang sengaja saya lakukan karena saya tidak ingin terjebak pada penggunaan bahasa yang “bergenit-genit”, dipanjang-panjangkan, dan mengandung banyak eufimisme. Bagi saya hal tersebut justru akan membuat penulis menjadi tidak jujur dengan apa yang ingin ditampilkan dalam tulisannya. Saya menganggap kata atau kalimat yang pendek mewakili apa yang saya maksud dan inginkan, maka saya menggunakannya.

Jumat, 14 November 2002
Rumah Joni Ariadinata

(T) Bagaimanakah Anda menemukan ide atau inspirasi untuk dijadikan cerpen?
(J) Saya orang yang selalu percaya bahwa ide atau insiparasi untuk menulis itu diusahakan dan bukannya ditunggu. Ide atau inspirasi itu ada di sekitar kita, tinggal bagaimana kita memungut dan mengolahnya. Kalau saya sendiri paling sering mendapatkan inspirasi justru ketika saya sedang melakukan perjalanan atau ketika sedang berada di sungai. Ketika ide atau inspirasi itu datang, maka saya harus cepat-cepat menuliskannya atau minimial mencatatnya.

(T) Bagaimanakah proses penuangan ide atau inspirasi itu ke dalam bentuk tulisan?
(J) Penuangan ide atau inspirasi bagi saya berbeda-beda waktunya. Ada ide yang membutuhkan waktu lama untuk diendapkan, tetapi ada kalanya ketika ide itu muncul saya harus cepat-cepat menuangkannya dan langsung jadi. Ketika memutuskan untuk menggarap sebuah ide menjadi bentuk cerpen maka saya harus berusaha semaksimal mungkin agar cerpen itu jadi. Selama ini, proses menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan selalu saya lakukan di rumah. Beberapa kali saya mencoba menulis cerpen bukan di rumah, seringkali saya gagal. Ketika dalam perjalanan ide itu datang, maka saya harus segera pulang atau minimal mencatatnya terlebih dahulu.

(T) Bagaimanakah kondisi atau suasana yang menurut Anda kondusif ketika akan mulai menulis cerpen?
(J) Sebelum menulis cerpen, keadaan di sekitar saya harus bersih. Terkadang saya harus merapikan baju dan tempat tidur, bahkan sering mengepel lantai kamar terlebih dahulu sebelum menulis. Saya akan merasa tidak nyaman dan konsentrasi jadi terganggu bila ada sesuatu hal yang membuat saya risih.

Sabtu, 21 Desember 2002
Rumah Joni Ariadinata

(T) Siapa sajakah orang yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Ayah dan Ibu saya. Kenangan waktu kecil terus membekas dalam hati. Saya ingat bahwa ayah mendidik dengan keras. Seringkali saya dipukul dan dikurung dalam kamar jika melakukan suatu kesalahan sekecil apapun. Mungkin perlakuan itu membuat saya mampu bertahan dari kerasnya hidup. Ibu saya justru memberikan kenangan sebaliknya. Ibu selalu membela dan melindungi saya sewaktu ayah menghukum. Sampai sekarang saya selalu merindukan ibu. Ibu yang menjadikan saya peka dan tidak pernah tega berbuat kasar atau menyakiti orang lain. Motivasi saya sampai sekarang adalah ingin membalas segala kebaikan ibu. Ketika merantau sampai Bali dan hidup menggelandang, karena teringat ibu, maka saya kemudian hijrah ke Yogyakarta dan bertahan hidup sampai sekarang.

(T) Dari lingkungan sosial, apa yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Kehidupan di Majalengka jelas tetap menjadi kenangan tersendiri, karena tempat itu adalah tanah kelahiran saya. Kenangan hidup bersama masyarakat kumuh di Kali Gajah Wong juga menjadi motivasi saya untuk menulis cerpen, termasuk (pada waktu itu) keinginan cepat terbebas dari tempat kumuh dan mencari kehidupan yang lebih baik.

