Kamis, 30 Desember 2010

POLITIK PENCITRAAN



Banyak ngomong dianggap jenius

Ragu2 dianggap hati2

Bimbang dianggap bijaksana

Belagak dianggap kaya

Kaya dianggap hebat

Diam dianggap bodoh

Jujur dianggap tolol

Setia dianggap lemah

Sedih dianggap melo

Nangis dianggap empati

Selingkuh dianggap ngetren

Sederhana dianggap goblok

Nipu dianggap pinter



2010
MENIKMATI KOPI BERSAMA PEREMPUAN KURNIAWAN JUNAEDHIE

Catatan: Dimas Arika Mihardja



APAKAH ada yang menarik dari secangkir kopi dan perempuan? Seorang penyair pilihan kita, Kurniawan Junaedhie (KJ) menerbitkan buku "Perempuan dalam Secangkir Kopi" (Kosakatakita, 2010) memuat 45 puisi yang ditulis kurun 2009 dan dilengkapi endorsmen dari Seno Gumira Ajidarma, Heru Emka,dan Ags. Arya Dwipayana. Hal yang menarik, "dua dunia", yakni dunia kopi dan dunia perempuan terpadu dalam sajian puisi-puisi liris-imajis yang menunjukkan kekuatan seorang KJ sebagai penyair yang telah memiliki tempat, sebab telah menemukan bahasa dan gaya ungkapnya sendiri. Meski, samar-samar dapat dilacak jejak gaya Sapardi Djoko Damono dalam hal permainan diksi dan imaji di dalam puisi-puisinya.



Setiap penyair dalam proses kreatif penciptaan puisi melakukan upaya merekonstruksi pengalaman ke dalam teks yang puitis, imajis, naratif, ekspresif, dan prismatis. Piranti kebahasaan oleh KJ dimaksimalkan untuk mengungkap sensasi puitis kedalam puisi-puisi imaajis--menawarkan aneka imaji yang menumpukan daya kreasinya pada aneka daya bayang yang meruangkan aneka bayang di ruang imaji para pembacanya. Dalam puisi yang paling diandalkan oleh KJ dan dijadikan judul buku, aneka imaji (imaji visual, imaji auditif, imaji rabaan, imaji cecapan, dan lain-lain imaji) dapat sampai ke ruang psikologis pembaca. Kita cicipi dan kita nikmati kopi bersama perempuan di dalam kutipan lengkap berikut ini.



Perempuan dalam Secangkir Kopi

-Saat ngopi bersama Kurnia Effendi & Tina ketika ultah Endah Sulwesi di Jl. Sabang





Perempuan itu hilang dari rumahnya. Meninggalkan dua anaknya

yang sedang melukis pemandangan: gunung dan matahari. Ia

terbang dan masuk ke dalam sebuah cangkir di kafe di meja dekat

seorang pria yang sejak tadi asyik bermain laptopnya. Adakah yang

lebih berarti daripada hidup di dalam cairan? Ia berenangan di

dalamnya, dan karena iseng ia lalu menyumbulkan kepala dan

memainkan matanya ke arah pria di sampingnya. Si pria terpana. Ia

ikut mengerlingkan mata.Sangat sexy,menurut mata pria itu. Ada

perempuan dalam cangkir, gumamnya. Tanpa disadari tangannya

memain-mainkan sendoknya. Perempuan itu lalu menyelam lebih

dalam ke lubuk kopi.



Jakarta, 2009



Apa yang segera ditangkap oleh pembaca usai menyimak puisi ini? Pembaca disuguhi sensasi imaji yang mengalir dan mencair di dalam rancangbangu cerita. Hal ini dapat dimengerti dan dipagami sebab KJ juga dikenal sebagai penulis prosa, penulis berita, dan penulis aneka kreasi. Potensi naratif-imajinatif yang dieksplorasi pada puisi ini tentu saja memanjakan ruang imajinasi pembaca sembari asyik menyusuri jalan cerita. Puisi yang tergolong naratif-imajis ini dapat dirunut pada puisi-puisi yang digubah oleh Sapardi Djoko Damono pada sebagaian besar puisi-puisinya. Saya tak hendak mengatakan KJ mengikuti gaya SDD. Hal yang ingin saya katakan ialah bahwa KJ telah memilih cara dan gaya ungkap pilihannya sendiri. KJ tak perlu dibandingkan dengan puisi-puisi karya SDD, meski perbandingan karya dalam konteks hipogramdan interteks terkadang diperlukan juga untuk bisa memahami karya dengan lebih baik.



