Senin, 17 Januari 2011

8 Kebohongan Seorang Ibu


Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian. .

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan. .

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.

Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.

Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.

Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.

Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!!”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.

Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.

Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.

Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerimaberita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.” Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…….
Si Nenek dan Seribu Rupiah


Seribu rupiah di atas meja tergeletak begitu saja. Sejenak kupandangi dan teringat peristiwa tempo hari..

Di sekitar ruangan masih banyak sampah-sampah botol dan gelas plastik bekas minuman semalam. Panitia masih terllau sibuk dengan urursan lain dan belum sempat mengangkut sampah-sampah itu ke tempat sampah besar.
12919011162077209110

Tak berapa lama, seorang nenek datang. Memunguti botol-botol dan gelas plastik bekas itu. Seorang kawan saya bertanya dalam bahasa bugis pada si nenek dan mereka saling tanya jawab seraya kami bersama-sama ikut membantu si nenek mamsukkan gelas-gelas plastik bekas itu ke dalam karung.

Usai berbincnag, kawan saya seperti hendak menangis.

Si nenek pun berlalu..

A: “Ada apa?”

B: “Nenek tadi kuat banget yaa..”

A: “Maksudnya?”

B: “Tau nggak? Sekarung penuh gelas plastik bekas tadi.. hanya dihargai Rp.1000,- per kilogramnya”

A dan C: “Apa???!!”

B: “Terus si nenek keliling kota Makassar tiap hari hanya untuk mengumpulkan seribu rupiah. Beliau tidak mau mengemis. Itu aja dalam sehari belum tentu dapat 1 kilogram gelas plastik bekas. Masalahnya plastik cuy… tau kan plastik tuh ringan banget.. Terus mau tau lagi nggak? Si nenek itu hidup sebatang kara.. suaminya dah meninggal sejak lama dan beliau nggak punya anak, sanak sodaranya juga nggak tau dimana”

C: “Saluut sama nenek itu,.. kenapa nggak bilang dari tadi kak..biar kita bisa kasih uang ke nenek. Seribu rupiah sehari bisa buat apaan?”

A: “Ya ampun..malu lah dek.. nenek itu bukan pengemis. Bayangin ajaa… untuk seribu rupiah pun beliau rela jalan kaki keliling kota Makassar. Kamu tau kan untuk naik angkot aja pun nggak cukup.. ongkos angkot kan tiga ribu..”

-*-

Hening..

A, B, dan C lalu merogoh saku masing-masing.. Mengambil selembar uang dari balik saku, merapikannya baik-baik..

Seribu rupiah pun sangat berharga kawan..
Mengenal Ulama Islam : Rabi’ bin Ziad al-Haritsy



Namanya adalah ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy, gubernur Khurasan, penakluk Sajistan dan komandan yang gagah berani sedang bergerak memimpin pasukannya berperang di jalan Allah bersama budaknya yang pemberani, Farrukh.

Setelah Allah memuliakannya dengan penaklukan Sajistan dan belahan bumi lainnya, dia bertekad untuk menutup kehidupannya yang semarak dengan menyeberangi sungai Sihun (sebuah sungai besar yang terletak setelah Samarkand, perbatasan Turkistan) dan mengangkat bendera tauhid di atas puncak bumi yang disebut dengan Negeri Di Balik Sungai itu.

Ar-Rabi’ bin Ziad menyiapkan peralatan dan bekalnya untuk peperangan yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dia telah menetapkan waktu dan tempat untuk menghadapi musuhnya.

Dan ketika peperangan telah berkobar, ar-Rabi’ dan pasukannya yang gagah berani melancarkan serangan yang hingga kini masih didokumentasikan oleh sejarah dengan penuh sanjungan dan penghormatan.

Sementara budaknya, Farrukh telah menampakkan kegagahan dan keberaniannya di medan laga sehingga membuat ar-Rabi’ tambah kagum, hormat dan menghargai keistimewaannya itu.

Peperangan berakhir dengan kemenangan yang gemilang bagi kaum muslimin. Mereka telah mampu menggoncang musuh, mencerai-beraikan dan mengkocar-kacirkan pasukannya.

Kemudian mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka untuk menuju ke arah negeri Turki dan menahan laju mereka ke arah negeri Cina dan kerajaan Shughd.

Ketika Panglima besar ini telah berhasil menyeberangi sungai dan telah kedua kakinya telah menapak ke tanah pinggirannya, dia dan pasukannya segera berwudhu dengan air sungai dengan sebaik-baiknya.

Lalu mereka menghadap kiblat dan melakukan shalat dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, Penganugerah kemenangan.

Setelah itu, dia membalas jasa budaknya, Farrukh dengan memerdekakannya, memberinya bagian ghanimah yang sangat banyak, ditambah harta pribadinya yang cukup banyak pula.

Kehidupan setelah hari yang cemerlang dan terang itu tidaklah berlangsung lama bagi ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy.

Ajal pun menjemputnya setelah dua tahun dari tercapai impiannya yang besar itu, untuk pergi menyongsong Rabbnya dengan penuh ridha dan diridhai.

Sedangkan anak muda nan gagah lagi pemberani, Farrukh, kembali ke Madinah al-Munawwarah dengan membawa bagian ghanimahnya yang banyak dan pemberian berharga yang diberikan oleh panglima besarnya.

Dan di atas semua itu, dia membawa kemerdekaan yang begitu mahal harganya dan kenangan indah bersama ukiran kepahlawanan yang dimahkotai oleh debu-debu peperangan.

Ketika menginjakkan kaki ke kota Rasulullah, Farrukh merupakan seorang pemuda yang sempurna, energik dan penuh semangat ksatria dan kepandaian berkuda. Ketika itu, usianya sudah menganjak 30-an tahun.

Farrukh telah berniat untuk membangun rumah tempat berteduh dan memiliki seorang isteri tempat tambatan hatinya.

Lalu dia membeli sebuah rumah tipe menengah di Madinah dan memilih seorang wanita yang cerdas otaknya, sempurna akhlaknya, baik agamanya dan seumur dengannya, lalu dinikahinyalah wanita itu.

Farrukh merasa nyaman dengan rumah yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Didampingi oleh sang isteri, dia juga mendapatkan rizki yang memadai, perlakuan yang demikian baik dan kehidupan yang cemerlang melebihi apa yang sebelumnya pernah diharapkan dan dicita-citakannya.

Akan tetapi rumah yang mewah beserta kelebihannya dan istri yang shalehah dengan segala yang dikaruniakan Allah kepadanya; sifat yang baik dan prilaku yang agung, tidaklah mampu untuk membendung hasrat sang ksatria Mukmin ini untuk kembali terjun ke medan laga, kerinduan untuk mendengar suara gemerincing pedang saling bersabetan dan kegandrungannya untuk kembali berjihad di jalan Allah.

Setiap kali terdengar berita kemenangan pasukan muslim yang berperang di jalan Allah di Madinah, semakin menyalalah kerinduannya untuk berjihad dan semakin menggebulah hatinya keinginannya mendapatkan kesyahidan.

Suatu kala di hari jum’at, Farrukh mendengar khathib masjid Nabawi mengabarkan berita gembira perihal kemenangan pasukan muslim di berbagai medan peperangan, mengajak jema’ah untuk berjihad di jalan Allah dan menganjurkan untuk mencari kesyahidan demi meninggikan agama-Nya dan mengharap keridhaan-Nya,.

Maka pulanglah Farrukh ke rumahnya sementara dia telah memasang tekad bulat untuk bergabung di bawah bendera kaum muslimin yang bertebaran di bawah setiap komando. Dia menyampaikan niatnya tersebut kepada sang isteri.

Maka sang istri menjawab,“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara.”

Lalu Farukh berkata,“Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan.”

Kemudian dia berpamitan dengannya dan pergi menuju tujuannya.

Istri yang cerdas otaknya ini kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami.Begitu pula, dia banyak menghafal hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pandai memamerkan ungkapan Arab yang indah dan mengetahui masalah-masalah agama yang esensial.

Untuk kebutuhan itu, Ummu Rabi’ah sudah banyak mengeluarkan ‘kocek’ buat para guru dan pendidik akhalq sang anak, demikian juga memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Setiap dia melihat peningkatan ilmu sang anak, dia menambah uang buat mereka sebagai bentuk kepeduliaan dan penghormatan.

Di samping hal itu, rupanya dia juga selalu menanti-nanti kepulangan sang suami yang raib dan sudah berupaya untuk hanya menjadikannya sebagai belahan hatinya dan anaknya.

Akan tetapi sang suami, Farrukh telah lama menghilang sementara berita tentangnya masih simpang-siur; ada yang mengatakan dia ditawan musuh. Ada yang mengatakan bahwa ia meneruskan jihad. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang sudah pulang dari medan jihad bahwa ia telah meraih kesyahidan yang diimpi-impikannya.