(T) Dari lingkungan fisik, apakah yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Jika rumah adalah tempat paling nyaman bagi saya untuk menulis, maka sungai merupakan tempat mencari dan mengendapkan ide atau inspirasi, serta tempat ketika saya sedang merasa jenuh dengan suatu persoalan. Bagi saya, sungai adalah tempat yang tenang, damai, dan sejuk. Dulu ketika berpindah-pindah kontrak rumah, saya selalu mencari rumah yang dekat dengan sungai.

(T) Dari lingkungan rumah tangga Anda, siapakah yang berpengaruh dalam proses kreatif Anda?
(J) Sebenarnya sewaktu saya masih belum menjadi penulis cerpen dan tinggal di daerah Kali Gajah Wong, saya pernah menikah dengan seorang perempuan tetapi mengalami perceraian. Hal itu masih membekas dalam hati karena saya benar-benar sakit hati. Alhamdulillah, kemudian saya dapat berumah tangga kembali. Kini saya bahagia dengan kehidupan saya bersama seorang istri dan dua orang anak. Keluarga saya sekarang benar-benar mengerti tentang apa yang saya lakukan.

Kamis, 9 Januari 2003
Rumah Joni Ariadinata

(T) Kepada siapa Anda ingin berterima kasih atas apa yang Anda capai sekarang ini?
(J) Kepada orang tua saya, teman-teman yang ikut memotivasi saya untuk menulis cerpen, terutama Ismet dan Zaenal, teman-teman di Kali Gajah Wong, istri dan kedua anak saya, dan orang-orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

(T) Dalam bidang sastra, apa yang akan Anda lakukan ke depan?
(J) Saya akan tetap menulis, karena ini adalah profesi saya.

diambil dari titikoma.com dan telah melalui proses penyuntingan yang tidak mengurangi atau mengubah isi.
Haji

March 4, 2008 by Joni Ariadinata

Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng. Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, “Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin?” katanya. Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.

“Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya.”

Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.

Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia gesit, atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat Kang Sirin yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan wajah riang bisa mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai “pengetahuan” omong-omong beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang Sirin semakin beragam dan berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar Kecamatan. Jika ada tukang becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh gang di delapan desa, bahkan hapal hampir seluruh nama (mungkin watak orang-orangnya) maka itulah Kang Sirin!

Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa S., dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga ngomong hal yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, “Kang Rin, mungkin enak ya kalau punya suami haji?”

“Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?”

“Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?”

“Lho, Mbak Mar itu cantik kok,” Kang Sirin tertawa. “Maksud saya, ada yang top lho. Tapi duda.”

“Siapa?”

“Haji Jupri.”

“Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja.”

“Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?”

“Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu.”

“Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?”

“Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh.”

Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit, mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, “Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut, Kang Sirin. Sungguh.”

“Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik. Pokoknya tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya,” dengan gayanya yang yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang menolak usul buat dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di Desa L., hal lain tentu saja ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal berwajah ganteng. Meskipun tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu. Tapi kalau kebetulan jodoh, apa mau dikata?

“Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?”

“Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan.”

Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu kenapa Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan dengan Pak Haji. Makanya Marsiti takut.

***

Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang melayang, dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik, entah bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang, tapi kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terang-terangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!

Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin baru tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin, dan ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu cabut pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin menyimpulkan bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar batu itu bilang, “Kamu anjing!”

“Menjijikkan!”

“Kafir!”

Anjing? Menjijikkan? Kafir…. Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benar-benar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan ia mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.

Apa dosa Sirin?

Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia jadi sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang ditolong itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. “Menolak rezeki itu ndak baik, Rin,” begitu kata kakeknya dulu.

Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, “Susahnya kalau orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan itu, rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi imam di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki normal lho Rin…. (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya). Dipikir-pikir, kok ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke sana ke mari, ndak mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada berumah tangga, kok ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini, malah yang bungsu bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!”

Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan keluhan Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling terhormat. Amat mulia jika Kang Sirin bisa menolong. “Kang Sirin” lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu dan akrab dengan Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan Marsiti? Toh, kalau Pak Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa. Edan po? Kang Sirin kok bisa memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang Sirin merasa dipentung kiri kanan.

“Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan yang bagus, yang pantas. Bukan Marsiti.”

“Melihatnya saja sudah muntah.”

“Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!”

“Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan disamber gledek.”

“Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak Haji? Kok sama Sirin saja ketipu.”

“Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau ndak kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan yang zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima Kampung kita dipermalukan.”

“Kuncinya ya Sirin itu.”

“Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!”

***

“Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya ramah, juga sopan.”

“Punya anak tidak Rin?”

“Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga baik.”

“Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya, kira-kira apa dia mau dikerudung?”

“Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok.”

Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya, mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa jadi orang penting.

Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:

“Mau ikut ke Sindang tidak Ri?”

“Wah, besok ulangan je, Pak!” Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya kawin. Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak Haji tiba-tiba membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, “Mau ke mana sih Pak?”

“Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le.”

Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu, Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya: Magelang, Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan langsung menuju Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk ikut. Di Pesantren Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan menginterogasi. Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatan-keberatan yang tak boleh dibantah!

“Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa.”

“Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa sih susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran santri-santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya tidak ada alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang iman. Kawin kok sama lonte.”

Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu bekas lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau dihitung-hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya kalau banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang Sirin tidak bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu Marsiti sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan dan najis seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik ceritanya, akhir-akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.

***

Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang cerdas. Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan selalu batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling. Tapi begitu yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan kata-kata “kamu anjing” seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya. Bahkan ingin Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.

Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis, yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. “Kang Sirin”‘ lho, bukan Pak Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-tiba ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin jijik jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh Tuhan dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.

“Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin?” begitu kata Marsiti. “Bukan berarti setiap lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin. Siti emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik. Sukur kalau suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya…,” Marsiti berhenti. Menyusut air mata, “Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti mengira itulah jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta. Meminta jadi orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata akibatnya bisa dikutuk, dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi Siti. Tapi kini….”

Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang satu ini butuh pertolongan.

“Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang Sirin belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang diajarkan Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi….” Jadi beruntunglah Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah Kang Sirin menjadi santri yang mengerti.

Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai. Pandai mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin sudah jadi haji. Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji Jupri.

dimuat di Pikiran Rakyat Silakan Kunjungi Situsnya!
Yogyakarta dan Barometer Cerita Pendek Indonesia

March 4, 2008 by Joni Ariadinata

Saat ini, memasuki milenium ke tiga, di saat negara-negara tetangga kita (Malaysia, Singapura, Pilipina, dan kemudian menyusul Cina serta India) sudah mulai mensejajarkan diri di panggung global; Indonesia justru terpuruk dan kehilangan kesejarahannya. Kita tetap meyakini sebagai bangsa yang luhur, halus, berbudi pekerti dan sopan santun; tapi kekerasan dan kebrutalan (teror, pembunuhan, penjarahan) adalah fakta yang menghancurkan harga diri bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia, kini lebih dikenal sebagai salah satu negara terbelakang yang kasar dan primitif.

Tingkat korupsi, moral para politisi, pejabat negara, aturan hukum, nyaris semuanya terpuruk. Ada lompatan besar kebudayaan yang salah, yang harus dibayar mahal, dan membutuhkan waktu satu generasi untuk memperbaikinya; yakni budaya tulis (dan baca). Kita telanjur melompat dari budaya lisan menuju audio-visual.

