Senin, 27 Desember 2010

Kota Mati
Author: Nyanyian Semesta on Selasa, 07 Desember 2010

KOTA MATI


SELAMAT DATANG DI KOTA MATI. Tubuhku menggigil ketika bis yang kutumpangi mau melewati gapura selamat datang di depan. Kuperhatikan tulisan itu, dan tubuhku semakin dingin, ketika kubaca sekali lagi tulisan yang tertera di bawahnya, Kota Yang Terlupa dan Dilupakan. Jadi kota yang akan kusinggahi ini adalah kota Mati dengan jargon kotanya Kota Yang Terlupa dan Dilupakan.
Aku merasa bingung dan aneh. Seingatku aku naik bis untuk menuju ke kota H, di sana aku akan melakukan sebuah proyek penelitian bersama teman-temanku yang sudah duluan berangkatnya. Aku berangkat terakhir karena aku masih ada beberapa urusan pekerjaan yang belum selesai. Wah sepertinya ada sesuatu yang salah dan tidak beres, aku harus segera bertindak sebelum semuanya kacau gara-gara kecerobohanku.
Aku segera berdiri dan berjalan menghampiri sopir.
“Maaf Pak sopir, saya merasa telah salah naik bis?”
“Anda tidak salah, anda sedang menuju ke tujuan anda!” jawab sopir itu tegas.
“Maaf Pak…sebaiknya saya turun di sini! Saya mau berganti bis, saya tidak ingin pergi ke kota Mati. Saya mau pergi ke kota H, di sana saya ada sebuah pekerjaan penting. Teman-teman saya sudah menunggu pasti, karena kami akan mengerjakan proyek penting.” Aku mulai mendesak bapak sopir di depanku untuk menghentikan bisnya.
Tapi bapak di depanku ini tak sedikitpun menggubris perkataanku dan permintaanku, dia terus mengemudikan stirnya, tanpa pernah menginjak remnya untuk menghentikan bis.
“Duduklah kembali di kursi anda!”Dan tenanglah, karena kota ini adalah kota tujuan terakhir dari semua orang.” Sopir itu melihatku dengan sorot mata tajam penuh keyakinan.
“Anda dan saya tak dapat menghentikan laju bis ini, karena bis ini hanya memiliki satu tujuan yaitu menuju kota Mati. Dan kita sudah memasuki kota Mati, sebentar lagi bis ini akan berhenti di terminal kota Mati, hanya di sanalah bis ini bisa berhenti.” Sopir itu kembali menyakinkanku.
Aku mulai bingung dengan penjelasan sopir bis ini. Merasa sia-sia dengan usahaku membujuk sopir untuk berhenti, dan merasa mendengar penjelasan yang tak masuk akal. Aku mulai tak sabar dan aku mendekati pintu keluar kemudian membukanya dengan paksa. Tapi usahaku sia-sia, sekuat tenaga aku mencoba membuka pintu ini, pintu bis ini tetap saja tak terbuka sedikitpun. Aku mulai kelelahan dan mulai menggedor-gedor pintu keluar itu dengan segala cacianku.
“Pintu sialan…bis sialan!” umpatku di sela-sela keringat keletihan yang membanjiri tubuhku.
“Pintu itu tidak akan terbuka sebelum kita sampai di terminal tuan? Kuharap sekarang Tuan mengerti dan mau bekerjasama.” Sopir itu memberi saran sambil melirik ke arahku.
Akhirnya aku menuruti kata-kata sopir itu, aku duduk di sebelahnya dan mulai tenang. Ya minimal masih ada yang bisa diajak ngobrol saat ini, dari pada duduk kebosanan karena tak ada teman bicara. Sejak tadi semua penumpang terdiam dan sibuk dengan diri sendiri, meski aku berteriak-teriak dan gaduh dengan tindakanku tadi, semua itu tak membuat penumpang-penumpang lain terganggu atau bahkan berdiri membantuku, melihat-pun saja tidak.
Setelah merasa tenang, aku mencoba mencairkan suasana dengan mengajak pak sopir mengobrol.