Pada puisi yang dikutip itu tampak jelas bagaimana KJ mengolah diksi dan imaji untuk melukiskan secara lebih hidup "kisah" perempuan dalam secangkir kopi. Secangkir kopi, bagi orang yang biasa mereguk kopi, telah memungkinkan tumbuh berkembang aneka bayang yang mengasyikkan. Pada sisi lain, sosok "perempuan" bagi kebanyakan penyair selalu saja merangsang imajinasi yang luar biasa. KJ seperti penyair besar lainnya, misalnya Chairil Anwar yang "jatuh hati" pada Ida, Sutardji Calzoum Bachri yang terpukau pada sosok Alina, dan penyair lain mungkin menghadirkan Sephia, Yessika, Selia, Laila dan seterusnya.



Kopi dan sosok perempuan, keduanya memang inspiring--menumbuhkan inspirasi yang tak pernah ada habisnya untuk dieksplorasi. Haal yang dahsyat, sebuah puisi yang didedikasikan buat SA (mungkin Susy Ayu) dengan judul Perempuan dalam Secangkir Kopi (2) dapat kita nikmati berikut ini.



Perempuan dalam Secangkir Kopi (2)

SA



Aku ingin sekali bisa mengapung sembari berenangan di dalam

kopimu. Kubayangkan, betapa nikmatnya hidup dipermainkan air

yang gelap dan pahit sambil digncang-guncang oleh sendokmu.

Aku akan menukik,menyelam dan menggapai tanganmu lalu

sesekali, sambilm berkecipakan di dalam air yang hangat itu aku akan

mencium bibirmu di pinggir cangkir. Tak ada yang bisa cemburu.

Juga air ludah dan lendir di mulutmu.



Aku suka caramu memasukkan gula pasir ke cangkir dan

menyedunya dengan air. Aku suka caramu membaui kehangatan air

kopi dan caramu mencecap dengan lidahmu. Kamu paling akan

bertanya, sejak kapan kamu suka berenang? Aku akan menjawab,

sejak kamu menjerng air, dan menuangkannya ke dalam

termos. Di tengah hidup yang pahit, aku senang menyelam ke

dalam kopi bersama seorang perempuan yang hangat. Tak ada yang

bisa cemburu.Juga sendok dan piring kecil dekat cangkirmu.





Olala, Bintaro. Okt. 2009



KJ dalam buku ini secara tematis memang menyajikan sosok perempuan. Perempuan di dalam puisi KJ bisa menjelma sebagai istri, si dia, pacar, MM, Medy Loekito, Rita Oentoro, Anny Djati W, Ariana Pegg, Yo Sugianto, Monalisa, Ahtia, Si Dia Si Penggoda, Dara, Ibu, Ibunda, Pradnyaparamita, dan sosok-sosok lain yang hadir secara imajinatif. Ada puisi yang didedikasikan buat lelaki, misalnya untuk Ayahanda ("Sebatang Pohon yang Rindang") dan Lazuardi Adi Sage ("Rest in Peace"), atau Kurnia Effendi (disebut sebagai subtitel "Perempuan dalam Secangkir Kopi").



Kopi dan perempuan bisa berpadu memberikan sentuhan kehangatan. Usai membaca dan menikmati puisi-puisi KJ dalam buku ini,kehangatanlah yang terasa. Cinta yang hangat.Kasih yang hangat. Persahabatan yang hangat. Rasa hormat yang juga hangat. Demikianlah nukilan sebagian puisi di dalam buku ini. Pembaca lainnya, kiranya lebih asyik membaca sendiri sembari menikmati hangatnya kopi. Selamat kepada mas KJ yang telah turut mewrnai jagad perpuisian Indonesia dengan karya yang diungkapkan dengan bahasa "yang baik dan benar" menurut kaidah penulisan. Puisi KJ layak dijadikan referensi bagi siapapun yang memerlukan ruang naratif-imajinatif yang menghangatkan. Demikian, salam DAM damai senantiasa.



Jambi, 27 Desember 2010
LAGA FINAL SEPAK BOLA [BOLA MATAMU, DUH KEJORA PENUH GELORA]
oleh Dimas Arika Mihardja Full pada 30 Desember 2010 jam 13:51

GELANGGANG OLAH RAGA PADA LAGA FINAL SEPAK BOLA [BOLA MATAMU, DUH KEJORA PENUH GELORA]

katakan di senayan. tunjukkan senyatanya kalian memang menawan.

jangan anggap lawan. semua hanyalah permainan. menang-kalah

memanglah bukan tujuan. kalian harus tampil elegan

menyajikan keindahan dan ketagguhan

bukan otot

tapi otak

bukan laser

atau panser

di lapangan terbuka

terbuka aneka kemungkinan

bola itu bulat

tekad juga bulat

niat kian menguat

tapi hendaklah diingat

keringat yang deras mengucur

seruan lagu kebangsaan yang mengawali permainan

semuanya memiliki ruang bagi pertandangan

di tengah lapangan, kalian samasama melayu [lari]

mengejar bola dan menggiringnya ke gawang

menggapai tujuan: goal

kenapa mesti masgul?

bersikap biasa sajalah

seperti diamdiam aku kagumi bola matamu

kejora itu, duh, penuh gelora mencinta!