Sistematika peradaban di manapun, pada negara-negara yang kuat dan maju, mau tidak mau harus melewati 3 tahapan kebudayaan, yakni: (1) budaya lisan, (2) budaya tulis (dan baca), dan (3) audio-visual. Pada tahapan ke-2 itulah, kesusastraan memegang kunci sebagai gerbang untuk mengenal bacaan, mengenal sistematika tulisan, dan merangsang daya fikir untuk bertanya. Membaca dan menulis, dipercaya sebagai rangkaian kesatuan yang mutlak dibutuhkan sebagai basis ilmu pengetahuan. Daya serap bacaan, serta kemampuan merangkaikan logika dalam tulisan, merupakan salah satu indikator kuatnya sumber daya manusia dalam sebuah negara. Maka adalah layak jika kesusastraan mendapatkan tempat yang cukup terhormat di banyak negara-negara maju.

Dan kita, Indonesia, yang mendapatkan diri sebagai bangsa yang sangat rendah daya bacanya; telah berani melompat jauh menembus budaya audio-visual yang sungguh miskin analisis. Tanpa basis baca-tulis yang kuat, lewat budaya audio-visual; kita hanya akan dididik menjadi sebuah generasi pemakan yang sungguh tidak akan berdaya menghadapi serbuan konsumerisme yang tanpa batas. Tentu, untuk memperbaikinya, sekali lagi butuh waktu yang tidak pendek, dan juga tidak gampang.

Kemungkinan Baru

Cerita pendek, adalah salah satu genre sastra di samping puisi dan novel. Dilihat dari segi pertumbuhan (produktivitas) dan perkembangannya, secara umum karya-karya sastra Indonesia memperlihatkan fenomena yang sangat luar biasa. Banyak muncul karya-karya yang menawarkan kemungkinan baru baik dari segi eksplorasi bahasa, penjelajahan tema dan keberanian bereksperimentasi, serta tumbuhnya sastrawan-sastrawan muda potensial yang penuh wawasan estetik dan gagasan kreatif.

Tapi kenyataan di atas terus-menerus berbanding terbalik; antara pertumbuhan dan perkembangan yang penuh gairah, dengan tidak adanya respons setimpal dari pihak-pihak yang diharapkan. Dari segi pembaca, ia masih membutuhkan mediator yang secara terus-menerus harus berupaya memberi kepercayaan dan keyakinan tentang betapa pentingnya kesusastraan untuk kepentingan bangsa. Dari segi media, ia masih membutuhkan tampungan yang memadai untuk berbagai eksplorasi karya.

Cerita pendek Indonesia, sebagai genre termuda dibandingkan puisi dan novel; memperlihatkan karakteristik dan perkembangannya sendiri yang sangat khas dibandingkan cerita pendek yang berkembang di negara-negara lain. Cerita pendek di Indonesia, mulai dikenal pada awal-awal tahun 1910-an, lewat kisah-kisah pendek yang ditulis M. Kasim dan Suman Hs. Genre ini kedudukannya semakin menguat ketika zaman pendudukan Jepang, dimana pemerintahan Jepang pada waktu itu, — dengan tujuan politis — memberikan banyak fasilitas bagi penyebaran cerita pendek lewat koran Asia Raja dan Djawa Baroe. Setelah runtuh pemerintahan Jepang, pada era tahun 50-an hingga 60-an lahirlah majalah-majalah yang khusus memuat cerita pendek, yakni majalah Tjerpen, Prosa, dan Kisah.

Berbagai eksplorasi cerita pendek bermunculan dengan sangat pesat, hingga kemudian muncul majalah Horison pada tahun 66, dan mengukuhkan sederet nama penulis cerita pendek Indonesia yang sangat berwibawa.

Pada era 70-an, hingga sekarang memasuki abad ke 21; pertumbuhan cerita pendek semakin kokoh dan diperhitungkan keberadaannya. Pada era ini pulalah, cerita pendek Indonesia menunjukkan fenomena yang sangat spesifik. Nyaris seluruh media di Indonesia, dari mulai koran, tabloid, majalah, serta jurnal, menyisipkan cerita pendek sebagai bagian yang cukup penting — hal yang tidak terjadi di negara lain. Tentu, produktivitas (kuantitas) penulisan cerita pendek yang begitu melimpah-ruah ini, akan menjadi bumerang dari segi kualitas.