“Pak, kenapa bis ini hanya berhenti di kota Mati?”
“He…he….” Sopir itu tertawa ringan dan tersenyum kepadaku, membuatku merasa nyaman dengannya untuk mengobrol lebih jauh.
“Tuan…saya sendiri sudah lupa sejak kapan bis ini hanya menuju ke kota mati padahal masih banyak kota H yang dilewatinya. Pada akhirnya saya sendiri tak pernah bisa menjawabnya.”
“Tapi bapak kan sopirnya? Setiap sopir pasti tahu kemana dia menuju.”
“Saya ini sopir terhadap diri saya sendiri tuan, bukan sopir dari bis ini. Kebetulan saja saya ditunjuk sebagai sopir karena hanya saya saja diantara para penumpang ini yang tahu tentang kota Mati.”
“Jadi bapak pernah ke kota Mati sebelumnya?” tanyaku penuh selidik.
“Saya belum pernah ke sana Tuan. Tapi saya tahu kota Mati semasa saya hidup di berbagai kota H. Saya tahu bahwa dari kota H, semua orang pasti akan menuju ke kota Mati.”
Di sela-sela pembicaraan kami, tiba-tiba terdengar seorang menangis. Tangisan itu berasal dari belakang. Aku berdiri dan melihat ke belakang. Tak terlihat siapapun di sana. Kemudian aku berjalan ke belakang karena merasa kasihan dengan suara tangisan itu.
Sampai di belakang kulihat seorang bocah laki-laki berusia sekitar 8 tahun duduk memegang kedua lututnya. Aku mulai mendekati bocah itu.
“Kenapa menangis Dik?” sambil menghibur bocah itu dengan belaian tanganku di kepalanya.
“Aku ingin segera sampai Om?” jawab bocah itu disela-sela isak tangisnya.
“Kau akan pergi ke mana?” tanyaku singkat.
“Aku ingin segera sampai di terminal kota Mati.”
“Kenapa kau ingin segera ke sana?”
“Aku ingin segera bertemu kedua orang tuaku, mereka sudah lama di sana, aku sudah sangat rindu dengan mereka.”
“Hmmmmm…sabar ya Dik, sebentar lagi kita sampai kok.”
Kehadiranku membuat bocah itu sedikit tenang, meski masih terisak. Aku mulai memperhatikan para penumpang lainnya, mengapa mereka sama sekali tak terganggu dengan apapun yang terjadi di bis ini. Mereka diam dan membisu seperti mayat, seolah-olah tak ada tanda-tanda kehidupan di bis ini. Kuperhatikan satu per satu para penumpang itu, aku kaget karena hampir semua penumpang di dalam bis ini adalah orang tua kecuali aku dan bocah di sampingku sekarang. Aku merasa aneh dan merinding saat melihat tatapan-tatapan kosong mereka beradu pandang denganku. Lebih anehnya lagi pakaian yang mereka pakai tak seperti kebanyakan orang, semua serba putih seputih wajah-wajah mereka.
Aku mulai ketakutan, tapi segera sirna ketika bocah itu mulai bertanya kepadaku.
“Om…mau pergi ke kota Mati juga ya? Om mau bertemu dengan siapa di sana?” Tanya bocah itu dengan sorot matanya yang redup.
“Oh…Om hanya salah bis kok. Om itu mau pergi ke kota H, tapi keliru naik bisnya. Ntar sesampainya di terminal Om mau berganti bis menuju kota H.” jelasku pada bocah di sampingku ini.
“Tapi Om, tidak ada yang pernah salah tujuan ketika naik bis ini!” bocah itu mulai menyelaku.
“Mengapa?” sergahku.
“Tanyalah pada pak sopir!” bocah itu mulai menyuruhku.
Aku tertawa dengan kata-kata suruhannya, baru kali ini ada orang yang berani menyuruhku, apalagi seorang anak kecil. Masih jelas dalam ingatanku bahwa aku adalah seorang bos dari sebuah perusahaan besar dan terkenal di sebuah kota H. Aku sedang menuju kota H lainnya untuk melihat proyek penelitian yang kudanai sendiri. Kota itu sangat jauh, pada mulanya aku naik pesawat ke sana, ketika tiba-tiba pesawat yang aku tumpangi terjatuh. Aku merinding dan mulai ketakutan ketika aku mulai mengingat bagaimana aku bisa naik bis ini.