Bagi Ummu Rabi’ah pendapat terakhir ini lebih kuat karena sudah terputusnya berita tentangnya. Karena itu, diapun sedih sesedih-sedihnya yang membuat hatinya merana, lantas menyerahkan semua itu kepada Allah Ta’ala semoga dibalas pahala atas kesabarannya.

Ketika itu, Rabi’ah sudah beranjak remaja dan hampir masuk usia pemuda.

Para pemberi nasehat berkata kepada ibundanya,“Ini si Rabi’ah sudah menyelesaikan baca-tulis yang sudah semestinya diselesaikan untuk orang seusianya. Bahkan dia unggul atas teman-teman seumurnya; dia hafal al-Qur’an dan juga meriwayatkan hadits. Andaikata engkau pilihkan suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan kebaikan buatnya, pasti dengan begitu cepat dia bisa menekuninya dan lantas dapat menafkahimu dan dirinya.”

Ibu Rabi’ah menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar Dia memilihkan untuknya hal terbaik bagi kehidupan dan akhiratnya…”

Sesungguhnya Rabi’ah telah memilih ilmu untuk dirinya dan bertekad bulat untuk hidup sebagai penuntut ilmu dan pengajar selama hayat dikandung badan.

Rabi’ah terus berlalu sesuai jalan yang telah digariskannya untuk dirinya tanpa menunda-nunda dan berbuat teledor, menyongsong halaqah-halaqah ilmu yang demikian sesak di masjid Madinah sebagaimana layaknya seorang yang dahaga yang menuju sumbe air nan lezat.

Dia berguru dengan para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Dia juga berguru dengan kontingen pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyib, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar.

Dia terus berjerih payah pada malam hari dan siang harinya hingga betul-betul kelelahan.

Kita pernah mendengar para gurunya berkata, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberimu separoh dirinya kecuali bila kamu telah memberinya seluruh ragamu.”

Tidak berapa lama berlalu, namanya kemudian menjadi bergema, bintangnya telah berkibar dan saudara-saudaranya semakin banyak.

Para murid-muridnya amat menggandrunginya dan kaumnya telah menjadikannya sebagai pemuka mereka.

Kehidupan ulama Madinah ini berjalan damai dan tentram; separoh harinya dia berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya. Separoh lagi dia gunakan di masjid Rasululullah guna menimba ilmu dari majlis-majlis dan halaqahnya.

Kehidupannya berjalan samar-samar hingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka

Pada suatu malam saat bulan purnama di musim panas, seorang pejuang yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun-an baru sampai di Madinah.

Orang itu berjalan memasuki gang-gangnya dengan berkuda menuju rumahnya. Dia tidak tahu, apakah rumahnya masih berdiri seperti sedia kala atau sudah terjadi perubahan seiring dengan perjalanan waktu.

Sudah lama ia tingglkan, yaitu selama tiga puluh tahun atau sekitar itu.

Dia bertanya-tanya dalam hati tentang isterinya yang masih muda, yang dia tinggalkan di rumah itu; apa yang telah dia lakukan? Dan tentang jabang bayi yang dikandungnya; apakah anak laki-laki atau perempuan yang lahir? Apakah dia hidup atau mati? Dan jika hidup, bagaimana keadaannya?

Dia juga bertanya-tanya tentang uang banyak yang dia kumpulkan dari beberapa ghanimah jihad, yang dia titipkan padanya ketika akan berangkat berperang di jalan Allah bersama tentara kaum muslimin yang bergerak untuk menaklukkan negeri Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Waktu itu, gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang karena mereka hampir saja akan melaksanakan shalat isya’.

Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang yang dia lewati mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya, tidak melihat kudanya yang kurus dan tidak melihat pedangnya yang menggelayut di pundaknya.

Penduduk kota-kota Islam telah terbiasa melihat pemandangan para mujahidin yang hendak berangkat menuju peperangan di jalan Allah atau kembali darinya.

Akan tetapi hal itulah yang justeru menimbulkan kesedihan dan rasa cemas di hati pejuang ini.

Tatkala pejuang ini hanyut dalam alam pikirannya, sembari terus berjalan mencari rumahnya di gang-gang yang sudah banyak berubah itu, tiba-tiba dia mendapati dirinya sudah berada di depan rumahnya.

Kebetulan dia dapati pintunya terbuka sehingga saking gembiranya, dia lupa meminta izin dulu kepada penghuninya. Dia langsung menyelonong masuk hingga sampai ke bagian dalam.

Pemilik rumah mendengar suara pintu, lalu dia melongok dari lantai atas. Ternyata di bawah benderang sinar rembulan, dia melihat seorang laki-laki yang menghunus pedang dan menggantungkan tombaknya sedang memasuki rumahnya di malam hari.

Waktu itu istrinya yang masih muda berdiri tidak jauh dari incaran mata orang asing itu.

Melihat gelagat itu, pemilik rumah langsung marah dan segera turun tanpa alas kaki seraya berkata,
“Apakah anda ingin sembunyi di balik kegelapan wahai musuh Allah dan merampok rumahku serta menyerang istriku?!”

Lalu dengan seketika, dia menyerang orang tersebut bak harimau yang ingin mempertahankan sarangnya jika ada yang ingin mengganggunya dan tidak memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk berbicara.

Akhirnya, masing-masing saling baku hantam sehingga suasana gaduh semakin seru dan suaranya semakin mengencang. Karenanya, para tetangga berhamburan menuju ke rumah itu dari segala penjuru. Lalu mereka mengurung orang asing ini ibarat lingkaran borgol di tangan dan membantu tetangga mereka untuk menghadapinya.

Lantas pemilik rumah mencengkeram leher orang asing itu dan mengencangkan cengkeramannya seraya berkata,“Demi Allah aku tidak akan melepaskanmu -wahai musuh Allah- kecuali nanti di samping gubernur.”

Maka orang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan tidak melakukan dosa apa-apa.! Ini adalah rumahku dan budakku, aku mendapati pintunya terbuka lalu aku memasukinya.”

Kemudian orang asing itu menoleh ke arah khalayak sembari berkata,
“Wahai hadirin, tolong dengarkan aku. Rumah ini adalah rumahku yang aku beli dengan hartaku. Wahai hadirin, aku ini adalah farrukh. Apakah tidak ada seorang tetanggapun yang masih mengenali Farrukh yang pergi sejak tiga puluh tahun lalu untuk berjihad di jalan Allah?!.”

Waktu itu ibu pemilik rumah ini sedang tidur lalu terbangun karena mendengar keributan. Dia melongok dari jendela lantai atas dan melihat yang ternyata benar-benar suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hampir-hampir saja saking terkejutnya, lisannya tak dapat berbicara, untunglah tak berapa lama kemudian dia dapat mengatasinya seraya berkata,

“Biarkan dia, biarkan dia! wahai Rabi’ah! Biarkan dia, wahai anakku. Sesungguhnya dia itu adalah ayahmu. Wahai hadirin, pergilah kalian semua, semoga Allah memberkati kalian.”
“Berhati-hatilah, wahai Abu Abdurrahman.! Sesungguhnya orang yang engkau hadapi itu adalah anak dan belahan hatimu sendiri.”

Begitu ucapannya menyentuh telinganya, maka Farrukhpun segera menyongsong Rabi’ah, merengkuh dan memeluknya.

Sedangkan Rabi’ah, langsung menyongsong Farrukh lalu mencium kedua tangannya, lehernya dan kepalanya.Dan orang-orang pun bubar…

Ummu Rabi’ah turun untuk memberi salam kepada suaminya yang sebelumnya dia tidak mengira akan bertemu dengannya di tanah ini setelah beritanya terputus selama hampir sepertiga abad.

Farrukh duduk di sebelah istrinya dan mulai bercerita tentang pengalamannya serta menyampaikan sebab terputusnya berita tentang dirinya tersebut.

Akan tetapi Ummu Rabi’ah tidak begitu memperhatikan omongannya. Rasa takut akan amarah suaminya karena telah menyia-nyiakan harta yang telah dititipkannya padanya telah memperkeruh kegembiraannya bertemu dengannya dan pertemuannya dengan anaknya.

Dalam hati dia berkata, “Kalau dia menanyaiku sekarang tentang sekian banyak uang yang dititipkannya padaku sebagai amanat, yang waktu itu dia berpesan agar aku membelanjakannya di jalan yang ma’ruf (baik), apa yang harus kujawab? Apa kira-kira reaksinya andai aku beritahu bahwa tidak ada sepeserpun yang tersisa? Apakah dia akan percaya bila aku katakan bahwa semua hartanya yang dia tinggalkan itu telah aku gunakan untuk biaya pendidikan dan pengajaran anaknya? Apakah mungkin biaya seorang anak bisa mencapai 30.000 dinar? Apakah dia akan percaya bahwa tangan sang anak lebih mulia daripada awan yang menurunkan hujan dan bahwa dia tidak menyisakan sepeser dinar atau dirham-pun untuk dirinya? Apakah dia akan percaya bahwa semua orang di Madinah ini pasti tahu bahwa anaknya itu telah menginfakkan beribu-ribu uang untuk rekan-rekannya?.”