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010
CATATAN DI HULU SUNGAI BATANGHARI
oleh Dimas Arika Mihardja Full pada 29 Desember 2010 jam 15:30

CATATAN DI HULU SUNGAI BATANGHARI





Seperti Naga dari Selatan, Jambi menggeliat dengan pembangunan pesat di bidang investasi dan perdagangan, sehingga mall, mini market, plaza, hingga hipermarket berdiri menghiasi gambaran metropolis.Sebagai fenomena, kita catat bahwa masyarakat Jambi memasuki tahap perkembangan yang disebut post tradisional society. Kita mencatat unsur-unsur modernitas yang menandai mentalitas masyarakat modern, seperti individualisme (sikap ”Siape lu, siape gua”), orientalisme terhadap kehidupan kota, fenomena kehidupan demokratis, dominasi media massa, dan mengutamakan mutu hasil karya.



Di samping pembangunan yang berindikator dunia ekonomi dan perdagangan modern itu, ternyata pasar tradisional tergusur. Lihatlah Pasar Angso Duo merana, Pasar Burung nempel di gang yang sesak, Pasar TAC memprihatinkan, dan pasar-pasar liar tumbuh di sepanjang troar dan gang-gang sempit (apalagi ketika musim buah tiba). Ketika pembangunan mall, hipermarket, dan plaza menggusur pasar tradisional, maka rakyat kecil menggeliat dengan kreativitasnya sendiri membangun pasar-pasar liar. Ironisnya, pedagang kaki lima terus digerus oleh tangan-tangan kekuasaan lewat Satpol PP. Pedagang digusur dan tidak pernah diberikan solusi, padahal rakyat kecil bagaimana pun perlu menghidupi keluarganya. Lokalisasi Payo Sigadung terus saja menampung pendatang dari luar daerah, menjajakan gairah.



Fenomena sosial terjadi ketika anak-anak jalanan bertubuh dan berpakaian bersih menadahkan tangan di Traffict Light, nenek renta susah payah menyeberang jalan di tengah keramaian kota (dan maaf, tidak ada lagi Pramuka/ Satpam/ polisi yang rela membantu). Anak-anak "punk" dengan gayanya sendiri menghiasi terminal dan tempat-tempat strategis dengan aneka asesoris yang dikenakan. Seakan-akan orang-orang tidak lagi peduli pada penderitaan orang lain, orang memanfaatkan musibah sebagai upaya mendapatkan sedekah (menolong korban tabrak lari, tapi yang lebih dulu diselamatkan adalah dompet dan perhiasannya), dan masih banyak lagi bentuk-bentuk fenomena sosial-budaya di negeri ini.



Gaya hidup orang kota kini menjadi trend centre bagi warga masyarakat. Semacam ada image bahwa orang metropolis gaya hidupnya cenderung glamour, perlente, melengkapi diri dengan aneka asesoris mutakhir, dan membawa ikon-ikon ekonomi kreatif dan efektif. Setiap orang merasa perlu menenteng handphone atau telefon selular (meskipun terkadang tampak gagap teknologi). Generasi muda, termasuk anak-anak sekolah menggendong laptop (komputer jinjing). Gaya berpakaian modis (meski membelinya di loakan), mobilitas tinggi (meski terkadang hanya jalan-jalan di pusat keramaian dengan tujuan tidak jelas). Kita juga mencatat bahwa kemacetan lalu lintas mulai terasa di Jambi sebagai manifestasi gaya hidup urban-metropolis, egois, dan tidak disiplin. Daerah Simpang Mayang, misalnya, tentu perlu penjagaan dan pengaturan polisi sehingga lalu lintas dapat berjalan lancar serta terhindar dari kemacetan.



Dapat dicatat juga fenomena munculnya cultural lag, yaitu fenomena yang menggambarkan keadaan masyarakat yang dengan mudah menyerap budaya yang bersifat meterial, tetapi belum mampu untuk mengadaptasi budaya yang bersifat non-material. Fenomena persaingan dunia usaha telephone seluler, aneka produk play statition, aneka game dan lambang prestise (membawa laptop) hanya untuk keperluan mode yang bersiafat musiman. Masyarakat hanyalah konsumen, user, yang hanya bisa memanfaatkan teknologi maju, tanpa dibarengi pemahaman karakteristiknya. Dampak ikutan gaya hidup ini ialah maraknya aneka penipuan secara canggih dengan iming-iming aneka hadiah yang menggiurkan.