Bagaimanapun, karya sastra tetap memiliki seperangkat teori dan hukum-hukum tersendiri yang dapat menentukan apakah karya itu memiliki bobot dan kualitas sebagai karya sastra.

Dari sisi inilah, ide Yayasan Cerita Pendek Indonesia digulirkan di Yogyakarta — kota yang merupakan salah satu barometer kebudayaan. Beberapa penulis cerita pendek, akademisi, kritikus sastra, dan didukung 2 penerbit besar, telah sama-sama berkumpul satu meja dan merumuskan sebuah wadah yang memungkinkan menjadi mediator bagi pertumbuhan cerita pendek yang sehat. Dengan tujuan ikut merentangkan jembatan ke arah keseimbangan dan kemajuan perkembangan cerita pendek Indonesia secara khusus, dan secara umum ikut memberikan kontribusi ke arah penguatan daya baca lewat gerbang kesusastraan.

Salah satu bentuk dari gerakan ini yang telah terwujud, adalah dengan diterbitkannya Jurnal Cerpen Indonesia, yang telah diluncurkan beberapa bulan yang lalu. Tentu, bantuan dan dukungan dari semua pihak, akan memuluskan tujuan ini. Indonesia, adalah sebuah negara dengan wilayah yang sangat-sangat besar; yang menuntut semua sisi untuk bergabung, berfikir, dan terutama: berbuat.
dimuat di Kedaulatan Rakyat
Keberhasilan dirasakan sebagai
amat manis dan indah,
bagi mereka yang belum berhasil.

Tetapi,
...bagi jiwa pekerja keras yang melayani
bagi kebaikan hidup sesama,
keberhasilan adalah tanggung-jawab
untuk membesarkan dan memperluas
penyampaian keuntungan bagi sesama.

Tuhan kami,
kuatkanlah pundak kami untuk
memikul tanggung-jawab sebagai pembantu-Mu,
untuk menjadi pembebas
bagi jiwa-jiwa yang gelisah
dan sedih.

Amien
Jika wajahmu
menyiratkan ketulusan hatimu,
kehidupan akan memilihkan kualitas
dari isi hatimu.

...Jagalah hatimu dari prasangka
yang mengkejikan dugaanmu.

Peliharalah pikiranmu dari perhitungan
yang memburukkan pekertimu,
yang melebihkanmu sebagai pembenci
daripada pengasih.

Maka, serahkanlah hatimu
kepada kebaikan,
karena hanya dengannya
hatimu menjadi bening,
dan dengannya kehidupanmu
menjadi indah.

Mario Teguh
Sesungguhnya,

Tuhan tidak membutuhkan
pemberitahuan berulang dan
berkepanjangan mengenai
...yang kita pikir kita perlukan,

karena Tuhan Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui,

termasuk mengetahui bahwa
yang kita minta bukanlah
yang kita butuhkan.

Bukan banyaknya
pengulangan permintaan,

tetapi indahnya
alasan dari permintaan kita,

yang menjadikan permintaan itu
dikhususkan.

Mario Teguh – Loving you all as always
Bukan hanya berdoa
dan meminta, yang menjadikan
permintaan itu terjawab,
tetapi yang kita LAKUKAN
dalam permintaan itu.
...
Yang kita lakukan itulah,
yang dimaksud oleh Tuhan
sebagai UPAYA.

Upaya adalah pengubah nasib,
jika upaya itu baik.

Dan,

Upaya baik adalah pekerjaan
yang memperbaiki kehidupan,
baik yang memperbaiki
kehidupan sendiri,
dan terutama yang memperbaiki
kehidupan sesama.

Mario Teguh
Janganlah lagi kita menunggu
kemampuan yang besar
sebelum kita menjadi pribadi baik
yang melayani sesama,
dan janganlah menunggu
...panggilan dari langit
sebelum kita memulai.

Marilah kita menugaskan diri kita
untuk melayani bagi kedamaian hati
dan perbaikan kualitas hidup sesama,
dengan kemampuan apa pun
yang sudah ada pada diri kita.