Pada saat Ummu Rabi’ah tenggelam dalam lamunannya ini, suaminya menoleh kepadanya seraya berkata,“Sekarang aku bawa lagi untukmu, wahai Ummu Rabi’ah sebanyak empat ribu dinar. Maka tolong perlihatkan uang yang dulu aku titipkan padamu supaya kita kalkulasi dengan yang ini, lalu harta kita semuanya itu kita belikan sebuah kebun atau real estate sehingga dari omsetnya kita bisa hidup selama hayat dikandung badan.”

Ummu Rabi’ah pura-pura menyibukkan diri dan tidak memberikan jawaban sedikitpun.

Lalu suaminya mengulang permintaannya kembali sembari berkata,“Ayo, mana harta itu supaya aku gabungkan dengan yang ada di tanganku ini?”

Lalu Ummu Rabi’ah berkata,“Aku telah menyimpannya di tempat yang layak dan akan aku berikan padamu beberapa hari lagi, insya Allah.” Untunglah, suara adzan memutus perbincangan keduanya.

Lalu Farrukh bergegas mengambil kendi dan berwudlu.Kemudian cepat-cepat menuju pintu dan berteriak, “Di mana Rabi’ah.?”

Mereka menjawab, “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan pertama, dan kami kira kamu tidak akan mendapatkan shalat jama’ah.”

Farrukh sampai di masjid, dan mendapati imam baru saja selesai dari shalat. Dia kemudian melakukan shalat wajib, lalu menuju kuburan yang mulia untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian beranjak ke Raudhah yang suci, karena hatinya masih rindu untuk melakukan shalat di sana.

Dia memilih suatu tempat di hamparannya yang sejuk dan melakukan shalat sunnah semampunya di sana, kemudian berdo’a kepada Allah.

Dan ketika ingin meninggalkan masjid, dia menemukan ruangannya yang luas telah disesaki majlis ilmu yang belum pernah dia saksikan sebanyak itu sebelumnya.

Dia melihat orang-orang telah melingkar di sekeliling Syaikh, satu demi satu hingga tidak ada lagi tempat menginjakkan kaki di lokasi itu, lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah orang-orang, ternyata di sana banyak sekali syaikh-syaikh yang memakai syal dan sudah tua-tua, orang-orang terhormat yang dari gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka orang-orang penting (berpangkat) dan para pemuda yang banyak sekali sedang bersimpuh di atas lutut mereka sembari mengambil pena dengan tangan untuk menulis apa saja yang dikatakan Syaikh tersebut layaknya permata-permata yang diperebutkan. Lalu menyimpan tulisan itu di dalam buku catatan mereka sebagaimana halnya benda-benda berharga disimpan.

Orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah di mana syaikh duduk, mendengarkan penuh khidmat setiap ucapan yang keluar hingga seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Para petugas penyampaian (Muballigh) menyampaikan apa yang diucapkan syaikh, paragraf demi paragraf sehingga sekalipun seseorang jauh tempatnya, tidak akan ketinggalan satu patah katapun.

Dalam pada itu, Farrukh berusaha memasati (mengamati dengan jelas) wajah si syaikh tersebut namun tidak berhasil karena tempatnya yang jauh.

Penjelasannya yang cemerlang, ilmunya yang mumpuni dan ingatannya yang luar biasa membuatnya tertawan, terlebih lagi dengan pemandangan orang-orang yang begitu tunduk di hadapannya. Tidak berapa lama, syaikhpun menutup majlis pengajiannya dan bangkit berdiri. Maka, serta-merta orang-orang menyongsong ke arahnya, berdesak-desakan, melingkarinya dan berdorong-dorong mengikuti dari belakangnya guna mengantarnya hingga ke luar arena masjid.

Ketika itulah, Farrukh menoleh ke arah orang yang duduk di sebelahnya tadi seraya berkata,“Tolong katakan kepadaku –atas nama Rabbmu- siapa syaikh itu?.”

“Bukankah anda ini berasal dari Madinah.?” Jawab orang itu dengan penuh keheranan.

“Benar.” Kata Farrukh

“Apakah ada orang yang tidak mengenal syaikh di Madinah ini?.” kata orang itu lagi

“Ma’afkan aku, bila aku tidak begitu mengenalnya. Sudah sekitar 30 tahun aku habiskan waktu jauh dari kota Madinah ini dan baru kemarin aku kembali.” Kata Farrukh lagi

“Kalau begitu, nggak apa-apa. Mari duduk bersamaku sebentar, biar aku ceritakan tentang syaikh ini.”

Orang itu melanjutkan,“Syaikh yang anda nikmati pengajiannya tadi itu adalah salah seorang pemuka Tabi’in dan tokoh kaum Muslimin. Dia lah Ahli hadits kota Madinah ini, Faqih berikut Imamnya sekalipun usianya masih belia.”

“Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.” Jawab Farrukh

orang tadi meneruskan,“Sebagaimana yang anda lihat, majlis pengajiannya juga dijubeli oleh Mâlik bin Anas, Abu Hanîfah (keduanya adalah imam madzhab terkenal), Yahya bin Sa’îd al-Anshâry, Sufyân ats-Tsaury, ‘Abdurrahmân bin ‘Amr al-Awzâ’iy, al-Laits dan banyak lagi yang lainnya.”

“Tetapi kamu…” celetuk Farrukh

Namun orang itu tidak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan ucapannya tersebut dan langsung melanjutkan,“Di atas semua itu, dia adalah seorang tuan, yang mulia pekertinya dan rendah diri lagi dicintai orang serta dermawan. Penduduk Madinah ini tidak pernah mengenal orang yang lebih dermawan darinya baik terhadap teman ataupun anak teman…tidak ada yang lebih zuhud darinya terhadap glamour duniawi serta tidak ada yang lebih besar cintanya terhadap anugerah Allah selainnya.”

“Tapi kamu belum juga menyebutkan kepadaku, siapa namanya!.” Komentar Farrukh

“Dia adalah Rabi’ah ar-Ra`yi.” Jawab orang itu

“Rabi’ah ar-Ra`yi?!” kata Farrukh“Ya, namanya Rabi’ah… akan tetapi para ulama dan syaikh Madinah ini memanggilnya dengan Rabi’ah ar-Ra`yi karena bila mereka tidak mendapatkan satu nashpun dari suatu masalah baik di dalam Kitabullah ataupun hadits Rasulullah, pasti merujuk kepadanya, lantas dia berijtihad dengan ra`yi (pendapat)nya sendiri dalam hal itu. Dia analogkan masalah yang tidak terdapat nashnya itu terhadap masalah yang ada nashnya, lalu memberikan putusan terhadap masalah yang dirasakan rumit oleh mereka tersebut; sebuah putusan yang berkenan di hati.” Kata orang itu melanjutkan

“Tapi kamu belum menyebutkan siapa ayahnya kepadaku.!” Kata Farrukh memelas

“Dia lah Rabi’ah bin Farrukh, yang dijuluki dengan Abu ‘Abdirrahman. Dia dilahirkan setelah ayahnya itu meninggalkan Madinah ini untuk tujuan berjihad di jalan Allah sehingga ibunya lah yang kemudian mengurusi pendidikan dan pertumbuhannya. Aku sudah mendengar menjelang waktu shalat ini masuk tadi, ada orang-orang mengatakan bahwa ayahnya sudah kembali malam tadi.” Kata orang itu

Ketika itulah, dua tetes besar air mata Farrukh mengalir dari kedua matanya sehingga membuat orang tadi tidak mengetahui apa gerangan sebabnya.

Dia kemudian bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Tatkala Ummu Rabi’ah melihatnya berlinangkan air mata, dia menanyakan,“Ada apa denganmu, wahai Rabi’ah?.”

“Ah, Aku baik-baik saja. Aku tadi telah melihat betapa anak kita sudah mencapai kedudukan ilmu, kehormatan dan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya.” Jawabnya

UmmU Rabi’ah kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya berkata,
“Kalau begitu; mana yang lebih kau cintai: 30.000 dinar atau martabat ilmu dan kehormatan yang telah dicapai anakmu ini?.”

“Demi Allah, malah inilah yang lebih aku cintai dan lebih aku dahulukan ketimbang seluruh harta dunia ini.”