Reformasi 1998 membuahkan hasil masyarakat semakin kritis dalam iklim kehidupan yang demokratis. Namun, perilaku demokratis ini senyatanya belum menjadi bagian hidup masyarakat perkotaan. Contoh-contoh sikap kritis dalam bingkai kehidupan yang demokratis tampak dari berbagai unjuk rasa berbagai elemen masyarakat terhadap setiap akan dilakukan pengundangan Rencana Undang Undang. Kita masih ingat betapa lapisan masyarakat berssikap pro kontra terhadap sosialisasi Undang Undang Pornografi dan Porno Aksi, Undang Undang Badan Hukum Pendidikan; Lapisan masyarakat tertentu juga reaktif terhadap pelaksanaan PILKADA, sehingga timbul kesan ”Siap memang, tetapi tidak siap kalah”.



Hal yang menggembirakan (juga menyedihkan) dalam pranata kehidupan sosial post tradisionalis, media massa memegang otoritas dalam mengendalikan berbagai isue, pemberitaan, penciptaan opini, penciptaan trend centre, dan berbagai macam dampak positif maupun negatif yang mengiringinya. Media massa senyatanya telah berhasil menciptakan mitos baru, pencitraan pejabat, dan bisa jadi pembunuhan karakter orang-perorang. Dalam masyarakat post tradisionalis juga ditandai oleh adanya penghargaan terhadap karya dan kekaryaan sebagai bagian dari kebudayaan dalam pengertian yang luas dan kompleks. Pekerjaan baru bagi gubernur baru, walikota baru, dan pemangku budaya Jambi ialah "mengangkat batang terendam" di berbagai bidang. Menggeliatlah Naga dari Selatan lalu merenangi aliran Batanghari menyambut tahun baru 2011.



Demikianlah potret fenomena budaya kita hari ini. Salam.
http://www.freeonlinehitcounters.com/
Surat Untuk Firman

Kawan, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang. Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa. Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan. Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan. Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan!



sumber asli: http://itonesia.com/surat-untuk-firman/
Kata Pengantar & Prakata



Saat ini masih banyak orang yang tidak menerapkan dengan benar istilah Kata Pengantar, terlebih mereka yang berkecimpung di dalam penerbitan buku. Kata Pengantar yang terdapat dalam buku-buku yang beredar di pasar, sebenarnya sebuah Prakata.



Memang, istilah Prakata belum banyak dikenal karena selama ini orang lebih sering menggunakan Kata Pengantar. Jika ditinjau dari kata dalam bahasa Inggris, antara Kata Pengantar dan Prakata terdapat perbedaan mendasar, yaitu foreword an preface.



Jadi, sebetulnya, apa yang dimaksud dengan Kata Pengantar dan Prakata?



Kata Pengantar adalah tulisan yang dibuat oleh orang lain, sedangkan Prakata adalah tulisan yang dibuat oleh penulis buku. Kata Pengantar sekadar mengulas isi buku dan sekilas mengenalkan jati diri penulis. Biasanya, Kata Pengantar diberika oleh pakar atau tokoh masyarakat yang kemampuan atau keahliannya berkaitan dengan materi yang dibahas di dalam buku.



Kata pengantar juga dapat dibuat oleh penerbit. Di dalam Kata Pengantar tersebut, penerbit mengenalkan maksud penerbitan buku dan kelebihan buku tersebut dibandingkan dengan buku sejenis yang telah beredar di pasar. Biasanya, disebut juga dengan Pengantar Penerbit. Yang perlu diketahui juga, jika dalam sebuah buku terdapat lebih dari dua Kata Pengantar, setiap Kata Pengantar hendaknya tidak lebih dari dua halaman.



Sementara itu, Prakata yang merupakan tulisan pengantar dari penulis berisi ulasan tentang maksud dan meode yang digunakan penulis dalma menulis buku tersebut. Yang perlu diperhatikan, Prakata hendaklah tidak lebih dari dua halaman, dan paling sedikit adalah satu halaman. Biasanya, di dalam Prakata penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulisan bukunya. Seandainya pihak yang diberi ucapan terima kasih lebih dari lima, sebaiknya dibuatkan halaman tersendiri, yaitu halaman Ucapan Terima Kasih.



(Sumber: Iyan Wb. 2007. Anatomi Buku. Bandung: Kolbu)



** Kadang, karena ingin keluar dari pakem itu, tidak sedikit penerbit yang mengganti istilah Prakata menjadi Pengantar Penulis, walaupun hakikatnya itulah Prakata.
Gaji Ayah Berapa?

Seperti biasa, Arief, seorang Manajer di Pertamina Kantor Pusat – Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9.15 malam. Tidak biasanya, Salsa, putri pertamanya yang baru duduk di kelas 3 SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya, ia sudah menunggu cukup lama.

“Assalaamu’alaikum, hai Salsa. Kok belum tidur?” sapa Arief sambil mencium pipi anaknya.

Biasanya Salsa memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Ayah menuju ruang keluarga, Salsa menjawab,

“Salsa sengaja menunggu Ayah pulang, sebab Salsa mau tanya berapa sih gaji Ayah per jam?”.