Marilah kita jadikan pekerjaan
yang membahagiakan sesama
sebagai panggilan hati kita.

Telah dinasehatkan kepada kita,
bahwa

Tuhan tidak memanggil
orang yang mampu,
tetapi Dia memampukan
orang yang terpanggil.

Mario Teguh
Selama kita masih bernafas
di dunia ini tidak ada hukuman.

Semua kejadian,
baik atau buruk,
...adalah pemberitahuan
untuk memperbaiki diri.

Ada orang yang cepat membaikkan diri
karena kepeduliannya akan
perasaan baik orang lain,
tapi ada juga orang yang
tidak mempan peringatan keras

Marilah kita ikhlaskan hati
untuk lebih peka mendengar kebaikan,
agar Tuhan tidak menggunakan penderitaan
sebagai pengingat

Mario Teguh
Puisi-Puisi Farhan Satria di Harian Semarang. Sabtu, 30 Oktober 2010
oleh Farhan Satria pada 30 Oktober 2010 jam 17:42

Sinang memimpikanmu



mbak, semalam sinang memimpikanmu

kau menggendong dan menyuapinya

lima tahun kini ia

kemarin pagi sudah mulai sekolah



Sinang bertanya, apakah engkau cantik

seperti yang menggendongnya di mimpi

apakah engkau juga memimpikannya



hari ini ku ajak ia di rumah abadimu

ku katakan bahwa ibumu ini Nang

lebih cantik dari bidadari

ibumu selalu memimpikanmu

sejak kau dikandung

ketika kau membuka mata di dunia

dan ia tetap cantik

saat kau menjadikannya tiada





lanskap mataair penyair

-dari segala ilmu yang kau berikan padaku, guru dan sahabatku; sawali tuhusetya



Bila kau memulai pengembaraan kata, mulailah pengembaraan di dalam sumur. Sebab di sana airsuci menggenangkan kata-kata yang setiap saat bisa kau timba. Meski harus bersitegang dengan tinta dan kertas setiap kali kau menarikan airmatamu



Yakinlah, dalam sumur pengembaraan itu aku senantiasa terjaga dan mengalirkan mataair keriuhan padang inginmu





belajar membuat sumur



pagi ini ibu mengajari kami membuat sumur

kami menggali sumur hingga dasar yang berair

-dengan belajar menggali, kelak kami bisa menutup lubang

negri, menggali tambal kehidupan



sumur yang kami buat berlimpah dan jernih airnya

kami berkaca di mukanya

setelah lama memperjelas nasib

lalu kami mencuci segala najis

sebelum bertamu menghampar sajadah



kejernihan air sumur yang kami buat

kami gunakan menyiram kembang

yang ibu tanam di atas batu-batu kapur

hingga berbunga wangi

dengan rabuk airmata ibu



ibu juga mengajari kami cara mandi

dengan air sumur yang kami buat

agar kelak kami mandiri

bisa mandi sendiri

memandikan ibu

saat ia

tertidur

abadi





KAU, SINGKAWANG dan PUISI


: Hanna Fransisca



dari singkawang

sebelum matahari terbit

t'lah kau panjatkan doa senja



tentang kita yang lupa jalan

tentang merpati hitam putih

tentang mimpi camar laut

tentang layang layang

semuanya terpanah api,

terkawal gigi angin

bercerita ratapan bumi pertiwi



dari singkawang

t'lah kau titipkan surat layar biru

pada tirai hujan dan nyanyian rindu

tentang kenangan sebuah pulau

tentang kuburan meiyang tak pernah matidari hujan puisi



dari singkawang

saat pesta api bersama dipagi hari

saat bening sungaiku

saat sisa senja menepi

saat kau menulis puisi

saat jari mengurai hati

saat kau sepenuhnya



; penyair





K 3 B K

segelas kopi

petikan gitar bolong

lintingan tembakau trotoar hangat

jadi saksi pertemuan kita