“Sebenarnya, semua yang engkau titipkan padaku itu telah aku habiskan untuk membiayainya.” Kata Ummu Rabi’ah meyakinkan

“Ya, terimakasih, semoga engkau, dia dan kaum Muslimin mendapatkan balasan dariku dengan sebaik-baik balasan.” Ucapnya

Sumber: (Tadzkirah al-Huffâzh, I:148, Hilyah al-Awliyâ`, III:259, Sifah ash-Shafwah, II:83, Dzayl al-Muzîl, h.101, Târîkh Baghdâd, VIII:420, At-Tâjj, X:141, Wafayât al-A’yân, I:138, Târîkh ath-Thabariy)

Sumber : http://ahlulhadiits.wordpress.com/
Masuk Islam Gara-gara Dikejar Anjing


Segala puji hanyalah bagi Allah, Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tuhan yang Mahakuasa atas segala sesuatu, yang mengatur pergantian siang dan malam. Tuhan yang melihat hamba-hamba yang tengah sujud di kegelapan malam, Tuhan yang mendengarkan doa-doa hamba-Nya.

Tuhan yang ketika disebutkan nama-Nya bergetarlah hati hamba-hamba-Nya yang beriman, dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambah kokohlah iman mereka.

Tuhan yang Agung yang penuh belas kasih. Tuhan yang kepadanya semua makhluk akan kembali dan dikumpulkan.

Ia memberikan hidayah kepada manusia dengan cara-Nya. Kadang cara itu tidak terduga. Maha suci Allah…

Beberapa orang pemuda tengah berkumpul di rumah Allah, di sebuah mesjid, di kota Paris. Sebagian mereka adalah orang-orang yang baru memeluk Islam. Sebagian lain adalah muslim sejak kecil. Setiap hari usai shalat subuh berjamaah setiap orang secara bergantian membaca kitab Riyadus Solihin yang disusun oleh Imam Nawawi.

Setelah hadits-hadits itu dibaca, mereka menghafalkannya dan menancapkan niat dalam hati untuk mengamalkan dan menyampaikan pada orang lain, sebagaimana pesan Rasulullah, “Ballighuu `anniy walau aayah, sampaikanlah tentangku walau satu ayat yang kalian tahu!

Beberapa orang ulama menjelaskan hadits ini, ballighuu: sampaikanlah, adalah sebuah perintah dari Rasul yang harus diikuti, `anniiy, tentangku, adalah suatu kemuliaan menyampaikan risalah Rasul, walau aayah: adalah takhfif, sebuah keringanan, dimana setiap muslim memiliki kesempatan untuk menjadi seorang muballigh, da`i ke jalan Allah SWT, mengajak manusia kepada ketaatan, menyampaikan apa yang ia ketahui tentang al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah.

Setelah membaca dan mendengarkan hadits-hadits dengan penuh cinta, ta`zhim dan tasdiq (membenarkan apa yang didengar), mereka bermusyawarah. Seseorang dari mereka ditunjuk untuk memimpin musyawarah.

“Saudara-saudaraku, tak henti-hentinya kita memanjatkan syukur kepada Allah `Azza wa Jalla, pada hari ini kita telah kembali dihidupkan. Allah memberi kita kesempatan untuk beribadah pada-Nya, bertobat atas dosa-dosa kita, menambah bekal untuk akhirat. Mari kita isi hari ini dengan memperbanyak istighfar, memperharui tobat dan beramal soleh.”

“Saudaraku, kita juga harus bersyukur Allah memberi kita kesehatan dan kelapangan untuk shalat subuh di rumah Allah swt ini. Sebuah hadits dari Ustman bin Affan radhiyallahu `anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah, maka seolah-olah ia telah mendirikan setengah malam, dan barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, maka seolah-olah ia telah mendirikan (shalat) seluruh malam”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.”

“Dalam hadits lain disebutkan, dari Abi Zuhair Umarah bin Ruaibah radhiyallahu `anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelam matahari, yaitu shalat subuh dan ashar. Hadits ini juga diriwayatkan Imam muslim.”

“Saudaraku, mari kita isi hari ini dengan ketaatan. Kita manfaatkan setiap detik yang kita lewati, jangan sampai kita lalai, terpedaya oleh tipu daya setan dan hawa nafsu. Saudaraku, usai musyawarah ini hendaknya kita tetap duduk di mesjid untuk berzikir pada Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir sampai terbitnya matahari, lalu shalat dua rakaat, maka baginya pahala, seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”

Dan terakhir, ada empat perkara yang jika berkumpul dalam diri seorang muslim dalam satu hari, maka ia akan masuk sorga, sebagaimana yang disebutkan Rasul, empat perkara itu adalah: Puasa sunat, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan memberi makan orang miskin….

Mereka saling berbagi informasi tentang kegiatan silaturahmi pada hari sebelumnya. Siapa yang telah dikunjungi, bagaimana keadaannya, tinggal dimana, dan seterusnya.

Mereka selalu bersemangat demi tersebarnya dakwah ke seluruh penjuru kota Paris dan ke seluruh bumi Allah, agar tidak ada satupun manusia yang meninggal kecuali telah beriman pada Allah subhanahu wa ta`ala.

Di tengah musyawarah mereka dikejutkan dengan masuknya seorang pemuda yang sedang ketakutan ke dalam mesjid, nafasnya tidak teratur, dari wajahnya terlihat bekas ketakutan itu. Ia habis berlari.

Pemuda itu menuju tempat mereka berkumpul.

Salah seorang dari mereka dengan penuh lembut dan senyum menyapa pemuda tersebut.

“Kenapa Anda terlihat sangat ketakutan, apa yang terjadi?”

Pemuda itu masih berusaha mengatur nafasnya, setelah agak tenang, pemuda itu mulai berbicara.

“Tadi, sewaktu saya keluar rumah, di jalan besar tiba-tiba se ekor anjing menggonggong kepada saya, saya ketakutan, saya lari, dan anjing itu mengejar saya. Kemanapun saya lari saya dikejarnya, lari balik ke rumah, tidak mungkin, karena jalan pulang ke rumah di belakang anjing itu, saya terus mencari tempat perlindungan. Di ujung jalan saya melihat ada rumah yang terbuka pintunya, di belakang saya anjing terus mengejar, dan akhirnya saya masuk ke sini. Tapi yang membuat saya heran, kenapa anjingnya tidak masuk mengikuti saya, sedangkan tadi kemana arah saya lari dia terus mengejar saya… ini rumah siapa dan tempat apa?”

“Ini rumah Allah, tempat kaum muslimin beribadah”, salah seorang dari mereka menjawab.

Pemuda itu masih heran.

“Maksud Anda?”

“Rumah Allah tidak dimasuki anjing, dia makhluk yang najis, sedangkan rumah ini suci, dinaungi oleh malaikat, dan siapa yang masuk ke rumah ini ia akan mendapatkan ketentraman dan kedamaian”

Pemuda itu tercengang-cengang.

“Owh.. begitu” katanya masih diliputi rasa penasaran yang tinggi.

Kemudian mereka menjelaskan tentang islam padanya. Hati pemuda itu tersentuh dengan penjelasan-penjelasan yang mereka berikan. Tentang keagungan rumah Allah, tentang islam, tentang indahnya persaudaraan dalam islam, tentang hakikat hidup dan dunia, tentang kematian dan tentang akhirat.

Mereka melihat air matanya menetes, ia terharu, hatinya seolah merasakan tetesan embun hidayah yang menyejukkan.., kemudian mereka mengajaknya memeluk Islam dan pada saat itu juga pemuda tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat… Subhanallah..

Salah seorang dari mereka berucap syukur dalam hati. Pemuda tersebut kerap ia lihat setiap kali ia menuju mesjid, tapi ia tidak kenal namanya. Pemuda yang tak henti ia doakan tiap malam dalam tahajudnya tersebut dengan tetes air mata, kini telah masuk ke pangkuan Islam. Ia pun terharu, memuji Allah, bertasbih, bertahmid dan bersyukur pada-Nya. Tanpa terasa pipinya basah..

“Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Rabb, Engkau telah mengabullkan doa hamba-Mu yang lemah ini yang hamba panjatkan sejak 4 bulan yang lalu,” ucapnya dalam hati.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada temannya yang meneteskan air mata tersebut,

“Kenapa menangis akhi?

“Saya begitu terharu akhi, Allah telah menggerakkan satu dari makhluknya dan menjadikan sebab masuk Islamnya saudara kita ini, subhanallah..”

Setelah pagi itu, mereka kian bersemangat merintis dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah. Tahun demi tahun dilalui, mereka tidak pernah berkeluh kesah, tidak pernah lelah, bahkan semakin gagah dan teguh. Mereka terus berusaha, bergerak dari satu rumah ke rumah yang lain untuk mengajak manusia ke jalan Allah. Dan berkat kesungguhan dan doa-doa panjang yang mereka panjatkan di tengah hening dan pekatnya malam, telah banyak orang-orang yang memeluk Islam dan telah banyak kaum muslimin yang sadar akan dirinya dan kembali ke jalan Allah, subhanallah..

Dan pemuda mualaf itu telah menjadi seorang yang gigih menyebarkan risalah islam ke seantero penjuru kota Paris. Ia tak kenal lelah, tak kenal siang dan malam. Dakwah telah menjadi tujuan hidupnya, ia tak kenal henti menangis di sepanjang malam, memohon pada Allah agar hidayah islam masuk ke dalam hati setiap manusia yang belum beriman.