“Lho, kok tanya gaji Ayah segala, mau minta uang lagi ya …?”.

“Ah enggak, hanya kepingin tahu saja” jawab Salsa singkat.

“OK, Salsa bisa hitung sendiri ya … Setiap hari Ayah kerja rata-rata 11 jam sehari, 22 hari sebulan dan dibayar Rp. 18.150.000 sebulan. Hayoo … berapa gaji Ayah per jam? Sabtu – minggu kadang-kadang Ayah harus lembur, tapi tidak mendapatkan gaji tambahan karena sudah termasuk dalam gaji bulanan Ayah”.

Memang kalau tidak lembur, Arief sibuk golf sehingga sangat jarang bisa bermain-main dengan Salsa.

Salsa lari ke kamarnya mengambil kertas dan pensil untuk menghitung gaji Ayahnya per jam, sementara Arief berganti pakaian. Belum selesai ganti pakaian, Salsa sudah menyusul ke kamarnya seraya mengatakan

“Gaji Ayah per hari jadi Rp. 825.000,- atau per jam Rp. 75.000,-, benar kan Yah?”, tanya Salsa mencoba meyakinkan kebenaran jawabannya.

“Wah … pintar kamu. Sudah, sekarang sudah malam, ayo cuci kaki lalu tidur”, perintah Arief kepada Salsa. Tetapi, Salsa tak beranjak.

“Ayah, boleh enggak Salsa pinjam uang Rp. 7.500,-?

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek dan mau mandi dulu. Sekarang, tidurlah”, jawab Arief.

“Tapi Ayah ….”

Kesabaran Arief pun habis, “Ayah bilang tidur!!”, hardiknya mengutkan Salsa.

Anak kecil itupun berbalik dan lari masuk ke kamarnya.

Usai mandi, Arief nampak menyesali dirinya. Ia pun menengok Salsa di kamarnya. Anak kesayangannya itu belum tidur dan didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 30.000,- di tangannya.

Sambil berbaring mengelus kepala anak kecil itu, Arief berkata, “Maafkan Ayah nak, Ayah sayang sama Salsa, tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini?. Kalau mau beli mainan, besok saja kan bisa. Jangankan Rp. 7.500,- lebih dari itupun Ayah belikan”.

“Ayah, Salsa tidak minta uang. Salsa hanya mau pinjam. Nanti akan Salsa kembalikan dari hasil menabung uang jajan Salsa”.

“Iya … iya … tapi buat apa?”, tanya Arief lembut, pingin tahu.

“Besok Salsa libur. Salsa sengaja menunggu Ayah dari tadi. Salsa mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja”, Salsa perlahan menjelaskan.

“Bunda sering bilang kalau waktu Ayah sangat berharga, maka Salsa sengaja pecahkan tabungan Salsa untuk mengganti waktu Ayah, Tapi, ternyata tabungan Salsa hanya Rp. 30.000,-, jadi kurang Rp. 7.500,-, makanya Salsa mau pinjam dulu sama Ayah”, terang Salsa dengan polos.

Arief pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca. Diraihnya Salsa dan dipeluknya erat-erat dengan penuh perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan uang dan harta dari kerja kerasnya di Pertamina yang ia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya. Betapa selama ini ia menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk bermain, menyayang dan mendidik anaknya. Dan dia bertekad untuk menyediakan waktu yang lebih banyak sesudah ini.

“Bagi dunia, kau hanya seseorang. Tapi, bagi seseorang, kau adalah dunianya …”.
Bunda, Mandikan Aku!

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. "Why not the best," katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika. Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang "selevel"; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?" Dengan sigap Rani menjawab, "Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!" Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak. "Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "memahami" orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya "malaikat kecilku". Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. "Alif ingin Bunda mandikan," ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. "Bunda, mandikan aku!" kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. "Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah SWT sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif," ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis. Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, "Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?" Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. "Ini konsekuensi sebuah pilihan," lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. "Aku ibunyaaa!" serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. "Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif.." Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
KISAH SEBUAH JAM

Alkisah, seorang pembuat jam tangan berkata kepada jam yang sedang dibuatnya. “Hai jam, apakah kamu sanggup untuk berdetak paling tidak 31,104,000 kali selama setahun?” “Ha?,” kata jam terperanjat, “Mana sanggup saya?”

“Bagaimana kalau 86,400 kali dalam sehari?” “Delapan puluh enam ribu empat ratus kali? Dengan jarum yang ramping-ramping seperti ini?” jawab jam penuh keraguan.

“Bagaimana kalau 3,600 kali dalam satu jam?” “Dalam satu jam harus berdetak 3,600 kali? Banyak sekali itu” tetap saja jam ragu-ragu dengan kemampuan dirinya.