Pesawat itu terjatuh di sebuah padang rumput yang sangat luas, saat itu aku kesakitan karena terbentur benda-benda keras di sekelilingku. Aku mulai minta tolong, karena api mulai berkobar membakar ekor pesawat itu. Kemudian seseorang mengangkat tubuhku menjauhi kobaran api. Dan setelah itu aku tak ingat apa-apa. Aku tersadar saat sebuah bis membunyikan klakson begitu kerasnya.
Kemudian sopir bis itu menyuruhku naik, katanya: “ Anda akan segera menuju kota tujuan”. Mendengar itu aku segera naik, karena merasa perjalananku tak boleh tertunda lagi. Proyek ini begitu penting buatku, aku mempertaruhkan seluruh harta dan hidupku untuk bisa melakukan penelitian ini. Bisa dibilang proyek penelitian ini adalah hidupku.
Entah kenapa aku mulai mengingat kembali perjalanan dimana aku mau menuju kota Mati. Suasana kembali sepi, anak di sampingku sudah tidak terisak lagi, sekarang malah tertidur di pangkuanku.
Kulihat bis sedang memasuki terminal, kulihat papan di depan terminal yang bertulisakan Terminal Kota Mati. Aku mulai lega karena bis sebentar lagi akan berhenti dan aku bisa melanjutkan perjalananku kembali. Bis pun akhirnya berhenti. Aku menggendong bocah itu berjalan menuju pintu bis di dekat sopir karena hanya pintu itulah satu-satunya yang terbuka.
Pak sopir itu berdiri dan berkata :
“Selamat datang di kota Mati, anda telah sampai pada akhir tujuan. Selamat menunggu dan selamat untuk menjadi orang yang dilupakan selamanya.”
Semua penumpang tersenyum tipis menyambut kata-kata sopir itu. Aku segera keluar mendahului para penumpang lain. Kemudian bocah yang kugendong terbangun.
“Sudah sampe di terminal ya om?” tanyanya di sela-sela uapannya.
“Kita sudah sampe di terminal kota Mati. Di mana orang tuamu? Apakah mereka akan menjemputmu?” tanyaku beruntun membuat bocah itu meminta turun dari gendoganku.
“ Orang tuaku sudah lama menungguku Om. Pasti mereka tak sabar ingin melihatku.”
Aku melihat ke kanan dan ke kiri. Tak ada satupun bis yang ada di sana kecuali bus yang tadi kutumpangi. Aku semakin gelisah dan bingung. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah tepukan pelan di bahu kananku. Aku menoleh, melihat siapa yang baru saja mengejutkanku.
Kulihat seorang lelaki dan perempuan tersenyum. Laki-laki itu bertubuh tegap, berkulit putih, bermata hitam, lebih tinggi dariku, kira-kira berusia 40-an tahun, 5 tahun lebih tua dari padaku. Perempuan di sebelahnya, pasti istrinya. Dia selalu menggenggam tangan laki-laki itu, dia tampak cantik dengan gaun putihnya. Tiba-tiba aku merinding, melihat semua orang di terminal ini berpakaian sama, serba putih.
Laki-laki itu mengulurkan tangannya, dan mengucapkan terimakasih. Aku membalas uluran tangannya.
“Maaf…terimakasih buat apa? Saya orang baru di kota ini.” Aku meminta penjelasan atas ucapannya.
“Terimaksih telah menggendong anak saya.”jawabnya singkat, kemudian dia dan istrinya mulai memeluk anak yang tadi kugendong itu.
Melihat keluarga itu berkumpul, aku menjadi terharu dan cemburu. Dulu di kota H, tidak ada seorangpun yang menyayangiku dan tidak ada yang mau memelukku. Aku terlahir yatim piatu, aku tak pernah mengenal orang tuaku. Mereka meninggal sewaktu aku masih kecil, sejak itu aku tinggal dengan kakekku. Kemudian ketika umurku 15 tahun kakekku meninggal, dan aku harus hidup sendirian dengan sebuah warisan perusahaan besar milik kakekku. Huhh…kenapa ingatan yang dulu kembali lagi. Aku mendesah pelan.