Walau ia dicerca, dimaki ia tak surut, langkahnya telah kokoh sekokoh batu karang di tengah ganasnya ombak, niatnya telah teguh, hatinya telah mantap dan azamnya telah kuat. Tidak akan berhenti sampai ajal menjemput. Ia telah mencintai islam dengan segenap raga dan jiwanya, cinta yang agung, cinta yang mulia dan cinta yang membawa kepada kenikmatan abadi di sorga kelak.

NB: Ini adalah kisah nyata yang saya dengarkan lansung dari seorang teman saya bernama Rosyid, dari Maroko. Sedikit ditambahkan ilustrasi agar ceritanya mengalir saja…
Kisah Pemuda dan Pengemis



Suatu ketika tampak seorang pemuda sedang beristirahat di pinggir jalan. Tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis.

Pengemis itu bertanya,

“Sudikah anda memberi kepada saya yang sudah sejak beberapa waktu ini tidak memiliki perut yang tenang?” tanya si pengemis tua itu sambil menengadahkan tangannya yang renta.

Karena merasa iba, pemuda itu memberikan sedikit uang yang dirasa cukup menenangkan perutnya.

“Terima kasih wahai engkau anak muda yang berhati mulia, terimalah batu ini sebagai tanda mata dariku. Mintalah kepadanya maka kau akan mendapatkannya.”

Untuk sesaat pemuda itu tercengang. Keraguan muncul dibenaknya, siapakah pengemis ini? Apakah dia semacam dewa atau malaikat yang turun dari langit untuk menolongnya? Lalu kenapa harus batu? Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam mengganggu benaknya.

Sambil menghela nafas, pemuda itu berkata,

“Maapkan aku pengemis tua yang baik. Bukan aku tidak berterima kasih. Tapi kalau saja kuterima batu itu, maka sesungguhnya aku akan menjadi seorang pendosa karena menyekutukan-Nya.”

Mendengar jawaban pemuda itu, sambil tersenyum orang tua itu pun hanya menganggukan kepala. Betapa terkejutnya si pemuda ketika sesaat kemudian pengemis itu berubah menjadi sebuah cahaya yang menyilaukan mata.

“Wahai pemuda, aku adalah suruhan-Nya. Apa yang kau minta dengan ijin-Nya akan aku kabulkan.” kata cahaya tersebut.

Dengan terbata-bata, si pemuda mengatakan segala keinginannya. Dan cahaya itu pun menghilang sesaat si pemuda selesai berkata-kata.

***
12934607781535673473

Beberapa waktu kemudian, si pemuda kembali didatangi oleh sosok cahaya yang sama.

“Wahai pemuda kenapa kebimbangan dan ketidakpuasan masih menggelayut di benak dan wajahmu?”

“Bagaimana tidak bimbang ketika mengharapkan karunia namun dusta yang kudapat.” balas si pemuda dengan sinis.

“Apa maksudmu? Bukankah setiap permintaanmu sudah dikabulkan? Jangan sombong kau cucu adam-hawa!”

“Dikabulkan? tak salahkah kau? Setiap hal yang kuminta tak pernah kudapat! Apakah kata dikabulkan sudah berubah makna?” jawab si pemuda dengan penuh emosi.

“Tidak ada yang berubah pemuda. Kami berikan segala kesulitan dalam batas kemampuanmu agar kau bisa menjadi lebih kuat. Karena jika tiada hambatan dalam hidupmu maka justru hal itu akan membuatmu pincang dan lemah. Maka dari itu tidak kami berikan ikan melainkan pancing dan pengetahuannya. Agar kau mau berusaha.”

Mendengar kata-kata tersebut, si pemuda pun tersadar. Bahwa selama ini dia telah menjadi mahluk yang manja dan tidak tahu berterimakasih. Dia tidak sadar bahwa dia telah mendapat semua hal yang dibutuhkannya.
Kisah Wanita Yang Selalu Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur’an



Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala :

Saya berangkat menunaikan Haji ke Baitullah Al-Haram, lalu berziarah ke makam Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. Ketika saya berada di suatu sudut jalan, tiba-tiba saya melihat sesosok tubuh berpakaian yang dibuat dari bulu. Ia adalah seorang ibu yang sudah tua. Saya berhenti sejenak seraya mengucapkan salam untuknya. Terjadilah dialog dengannya beberapa saat.Dalam dialog tersebut wanita tua itu , setiap kali menjawab pertanyaan Abdulah bin Mubarak, dijawab dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Walaupun jawabannya tidak tepat sekali, akan tetapi cukup memuaskan, karena tidak terlepas dari konteks pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Abdullah : “Assalamu’alaikum warahma wabarakaatuh.”

Wanita tua : “Salaamun qoulan min robbi rohiim.” (QS. Yaasin : 58) (artinya : “Salam sebagai ucapan dari Tuhan Maha Kasih”)

Abdullah : “Semoga Allah merahmati anda, mengapa anda berada di tempat ini?”

Wanita tua : “Wa man yudhlilillahu fa la hadiyalahu.” (QS : Al-A’raf : 186 ) (”Barang siapa disesatkan Allah, maka tiada petunjuk baginya”)

Dengan jawaban ini, maka tahulah saya, bahwa ia tersesat jalan.Abdullah : “Kemana anda hendak pergi?”

Wanita tua : “Subhanalladzi asra bi ‘abdihi lailan minal masjidil haraami ilal masjidil aqsa.” (QS. Al-Isra’ : 1) (”Maha suci Allah yang telah menjalankan hambanya di waktu malam dari masjid haram ke masjid aqsa”)

Dengan jawaban ini saya jadi mengerti bahwa ia sedang mengerjakan haji dan hendak menuju ke masjidil Aqsa.

Abdullah : “Sudah berapa lama anda berada di sini?”

Wanita tua : “Tsalatsa layaalin sawiyya” (QS. Maryam : 10) (”Selama tiga malam dalam keadaan sehat”)

Abdullah : “Apa yang anda makan selama dalam perjalanan?”

Wanita tua : “Huwa yut’imuni wa yasqiin.” (QS. As-syu’ara’ : 79) (”Dialah pemberi aku makan dan minum”)

Abdullah : “Dengan apa anda melakukan wudhu?”

Wanita tua : “Fa in lam tajidu maa-an fatayammamu sha’idan thoyyiban” (QS. Al-Maidah : 6) (”Bila tidak ada air bertayamum dengan tanah yang bersih”)

Abdulah : “Saya mempunyai sedikit makanan, apakah anda mau menikmatinya?”

Wanita tua : “Tsumma atimmus shiyaama ilallaiil.” (QS. Al-Baqarah : 187) (”Kemudian sempurnakanlah puasamu sampai malam”)

Abdullah : “Sekarang bukan bulan Ramadhan, mengapa anda berpuasa?”

Wanita tua : “Wa man tathawwa’a khairon fa innallaaha syaakirun ‘aliim.” (QS. Al-Baqarah : 158) (”Barang siapa melakukan sunnah lebih baik”)

Abdullah : “Bukankah diperbolehkan berbuka ketika musafir?”

Wanita tua : “Wa an tashuumuu khoirun lakum in kuntum ta’lamuun.” (QS. Al-Baqarah : 184) (”Dan jika kamu puasa itu lebih utama, jika kamu mengetahui”)

Abdullah : “Mengapa anda tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan saya?”

Wanita tua : “Maa yalfidhu min qoulin illa ladaihi roqiibun ‘atiid.” (QS. Qaf : 18) (”Tiada satu ucapan yang diucapkan, kecuali padanya ada Raqib Atid”)

Abdullah : “Anda termasuk jenis manusia yang manakah, hingga bersikap seperti itu?”

Wanita tua : “Wa la taqfu ma laisa bihi ilmun. Inna sam’a wal bashoro wal fuaada, kullu ulaaika kaana ‘anhu mas’ula.” (QS. Al-Isra’ : 36) (”Jangan kamu ikuti apa yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan dipertanggung jawabkan”)

Abdullah : “Saya telah berbuat salah, maafkan saya.”

Wanita tua : “Laa tastriiba ‘alaikumul yauum, yaghfirullahu lakum.” (QS.Yusuf : 92) (”Pada hari ini tidak ada cercaan untuk kamu, Allah telah mengampuni kamu”)

Abdullah : “Bolehkah saya mengangkatmu untuk naik ke atas untaku ini untuk melanjutkan perjalanan, karena anda akan menjumpai kafilah yang di depan.”