Tukang jam itu dengan penuh kesabaran kemudian bicara kepada si jam. “Kalau begitu, sanggupkah kamu berdetak satu kali setiap detik?” “Naaaa, kalau begitu, aku sanggup!” kata jam dengan penuh antusias.

Maka, setelah selesai dibuat, jam itu berdetak satu kali setiap detik. Tanpa terasa, detik demi detik terus berlalu dan jam itu sungguh luar biasa karena ternyata selama satu tahun penuh dia telah berdetak tanpa henti. Dan itu berarti ia telah berdetak sebanyak 31,104,000 kali…!

RENUNGAN :
Ada kalanya kita ragu-ragu dengan segala tugas pekerjaan yang begitu terasa berat. Namun sebenarnya kalau kita sudah menjalankannya, kita ternyata mampu. Bahkan yang semula kita anggap impossible untuk dilakukan sekalipun. Itu tergantung bagaimana kita menyiasati pekerjaan dan tugas kita, bila kita bisa bagi2 menjadi fragmen-fragmen yang kecil.

Jangan berkata “TIDAK” sebelum Anda pernah mencobanya….Jangan takut untuk mecoba…
Berhentilah Berteriak…!!!

Kali ini, cerita tentang salah satu kebiasaan yang ditemui pada penduduk yang tinggal di sekitar kepulauan Solomon, yang letaknya di Pasifik Selatan. Nah, penduduk primitif yang tinggal di sana punya sebuah kebiasaan yang menarik yakni meneriaki pohon. Untuk apa? Kebisaan ini ternyata mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak.

Inilah yang mereka lakukan, dengan tujuannya supaya pohon itu mati.

Caranya adalah, beberapa penduduk yang lebih kuat dan berani akan memanjat hingga ke atas pohon itu. Lalu, ketika sampai di atas pohon itu bersama dengan penduduk yang ada di bawah pohon, mereka akan berteriak sekuat-kuatnya kepada pohon itu. Mereka lakukan teriakan berjam-jam, selama kurang lebih empat puluh hari. Dan, apa yang terjadi sungguh menakjubkan. Pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daunnya mulai mengering. Setelah itu dahan-dahannya juga mulai rontok dan perlahan-lahan pohon itu akan mati dan mudah ditumbangkan.

Kalau diperhatikan apa yang dilakukan oleh penduduk primitif ini sungguhlah aneh. Namun kita bisa belajar satu hal dari mereka. Mereka telah membuktikan bahwa teriakan-teriakan yang dilakukan terhadap mahkluk hidup seperti pohon akan menyebabkan benda tersebut kehilangan rohnya. Akibatnya, dalam waktu singkat, makhluk hidup itu akan mati.

Nah, sekarang, Yang jelas dan perlu diingat bahwa setiap kali Anda berteriak kepada mahkluk hidup tertentu maka berarti Anda sedang mematikan rohnya.

Pernahkah Anda berteriak pada anak Anda? orang di sekeliling anda atau siapapun?

Ayo cepat !

Dasar lelet !

Bego banget sih ! Begitu aja nggak bisa dikerjakan ?

Jangan main-main disini !

Berisik !

Dan lain sebagainya…

Atau, mungkin Anda pun berteriak balik kepada pasangan hidup Anda karena Anda merasa sakit hati ?

Suami/istri seperti kamu nggak tahu diri !

Bodoh banget jadi laki/bini nggak bisa apa-apa !

Aduuuuh, perempuan / laki kampungan banget sih !?

Atau, bisa seorang guru berteriak pada anak didiknya :

Goblok, soal mudah begitu aja nggak bisa ! Kapan kamu jadi pinter ?!

Atau seorang atasan berteriak pada bawahannya saat merasa kesal :

Eh tahu nggak ?! Karyawan kayak kamu tuh kalo pergi aku nggak bakal nyesel !

Ada banyak yang bisa gantiin kamu !

Sial ! Kerja gini nggak becus ? Ngapain gue gaji elu ?

Ingatlah! Setiap kali Anda berteriak pada seseorang karena merasa jengkel, marah, terhina, terluka ingatlah dengan apa yang diajarkan oleh penduduk kepulauan Solomon ini. Mereka mengajari kita bahwa setiap kali kita mulai berteriak, kita mulai mematikan roh pada orang yang kita cintai. Kita juga mematikan roh yang mempertautkan hubungan kita. Teriakan-teriakan, yang kita keluarkan karena emosi-emosi kita perlahan -lahan, pada akhirnya akan membunuh roh yang telah melekatkan hubungan anda.

Dalam kehidupan sehari-hari. Teriakan, hanya di berikan tatkala kita bicara dengan orang yang jauh jaraknya, benar?

Nah, mengapa orang yang marah dan emosional mengunakan teriakan-teriakan padahal jarak mereka dekat bahkan hanya bisa dihitung dalam centimeter. Mudah menjelaskannya.