“Oh…jadi kalian berdua orang tua anak ini?” tanyaku di sela keharuan itu.
Mereka menggangguk pelan.
“Hmmmm…bolehkah saya bertanya?”
Laki-laki itu pun kembali menggangguk. Membuatku bingung harus bertanya apa.
“Apakah ada bis yang menuju kota H?” tanyaku kemudian, yang diiringi tawa mereka.
“Maaf…Tuan, sepertinya anda akan kecewa.”
“Kenapa saya harus kecewa? Apakah saya harus menunggu lama untuk mendapatkan bis jurusan kota H? tanyaku semakin penasaran.
“Maaf Tuan, tidak ada bis jurusan kota H…karena inilah kota terakhir dari setiap perjalanan manusia. Jika manusia sudah tiba di sini, dia tidak akan pernah bisa kembali lagi.”
“Tapi saya masih ada banyak urusan yang harus dilakukan di kota H.”
“Banyak urusan itu tak membuat seseorang untuk tetap tinggal di kota H. Di kota mati, kita harus belajar meninggalkan semua urusan di kota H.”
“Tidak mungkin aku meninggalkan semua urusanku di kota H!”bantahku.
“Maaf Tuan, sekarang anda telah menjadi penduduk kota mati. Itu berarti anda telah berpisah dari setiap urusan di kota H.” Penjelasan laki-laki itu semakin membuatku bingung dan takut.
“Apa maksud dari perkataanmu?” aku meminta penjelasan lagi.
“Apakah Tuan lupa bahwa anda sudah mati? Itulah kenapa Tuan berada di kota ini.
Akupun terjatuh lemas tak berdaya mendengarnya, laki-laki itu dengan sigap menangkap tubuhku dan membawaku ke kursi panjang yang tersusun rapi di sebelah kanan kiri ruang tunggu terminal kota Mati.
Aku mulai menangis, aku merasa semakin sepi dan sendirian lagi. Kupegang kedua tangan laki-laki itu, berharap dia dan keluarganya tak meninggalkanku sendirian.
“Tuan mengertilah, kami harus segera pergi.” Laki-laki itu mencoba memberi pengertian kepadaku. Kemudian dia mencoba melepaskan pegangan tanganku. Aku mengendurkan pegangan, dan tiba-tiba setelah peganganku terlepas mereka hilang dari pandanganku.
Sekarang aku sendirian, duduk di kursi panjang ini sambil mencoba memikirkan tentang kata yang baru saja aku temui di kota ini “MATI”.
Banyak sekali pertanyaan di pikiranku. Kapan aku mati, kenapa aku bisa mati, mati itu apa, kenapa mati harus sendirian dan sepi, bagaimana aku bisa mati, dll. Pertanyaan-pertanyaan yang semakin membuatku semakin sepi sendiri karena tak ada seorangpun yang menjawab.
Yang kuingat di kota H dulu, kata mati hanyalah untuk orang yang sudah tua dan sakit-sakitan. Aku sudah melupakan kata mati dalam kotak kehidupanku, karena mati adalah hal yang selalu ku hindari dan kubenci, karena kematian telah mengambil satu-persatu orang yang kusayagi. Sehingga seluruh hidupku kuhabiskan untuk mencari formula penangkal mati. Proyek yang sedang kulakukan itu adalah sebuah proyek penelitian untuk menemukan obat dari semua penyakit dan semua orang bisa terus hidup.
Dan sekarang aku telah ‘mati’, mungkin di kota H aku telah melupakan mati. Melupakannya dengan banyak harta, kesenangan, pekerjaan, ambisi, persaingan, keserakahan, dan pengakuan. Lalu apakah aku harus melupakan ‘hidup’ di kota Mati ini?
Selamat datang kota Mati….kota yang terlupakan dan dilupakan.