Wanita tua : “Wa maa taf’alu min khoirin ya’lamhullah.” (QS Al-Baqoroh : 197) (”Barang siapa mengerjakan suatu kebaikan, Allah mengetahuinya”)

Lalu wanita tua ini berpaling dari untaku, sambil berkata :

Wanita tua : “Qul lil mu’miniina yaghdudhu min abshoorihim.” (QS. An-Nur : 30) (”Katakanlah pada orang-orang mukminin tundukkan pandangan mereka”)

Maka saya pun memejamkan pandangan saya, sambil mempersilahkan ia mengendarai untaku. Tetapi tiba-tiba terdengar sobekan pakaiannya, karena unta itu terlalu tinggi baginya. Wanita itu berucap lagi.

Wanita tua : “Wa maa ashobakum min mushibatin fa bimaa kasabat aidiikum.” (QS. Asy-Syura’ 30) (”Apa saja yang menimpa kamu disebabkan perbuatanmu sendiri”)

Abdullah : “Sabarlah sebentar, saya akan mengikatnya terlebih dahulu.”

Wanita tua : “Fa fahhamnaaha sulaiman.” (QS. Anbiya’ 79) (”Maka kami telah memberi pemahaman pada nabi Sulaiman”)

Selesai mengikat unta itu sayapun mempersilahkan wanita tua itu naik.

Abdullah : “Silahkan naik sekarang.”

Wanita tua : “Subhaanalladzi sakhkhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqriniin, wa inna ila robbinaa munqolibuun.” (QS. Az-Zukhruf : 13-14) (”Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini pada kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Sesungguhnya kami akan kembali pada tuhan kami”)

Sayapun segera memegang tali unta itu dan melarikannya dengan sangat kencang. Wanita tua itu berkata lagi.

Wanita tua : “Waqshid fi masyika waghdud min shoutik” (QS. Lukman : 19) (”Sederhanakan jalanmu dan lunakkanlah suaramu”)

Lalu jalannya unta itu saya perlambat, sambil mendendangkan beberapa syair, Wanita tua itu berucap.

Wanita tua : “Faqraa-u maa tayassara minal qur’aan” (QS. Al- Muzammil : 20) (”Bacalah apa-apa yang mudah dari Al-Qur’an”)

Abdullah : “Sungguh anda telah diberi kebaikan yang banyak.”

Wanita tua : “Wa maa yadzdzakkaru illa uulul albaab.” (QS Al-Baqoroh : 269) (”Dan tidaklah mengingat Allah itu kecuali orang yang berilmu”)

Dalam perjalanan itu saya bertanya kepadanya.

Abdullah : “Apakah anda mempunyai suami?”

Wanita tua : “Laa tas-alu ‘an asy ya-a in tubda lakum tasu’kum” (QS. Al-Maidah : 101) (”Jangan kamu menanyakan sesuatu, jika itu akan menyusahkanmu”)

Ketika berjumpa dengan kafilah di depan kami, saya bertanya kepadanya.

Abdullah : “Adakah orang anda berada dalam kafilah itu?”

Wanita tua : “Al-maalu wal banuuna zinatul hayatid dunya.” (QS. Al-Kahfi : 46) (”Adapun harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”)

Baru saya mengerti bahwa ia juga mempunyai anak.

Abdullah : “Bagaimana keadaan mereka dalam perjalanan ini?”

Wanita tua : “Wa alaamatin wabin najmi hum yahtaduun” (QS. An-Nahl : 16) (”Dengan tanda bintang-bintang mereka mengetahui petunjuk”)

Dari jawaban ini dapat saya fahami bahwa mereka datang mengerjakan ibadah haji mengikuti beberapa petunjuk. Kemudian bersama wanita tua ini saya menuju perkemahan.

Abdullah : “Adakah orang yang akan kenal atau keluarga dalam kemah ini?”

Wanita tua : “Wattakhodzallahu ibrohima khalilan” (QS. An-Nisa’ : 125) (”Kami jadikan ibrahim itu sebagai yang dikasihi”) “Wakallamahu musa takliima” (QS. An-Nisa’ : 146) (”Dan Allah berkata-kata kepada Musa”) “Ya yahya khudil kitaaba biquwwah” (QS. Maryam : 12) (”Wahai Yahya pelajarilah alkitab itu sungguh-sungguh”)

Lalu saya memanggil nama-nama, ya Ibrahim, ya Musa, ya Yahya, maka keluarlah anak-anak muda yang bernama tersebut. Wajah mereka tampan dan ceria, seperti bulan yang baru muncul. Setelah tiga anak ini datang dan duduk dengan tenang maka berkatalah wanita itu.

Wanita tua : “Fab’atsu ahadaku bi warikikum hadzihi ilal madiinati falyandzur ayyuha azkaa tho’aaman fal ya’tikum bi rizkin minhu.” (QS. Al-Kahfi : 19) (”Maka suruhlah salah seorang dari kamu pergi ke kota dengan membawa uang perak ini, dan carilah makanan yang lebih baik agar ia membawa makanan itu untukmu”)

Maka salah seorang dari tiga anak ini pergi untuk membeli makanan, lalu menghidangkan di hadapanku, lalu perempuan tua itu berkata :

Wanita tua : “Kuluu wasyrobuu hanii’an bima aslaftum fil ayyamil kholiyah” (QS. Al-Haqqah : 24) (”Makan dan minumlah kamu dengan sedap, sebab amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang telah lalu”)

Abdullah : “Makanlah kalian semuanya makanan ini. Aku belum akan memakannya sebelum kalian mengatakan padaku siapakah perempuan ini sebenarnya.”

Ketiga anak muda ini secara serempak berkata :

“Beliau adalah orang tua kami. Selama empat puluh tahun beliau hanya berbicara mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hanya karena khawatir salah bicara.”

Maha suci zat yang maha kuasa terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Akhirnya saya pun berucap :

“Fadhluhu yu’tihi man yasyaa’ Wallaahu dzul fadhlil adhiim.” (QS. Al-Hadid : 21) (”Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya, Allah adalah pemberi karunia yang besar”)
CINTAI AKU APA ADANYA



Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Dua tahun dalam masa pernikahan,saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan”. Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat ku lakukan untuk merubah pikiranmu?”.

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, “Aku punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati ku, aku akan merubah pikiran ku: Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.

Apakah kamu akan melakukannya untuk ku?” Dia termenung dan akhirnya berkata, “aku akan memberikan jawabannya besok.”. Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan …

“Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

” Sayang ketika kamu mengetik di komputer lalu program-program di PC-nya kacau dan akhirnya kau menangis di depan monitor, aku harus memberikan jari-jari ku supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya dan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

Sayang, kamu juga selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki ku supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.

Sayang, kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata ku untuk menunjukkan jalan kepadamu.

Sayang, kamu selalu sakit dan pegal-pegal pada waktu “teman baikmu” datang setiap bulannya, dan saku harus memberikan tangan ku untuk memijat kakimu yang pegal.

Cinta, ketika kamu sedang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi “aneh”. Maka aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.

Cinta, kamu terlalu sering menatap layar kaca TV dan Komutermu serta membaca buku sambil tiduran dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, maka aku harus menjaga mata ku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

“Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku. Sayangku, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

“Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban ku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagia ku bila kau bahagia.”

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

Aku peluk dia penuh kebahagiaan, oh, kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai aku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, padahal tanpa kita sadari Cinta itu telah terwujud dalam bentuk yang lain walau tidak sesuai dengan wujud yang kita harapkan

Seringkali kali kita menuntut Cinta kepada pasangan kita, namun jarang terfikir oleh kita sejauhmana Cinta yang telah kita berikan padanya. Berikan Cinta Kasih yang tulus kepadanya, kalaupun dia belum membalasnya yakinlah Allah pasti akan membalas dan membisikkan CintaNYA kepadanya untuk diberikan kepada kita.

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)
Jadilah Seteguh Pohon


Saat itu di tengah perjalanan pulang menuju perkampungan, seorang ayah dengan anak lelakinya yang berumur 7 tahun berjalan menelusuri jalan setapak ke arah kampung tempat mereka tinggal. Matahari kian memerah dan kumandang adzan magrib akan segera bergema di angkasa raya. Siring dengan berjalannya waktu dan langkah perhatian sang ayah tak lepas dari tingkah laku anak lelaki kesayangannya itu, kasih sayang antara mereka berdua menambah hangatnya petang yang tentram ini. Tak lama kemudian sang ayah berkata

“nak, kamu lihat pohon itu” kata ayah sambil menunjukan telunjuknya ke arah sebuah pohon.

“Hm lihat yah” itu kan pohon karet yang di tanam pak Somat satu tahun yang lalu bukan?” jawab sang anak dengan yakin.

“Wah pintar anak ayah, kalau pohon yang ada di pinggir jurang itu adik lihat?” tanya sang ayah kembali.

“Iya yah… pohonnya miring tapi tetap lurus keatas, pohon yang aneh ha..ha..ha…” sang anak tertawa riang dan disambut senyum sang ayah yang bersahaja.

“ayah… memangnya ada apa dengan pohon-pohon tadi? Tidak ada yang aneh atau pun luar biasa, mereka itu hanya sebatang pohon yang sering kita ambil kayunya untuk memasak. Apalagi kalau ibu yang nyuruh adik, ya….dahan-dahan pohon inilah yang adik ambil sebagai kayu bakar”.