Pada realitanya, meskipun secara fisik dekat tapi sebenarnya hati begitu jauh. Itulah sebabnya mereka harus saling berteriak! Selain itu, dengan berteriak, tanpa sadar mereka pun mulai berusaha melukai serta mematikan roh orang yang dimarahi karena perasaan-perasaan dendam, benci atau kemarahan yang dimiliki. Kita berteriak karena kita ingin melukai, kita ingin membalas.

Jadi mulai sekarang Jika tetap ingin roh pada orang yang anda sayangi tetap tumbuh, berkembang dan tidak mati, janganlah menggunakan teriakan-teriakan. Dengan berteriak kepada orang lain ada 2 kemungkinan balasan yang Anda akan terima. Anda akan dijauhi atau Anda akan mendapatkan teriakan balik, sebagai balasannya.

sumber : Catatan Rumah Yatim Indonesia

oOo

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Aku telah melayani Rasulullah SAW selama 10 tahun. Demi Allah beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah menanyakan : “Mengapa engkau lakukan?” dan pula tidak pernah mengatakan: “Mengapa tidak engkau lakukan?”

(HR Bukhari, Kitabul Adab 5578, Muslim, Kitabul Fadhail 4269 )

Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu.: “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang tidak dikaruniai sifat lemah-lembut, maka ia tidak dikarunia segala macam kebaikan.” (HR. Muslim)
Dua Tetes Air Mata

Alkisah Ahmad bin Miskin hidup dengan istri dan anaknya yang masih kecil. Kesusahan menderanya terus-menerus. Tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Suatu malam, setelah seharian tak secuil makanan masuk kedalam perutnya, hatinya gelisah dan tak dapat tidur. Hatinya perih seperti perutnya yang keroncongan. Seperti prajurit yang kalah perang, ia lesu, lemah-lunglai, dan tak ada harapan. Anaknya menangis seharian, karena tak ada air susu dari istrinya yang lapar. Sungguh kefakiran ini membuatnya sangat menderita. Timbul pemikiran darinya untuk menjual rumah yang ditempatinya.

Esok harinya, usai shalat shubuh berjamaah dan berdoa, ia menemui sahabatnya Abdullah as-sayyad. “Wahai Abdullah! Bisakah kau pinjamkan aku beberapa dirham untuk keperluan hari ini. Aku bermaskud menjual rumahku. Nanti setelah laku akan kuganti,” kata Ahmad.

“Wahai Ahmad. . . ambillah bungkusan ini untuk keluargamu dan pulanglah! Nanti aku akan menyusul kerumahmu membawakan semua kebutuhanmu itu,” jawab Abdullah cepat. Maka Ahmad pun pulang kerumah sambil terus merenung untuk menjual rumahnya. Sungguh sakit kalau harus menjual rumah satu-satunya, sekadar untuk makan. “Setelah itu, saya akan tinggal dimana,” renung Ahmad.

Ahmad segera memantapkan langkahnya. Kini ia membawa bungkusan makanan untuk keluarganya. Tentu istrinya akan gembira dan anaknya akan tertawa lucu setelah memperoleh air susu. “ Terasa nikmat roti yang dibungkus ini tentunya. Sahabat Abdullah memang sangat dermawan, sahabat sejatiku,” desah Ahmad.

Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba seorang wanita dengan bayi dalam gendongan menatap iba. “Tuan, berilah kami makanan. Sudah beberapa hari ini kami belum makan. Anak ini anak yatim yang kelaparan, tolonglah. Semoga Allah swt. Merahmati tuan,” ratap ibu itu.

Iba rasa hati Ahmad. Ditatapnya bayi yang digendong wanita itu. Tampak wajah yang layu, pucat kelaparan. Wajah yang mengharap belas kasihan. Sungguh melas, tak sanggup Ahmad memandangnya lama-lama. Dibandingkan keluargaku, mungkin ibu dan anak ini lebih membutuhkan. “Biarlah aku akan mencari makanan lain untuk keluargaku,” Ahmad membatin. “Ini ambillah bu. . . aku tak punya yang lain, semoga dapat meringankan bebanmu. Kalau saja aku punya yang lain mungkin aku akan membantumu lebih banyak,” kata Ahmad sambil menyerahkan bungkusan yang sama sekali belum disentuhnya.

Dua tetes air mata jatuh dari mata sang ibu, “Terima kasih. . .terima kasih tuan. Sungguh tuan telah menolong kami dan semoga Allah membalas budi baik tuan dengan balasan yang besar,” si ibu berterima kasih dan menunduk hormat. Maka Ahmad pun meneruskan perjalanan.