Ayah terdiam sebentar dan mengangkat anaknya ke atas pungung… tak lama kemudian sang ayah tersenyum dan berkata.

“anak ayah yang ayah sayangi.. coba adik perhatikan semua pohon yang ada disekitar kita. Semuanya tumbuh menuju ke atas bukan? Bagaimana pun tinggi rendahnya tanah tempat pohon-pohon itu berdiri ia selalu tumbuh lurus ke atas. Meskipun di pinggir jurang yang miring dan terjal pohon-pohon itu akan tetap tumbuh lurus ke atas. Nah….kita sebagai manusia patut mengambil hikmah atas hal ini dik, keteguhan, … itu dia dik, keteguhan, kita harus lebih teguh dari pada teguhnya pohon yang terus tumbuh kearah atas. Suatu saat kalau adik sudah besar nanti akan banyak sekali masalah-masalah yang harus adik hadapi dan masalah itu akan menguncang hati adik untuk berbuat yag tidak benar,saat itulah keteguhan adik diuji. Adik harus kuat ya… walaupun ayah nanti pergi berjumpa Allah adik harus jaga keteguhan adik ya. Dan jaga ibu. Jaga hati adik tetap bersih”

“Hmmm adik mau jadi seperti ayah…. huammh” jawab adik sambil menguap dan sedikit tertidur.

“iya anakku, tidurlah… tidurlah dipunggung ayah sebentar lagi kita tiba di rumah dan ayah berharap adik nanti meneladani rasul yang ayah teladani”. Ucap sang ayah lembut sambil memasuki gerbang desa mereka.
Kisah Orang Buta dan Orang Lumpuh


Syahdan, disebuah negeri hiduplah dua manusia cacat, yang satu picak alias buta dan satunya lagi lumpuh. Sipicak memiliki banyak problema untuk memenuhi hasrat hidupnya, terutama ketika hendak pergi ke mana-mana. Memang ia memegang tongkat sebagai alat bantunya untuk beraktivitas. Namun, tongkat tetap tidak bermata, sehingga si buta masih sering terjerambab akibat terantuk bebatuan dihadapannya. Dus, babak bundas alias lecet-lecet di sekujur badan merupakan peristiwa sangat biasa bagi si buta. Bahkan terakhir kali ia terjungkir ke kali akibat kurang hati-hati. Untung saja, ada orang melihatnya, sehingga dapat bersegera menolong dirinya. Peristiwa itu membuat si picak trauma setengah mati, akibat dirinya nyaris mati di kali.

Alhasil, si picak itu akhirnya senantiasa dibayangi rasa gamang dan ngeri setiap kali hendak pergi ke tempat yang ia kehendaki . Ia merasa seolah diri sebagai orang termalang di dunia ini. “Duh gusti…, alangkah sengsara menjadi orang buta. Andai aku punya mata, mungkin hidup ini bahagia karena bisa pergi ke mana-mana dengan leluasa,” begitu pikirnya.

Lain halnya dengan si lumpuh. Karena kaki tak berfungsi, ia tak mampu beranjak ke maa-mana, kecuali hanya duduk thingak-thinguk (menoleh ke kanan ke kiri), melihat lalu lalang orang dihadapannya. Dengan bantuan tangan terkadang ia ngingsut alias ngesot (bergeser dari tempatnya), namun jarak tempuhnya tak lebih dari beberapa meter saja. Sebab nafas si lumpuh segera ngos-ngosan kecapean dan tangannya pegal tak ketulungan.

Alhasil, kendati si limpuh memiliki mata, tapi dunianya hanya sebatas di kiri kanannya. Setiap kali menatap wira-wiri, lalu-lalangnya manusia di sekitarnya ia selalu menggerutu di hati, merasa seakan menjadi pribadi termalang di muka bumi. “Duhai Ilahi….,malang nian nasib diri si lumpuh ini. Andai aku bisa jalan, niscaya aku mampu pergi ke mana yang aku inginkan,”demikian rintih hatinya.

Suatu hari, si picak menyelusuri jalan untuk membeli makan. Tak beberapa lama berjalan, si picak terantuk batu jalanan, Ahh.., si picak jatuh, terguling, lalu tubuhnya babak bundas luka-luka lagi. Si lumpuh yang duduk tak jauh dari tempat terjadinya peristiwa itu segera ngosot mendekati si picak, menolongya dengan tangan, mengusap, membersihkan bagian tubuh si buta yang kotor kena debu.
“Terima kasih sobat, sampeyan baik budi,” kata si buta, “Inilah nasib manusia tak bermata
“Jangan sedih sobat. Meski buta, sampeyan tetap lebih beruntung dibanding saya,” kata si lumpuh.
“Lho, kok bisa begitu?” impal si picak dalam nada tanya.
“Lha iya. Saya bisa memandang, tapi tak bisa jalan seperti sampeyan,”jawab si lumpuh. “Sampeyan masih bisa jalan ke mana-mana, sedangkan saya seumur-umur hanya mbregegek diam di sana-sini saja,” lanjut si lumpuh.

“Saya memang bisa ke mana-mana, tapi semua tetap tak ada beda. Antara siang dan malam, antara gelap dan terang, antara putih dan hitam, saya tak mampu membedakan. Di mana pun dan kapan pun tak ada beda bagi saya. Waktu dan tem,pat tak membedakan kehidupan saya,” timpal si picak.
“Tapi menurutkku, sampeyan tetap lebih beruntung daibanding aku,” tukas si lumpuh.
“Lho, kok bisa?” bertanya si buta lagi.
“Lha iya. Sampeyan buta, tak bisa melihat apa-apa, oleh karenanya tak pernah disiksa oleh rasa penasaran ingin melihat segala sesuatu yang berbeda, ditempat berbeda, dan di waktu berbeda,” si lumpu menjelaska.”Sementara saya, mata bisa melihat pagi dan petang, membedakan aneka warna dan keindahan, yamg semua itu member dorongan pada naluri saya untuk melihat segala yang baru. Hajat itu tak terpenuhi, karena saya tak bisa berjalan ke sana ke mari. Hati ini sering dongkol, marah tak terperi. Oleh karena itu, sampeyan yang buta tetap lebih beruntung disbanding saya.” Kata si lumpuh nerocos memberi dalil argumentasi.

“Tapi dengan punya mata sampeyan tak pernah babak bundas seperti saya, dalih si buta tak mau kalah.
Keduanya lantas diam. Mereka merenung, bertepekur, dengan segenap beban pikiran yang berkecamuk di benak. Banyak hal mengganjal dan membuncah di dalam dada, namun tak semua bisa mereka ekspresikan dalam kata-kata, kecuali hanya dengan lelehan air mata. Sesekali, nafas mereka tampak begitu berat memperlihatkan betapa kegundahan menjejali pikiran mereka. Mata si lumpuh menerawang ke depan. Sedangkan si buta thingak-thinguk berusaha mempertajam daya dengarnya, untuk dapat menangkap segala peristiwa di sekelilingnya. Suasana menjadi hening, sunyi, diam, beku.
“Beginilah hidup,” kata si picak memecah keheningan, “wang-sinawang.”
“Apa?” Tanya si lumpuh menimpali sebagai tanda tak memahami.
“Kita sering memandang orang lain lebih beruntung, lebih enak dibanding diri kita,” jelas si picak.
“yaaaah…., sampeyan betul, timpal si lumpuh.
“Padahal setiap orang memiliki problema sendiri-sendiri,” lanjut si picak.
“Sampeyan betul lagi,” timpal si lumpuh.
“Padahal setiap orang pasti punya kekurangan, sekaligus punya kelebihan,” sambung si picak.
“Itu juga betul,” sambut si lumpuh.

Kembali keduanya diam membisu, suasana menjadi hening beku. Tiba-tiba, “Nah…., kenapa tak kerjasama untuk menyiasati kesulitan kita?” si picak da si lumpuh bicara dengan kata-kata sama dan dalam waktu yang nyaris sama. Ternyata kebisuan telah memunculkan ide yang sama di antara keduanya.
“Saling tolong memanfaatkan kelebihan yang ada untuk memperbaiki kualitas hidup kita,” kata si lumpuh.
,“Saling bantu meminimalisir kendala hidup akibat kekurangan alias cacatnya tubuh kita.,” sambung si picak meleengkapi.
“Saya akur dengan pikiran sampeyan,” sambut si lumpuh dengan senyum.
“Saya pun setuju dengan pikiran sampeyan,” timpal si picak.
“Caranya…?” mereka saling Tanya, nyaris serrempak pula.
“Sampeyan buta, tapi bisa jalan,” kata si lumpuh.
“Sampeyan lumpuh, tapi bisa melihat,” kata si buta.
“Jadi…,, penglihatan saya bisa dimanfaatkan sebagai penuntun sampeyan, sebaliknya kaki sampeyanbermanfaat bagi saya yang lumpuh tak bisa jalan,” kata si lumpuh.

Setelah keduanya sepakat bulat, si buta segera menggendong si lumpuh, lantas mulai melangkahkan kaki.. Sedangka si lumpuh yang nangkrig di gendongan si buta, memberi aba-aba “Kanan-kiri.” Dengan cara itu si lumpuh dapat pergi ke mana-mana di atas gendongan si buta, sedagkan si buta tinggal melangkah dengan keyakinan diri di bawah panduan “Kanan-kiri” si lumpuh tadi. Si buta dan si lumpuh akhirya dapat pergi ke mana-mana lewat kerjasama ini.
************
Di dunia ini tak ada manusia sempurna, dan setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan. Adalah tidak bijak memandang kekurangan kekurangan pada diri sebagai sebuah bencana, apalagi menganggap diri sebagai orang termalang di dunia. Setiap kekurangan pasti dapat diatasi dengan kelebihan yang kita mililki, apalagi bila kerjasama dengan orang lain, memadukan kelebihan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraaan bersama.

Sumber :D hurorudin Mashad (Catatan Linda Yandriani)
Cerita Dua Butir Telur


Dua butir telur sedang berdiskusi mau jadi apa mereka kelak.

Telur pertama berkata, “Aku ingin menjadi tiram… yang hanya diam saja dalam air dan makanan akan datang dengan sendirinya seiring dengan arus laut.”

Telur kedua tidak sependapat, “Aku ingin menjadi seekor elang yang bebas kemana pun dia ingin pergi dan bebas mengambil keputusan serta menentukan jalan hidupnya sendiri.”

Impian mereka pun menjadi menjadi kenyataan, telur pertama menjadi seekor tiram, telur kedua menjadi seekor elang. Namun, alam tidak berkata demikian. Arus laut yang terjadi tidak membawakan mereka makanan. Akhir cerita tiram itu mati karena kelaparan sedang elang itu tetap bisa hidup. Tiram tidak mau bersusah payah mengambil keputusan dan inisiatif, juga tidak mau bertanggung jawab terhadap siapa pun akhirnya mati terbawa arus lautan itu sendiri. Sedangkan seekor elang tidak harus mengikuti arus angin, tapi bisa mengatur dan kadang kala melawan arus angin ketika mencari makan.

Sahabat,
Hidup memang penuh pilihan. Dari cerita dua butir telur tadi…kita bisa memilih, ingin menjadi tiram yang cuma pasrah dan merasa puas dengan keadaan sekarang…atau seekor elang yang bebas menentukan hidupnya dan pergi kemana saja dia suka.

Kalau ingin seperti elang, kenapa tetap bermimpi menjadi tiram? Seorang pemenang akan berkata “Memang tidak mudah…tapi BISA!!!” Tapi seorang pecundang akan berkata “Memang bisa… tapi tidak mudah.”
Berikan Yang Terbaik Untuk Diri Kita



Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan perumahan. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya. Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan.

Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta oleh tuannya. Hasilnya bukanlah sebuah rumah yang baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan. Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu.

“Ini adalah rumahmu” katanya, “hadiah dari kami.” Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.
Cerita Besi dan Air



Ada dua benda yang bersahabat yaitu Besi dan Air. Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombongkan diri kepada sahabatnya : “Lihat ini aku, kuat dan keras. Aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak” Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya.

Suatu hari Besi menantang Air berlomba untuk menembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana.

Aturannya : “Barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang” Besi dan Air pun mulai berlomba.

Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya, Ia menabrakkan dirinya ke batu-batuan itu.Tetapi karena kekerasannya batu-batuan itu mulai runtuh menyerangnya dan besipun banyak terluka di sana sini karena melawan batu-batuan itu.

Air melakukan tugasnya ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu, ia lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya tidak terganggu dan tidak menyadarinya, ia hanya melubangi seperlunya saja untuk lewat tetapi tidak merusak lainnya.
Score Air dan Besi 1 : 0 untuk rintangan ini.

Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua. Besi merasakan kekuatannya, ia mengubah dirinya menjadi mata bor yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu ternyata cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia berputar memang celah itu semakin hancur tetapi iapun juga semakin terluka.

Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu dan tiba dengan cepat didasar gua. Score Air dan Besi menjadi 2 : 0.

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan tiba di luar gua besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia berkata kepada air : “Score kita 2 : 0, aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini !”

Airpun segera menggenang sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi rintangan ini,tetapi kemudian ia membiarkan sang matahari membantunya untuk menguap. Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian ia meminta bantuan angin untuk meniupnya kesebarang dan mengembunkannya. Maka air turun sebagai hujan. Air menang telak atas besi dengan score 3 : 0.

Jadikanlah hidupmu seperti air. Ia dapat memperoleh sesuatu dengan kelembutannya tanpa merusak dan mengacaukan semuanya, karena dengan sedikit demi sedikit ia bergerak tetapi ia dapat menembus bebatuan yang keras. Hati seseorang hanya dapat dibuka dengan kelembutan dan kasih bukan dengan paksaan dan kekerasan. Kekerasan hanya menimbulkan dendam dan paksaan hanya menimbulkan keinginan untuk membela diri.

Air selalu merubah bentuknya sesuai dengan lingkungannya, ia flexibel dan tidak kaku karena itu ia dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak ada yang bertentangan dengan dia. Air tidak putus asa, Ia tetap mengalir meskipun melalui celah terkecil sekalipun. Ia tidak putus asa. Dan sekalipun air mengalami suatu kemustahilan untuk mengatasi masalahnya, padanya masih dikaruniakan kemampuan untuk merubah diri menjadi uap.

Sumber : IndoForum.org
Sebuah Koin Penyok
Posted on 01/18/2011 by tadzkirah

i

Rate This

Quantcast


Alkisah, seorang lelaki keluar dari pekarangan rumahnya, berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Sudah cukup lama ia menganggur. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Sementara para tetangganya sibuk memenuhi rumah dengan barang-barang mewah, ia masih bergelut memikirkan cara memenuhi kebutuhan pokok keluarganya sandang dan pangan.

Anak-anaknya sudah lama tak dibelikan pakaian, istrinya sering marah-marah karena tak dapat membeli barang-barang rumah tangga yang layak. Laki-laki itu sudah tak tahan dengan kondisi ini, dan ia tidak yakin bahwa perjalanannya kali inipun akan membawa keberuntungan, yakni mendapatkan pekerjaan.

Ketika laki-laki itu tengah menyusuri jalanan sepi, tiba-tiba kakinya
terantuk sesuatu. Karena merasa penasaran ia membungkuk dan mengambilnya.

“Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok-penyok,” gerutunya kecewa. Meskipun begitu ia membawa koin itu ke sebuah bank.

“Sebaiknya koin in Bapak bawa saja ke kolektor uang kuno,” kata teller itu memberi saran. Lelaki itu pun mengikuti anjuran si Teller, membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, si Kolektor menghargai koin itu senilai 30 dollar.

Begitu senangnya, lelaki tersebut mulai memikirkan apa yang akan dia lakukan dengan rejeki nomplok ini. Ketika melewati sebuah toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu sedang diobral. Dia bisa membuatkan beberapa rak untuk istrinya karena istrinya pernah berkata mereka tak punya tempat untuk menyimpan jambangan dan stoples. Sesudah membeli kayu seharga 30 dollar, dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel seorang pembuat mebel. Mata
pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu yang dipanggul lelaki itu.
Kayunya indah, warnanya bagus, dan mutunya terkenal. Kebetulan pada waktu itu ada pesanan mebel. Dia menawarkan uang sejumlah 100 dollar kepada lelaki itu. Terlihat ragu-ragu di mata laki-laki itu, namun pengrajin itu meyakinkannya dan dapat menawarkannya mebel yang sudah jadi agar dipilih lelaki itu. Kebetulan di sana ada lemari yang pasti disukai istrinya. Dia menukar kayu tersebut dan meminjam sebuah gerobak untuk membawa lemari itu. Dia pun segera membawanya pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati perumahan baru. Seorang wanita yang sedang mendekorasi rumah barunya melongok keluar jendela dan melihat lelaki itu mendorong gerobak berisi lemari yang indah. Si wanita terpikat dan menawar dengan harga 200 dollar. Ketika lelaki itu nampak ragu-ragu, si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Kemudian mengembalikan gerobak ke pengrajin dan beranjak pulang.

Di pintu desa dia berhenti sejenak dan ingin memastikan uang yang ia terima. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Pada saat itu seorang perampok keluar dari semak-semak, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istri si lelaki kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya seraya berkata, “Apa yang terjadi? Engkau baik saja kan? Apa yang diambil oleh perampok tadi?”

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, “Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi”.

Bila Kita sadar kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

adaptasi dari The Healing Stories karya GW Burns.ime