Ia beristirahat bersandar di batang pohon sambil merenungi nasibnya. Namun, ia kembali ingat bahwa sahabatnya Abdullah telah berjanji akan datang membawakan keperluannya. Dan Abdullah tak pernah ingkar janji sekalipun. Maka bergegas ia pulang dengan perasaan harap-harap cemas. Di tengah jalan dia berpapasan dengan sahabat baiknya Abdullah.

“Wahai Ahmad kemana saja engkau,” tegur Abdullah tersengal-sengal. “Aku mencarimu kesan-kemari. Aku datang kerumahmu membawakan keperluanmu yang aku janjikan. Namun, ditengah perjalanan aku bertemu dengan saudagar dengan beberapa onta bermuatan penuh. Dia ingin bertemu ayahmu. Dia bilang ayahmu pernah memberi pinjaman 30 tahun yang lalu. Setelah jatuh bangun berdagang, sekarang ia telah menjadi saudagar besar di Bashrah. Kini ia akan mengembalikan uang pinjamannya, keuntungan serta hadiah-hadiah,” jelas Abdullah. “Sekarang segera pulanglah Ahmad! Harta yang banyak menunggumu. Tak perlu kau jual rumah lagi,” kata Abdullah.

Kaget bukan kepalang Ahmad mendengar perkataan sahabatnya Abdullah. Sungguh ia tak percaya dengan perkataannya itu.

“Benarkah Abdulah, benarkah?” tanya Ahmad ragu-ragu. Maka, ia berlari seperti terbang, pulang kerumahnya. Sejak itulah Ahmad menjadi orang kaya raya di kotanya.

Ahmad gemar berbuat kebajikan, apalagi kepada sahabatnya Abdullah. Pada suatu malam ia bermimpi. Sepertinya saat itu amalannya dihisab oleh para malaikat. Maka pertama-tama, dosa dan kesalahannya ditimbang. Wajahnya pucat. Berapa berat dosa yang dimilikinya. “Apakah amal kebaikan yang dilakukan dapat melebihi dosa-dosa itu?” Ahmad membatin.

Perlahan-lahan amal kebaikannya ditimbang. Pahala berderma dengan lima ribu dirham hanya ringan-ringan saja. Kata malaikat karena harus dipotong oleh kesombongan dan riya. Demikian seterusnya. Ternyata seluruh amalannya tetap tak bisa mengimbangi beratnya dosa yang ia lakukan. Ahmad menangis.

Para malaikat bertanya, “Masih adakah amal yang belum ditimbang?” “Masih ada,” kata malaikat yang lain. “Masih ada, yakni dua amalan baik lagi.”

Ternyata salah satunya adalah roti yang diberikannya kepada anak yatim dan ibunya. Makin pucatlah wajah Ahmad. “Mana mungkin amalan itu dapat menyeimbangkan dosa-dosanya yang berat,” keluhnya. Malaikat pun sibuk menimbang roti itu. Namun, ketika ditimbang, ternyata timbangan langsung terangkat. Betapa beratnya bobot amalan itu. Kini timbangan ahmad tetap seimbang. Wajahnya sedikti tenang. Ia gembira, sungguh diluar dugaannya.

“namun amalan apalagi yang tersisa? Karena ini masih seimbang,” katanya dalam hati.

Maka malaikat pun mendatangkan dua tetes air mata syukur dan terharu ibu anak yatim atas pertolongan Ahmad. Ahmad tak menyangka kalau tetesan air mata ibu anak yatim dinilai dengan pahala untuknya. Ia bersyukur. Para malaikat pun menimbang tetes air mata. Namun, tiba-tiba dua tetes air mata itu berubah menjadi air bah bergelombang dan meluas bak lautan. Lalu dari dalamnya muncul ikan besar. Kemudian malaikat menangkap dan menimbang ikan itu yang disetarakan dengan amalan baik Ahmad.

Ketika ikan menyentuh timbangan, meka seperti bobot yang sangat berat, timbangan pun segera condong kearah kebaikan. “Dia selamat, dia selamat,” terdengar teriakan malaikat. Gembiralah hati Ahmad.

“Sekiranya aku mementingkan diri dan keluarga sendiri, maka tak adalah berat roti dan ikan itu,” Ahmad termenung gembira. Anak yatim dan ibunya itu yang telah menyelamatkan dirinya. Pada saat itu Ahmad terbangun dari mimpi.

Saudara-saudariku, sungguh amal yang ikhlas di tengah kesempitan, bernilai tinggi di mata Allah swt.
Pesan Ini, Nak, Kutulis Untukmu

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap…

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada doa yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.

Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdoa kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban—ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdoa. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.s. al-‘Alaq [96]: 1-5).

Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan doa, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab r.a., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”

Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam al-Qur`an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Q.s. Muhammad [47]: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam akidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.

Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari, kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari zikir-zikir panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.

Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.
Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.

Diambil dari Buku yang berjudul ‘Saat Berharga Untuk Anak Kita’
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim