Sabtu, 29 Januari 2011

Kerendahan Hati Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kamis, 27 Januari 2011

MELACAK JEJAK DI RERIMBUN EMBUN
oleh Dimas Arika Mihardja pada 22 Januari 2011 jam 7:58

MELACAK JEJAK DI RERIMBUN EMBUN



bersamamu, aku tersesat di lebat senyum

kubaca setiap kata di papan nama

tak terbubuh Namamu di ruko

dan taman kota menguar aneka suara



bersamamu

di bawah beringin

kuurai peta perjalanan

menterjemahkan keinginan



di bawah guyur sisa hujan

tangantangan terulur

dan aku merasa getar kedamaian

embun dari matamu netes

membasuh dahaga mencinta





bengkel puisi swadaya mandiri
DI LABORATORIUM, 1
oleh Dimas Arika Mihardja pada 25 Januari 2011 jam 15:21

DI LABORATORIUM, 1



pintupintu terkuak

jejak isak memasuki semak

jarum, infus, selang saling silang

di selangkangan



kusayatsayat ayat pendek

lalu kubentuk menjadi sampan dan perahu

mengarungi riak dan arus menujumu

dari liang di kedalaman hati

aku menemu alif tegak menyendiri



di ruang ini aku ingin lahir kembali

sebagai bayi

atau puisi

tak perlu kalian ratapi
"MATA HATI" AGUSTUS SANI NUGROHO
oleh Dimas Arika Mihardja pada 26 Januari 2011 jam 20:57

M"MATA HATI" AGUSTUS SANI NUGROHO



Catatan Dimas Arika Mihardja



BUKU "Mata Hati" (Kosa Kata Kita, 2010) setidaknya terbit menandai saat kelahiran seorang Agustinus Sani Nugroho (ASN). Buku ini terbit bertepatan dengan bulan kelahiran ASN, yakni Agustus 2010. Selain itu, dalam konteks tertentu dan dalam kapasitas tertentu juga, buku yang memuat "dua dunia", yakni dunia rupa dan dunia kata niscaya akan memberikan nuansa baru dalam khasanah susastra atau dunia fotografi. Sebagai indikasi menariknya kehadiran buku ini dapat dikemukakan ilustrasi ini:



Putri bungsu saya, Dyah Ayu Sukmawati yang bercita-cita ingin menjadi ahli desain grafis, begitu buku ini dibuka dari kemasan paketnya, membuka lembar demi lembar di dalamnya, langsung menunjukkan ekspresi "suka", dan bahkan melonjak kegirangan. Sikap dan perilaku putri bungsu ini tentu saja membuat penasaran ibu dan mbak-mbaknya. Sang ibu yang biasa mengagumi lanskap alam langsung mencermati setiap foto yang ada di dalamnya dan sekilas memperhatikan teks yang menyertainya. Begitu buku itu tandas dilibas si ibu, kini giliran putri sulung menyantap dan melahapnya penuh semangat.



Apakah yang segera dapat diapresiasi dari kehadiran buku ini? Pertama, buku ini tampil menyamankan dan memanjakan pandangan mata. Siapa pun yang menyukai lanskap alam dengan aneka rona peristiwa besar-kecil akan serta merta menyukai buku ini. Kedua, dalam konteks tertentu, setelah mencermati teks-teks yang menyertainya,tampaknya teks itu dikemas "bergaya" puisi, kesan puitis terasa, dan bersenyawa dengan hasil fotografi dari tangan ASN. Ketiga, karya (apapun itu bentuknya, baik kata, rupa,warna,gerak,cahaya, dan lainnya) yang menyamankan dan menenteramkan jiwa akan memiliki harga dan dijunjung tinggi sebagai bagian dari peradaban manusia. Keempat, "dua dunia" yang ditampilkan meskipun bukan merupakan sesuatu yang baru, setidaknya mampu menjadi alternatif komunikati puitik-estetis bagi sesama pencinta seni.



Menyimak buku edisi lux setebal 236 halaman dengan ukuran yang enak dipegang dan dipandang, yang berisi hasil jepretan lensa kamera dan ungkapan mata hati ASN ini, niscaya dapat dipandang memperkaya khasanah dunia perbukuan di Indonesia. Membaca (menikmati) buku ini, penikmat diajak berkeliling dunia sembari mencermati sudut pandang penglihatan ASN dan merasakan ketajaman (kehalusan) mata hati ASN dalam menafsirkan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa realitas sehari-hari yang dirasakan, sesuatu yang diimpikan, diidealisasikan,diimajinasikan, dan dibayangkan oleh ASN terungkap secara lengkap di dalam buku ini. Penikmat buku ini mungkin akan "terdiam dalam puji dan syukur, melihat dunia ciptaan".



Demikian salam budaya.

DAM
LABORATORIUM, 2



anak panah penunjuk arah

tak pernah salah, ia bejalan mengarah

ruang paling lengang; berhatihati memasuki relung hati

sendiri



pintu rahasia sedikit terkuak saat wajahmu berlalu

di ujung jalan itu; maka ia tetapkan pilihan

menuju isyarat yang serupa ayatayat yang menuntun

yang serupa sasmita yang berbisik sepanjang tahun

saat ragu dan rayu saling terbantun



di ruang serba putih ini ia mengeja cahaya

huruf menafaskan tanda

tanda melafazkan lorong yang perlu ditempuh

dan suara merayakan makna kemerdekaan

masuk di kedalaman dekap keabadian





bengkel puisi swadaya mandiri, 2011
WACANA BESAR DI BALIK "BUNGKAM MATA GERGAJI" GUMAM ALI SYAMSYUDIN ARSY
oleh Dimas Arika Mihardja pada 26 Januari 2011 jam 23:44

WACANA BESAR DI BALIK "BUNGKAM MATA GERGAJI" GUMAM ALI SYAMSUDIN ARSY



Catatan: Dimas Arika Mihardja



ALI SYAMSUDIN ARSY (ASA) kembali bergumam, berkutat pada gumam, melakukan perjalanan ulang-alik seraya berkubang dalam kreativitas yang menderas dan layak dijadikan fokus kajian. ASA membawa fenomena baru dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dalam kaitan ini saya pernah menulis esai yang antara lain menyatakan:



Buku ASA, “Negeri Benang Pada Sekeping Papan”, “Tubuh di Hutan Hutan”, dan “Istana Daun Retak” menunjukkan kubu yang berbeda jika dibanding dengan kubu sastrawan sebelumnya yang merambah dunia bahasa lengkap dengan maknanya sebagai wawasan estetik dalam berkarya. Ketika penyair lain memilih karya yang menjaga keteraturan, keseimbangan, keselarasan, dan kepaduan pada sisi lain ASA berani menerobos belantara penciptaan dengan melawan arus. ASA memperkenalkan wawasan estetik kekacauan, ketidakteraturan, asimetri, aharmoni, dan sebagainya ke dalam karya yang berbeda. ASA menamakan karyanya sebagai “gumam” yang menurut penerbit ‘lahir dari seorang pencatat yang murung dan gusar. Mencoba bersikukuh pada kemanusiaan dan menolak untuk dikalahkan oleh kesia-siaan’.



Kini ASA sedang menyiapkan serial gumam selanjutnya yang diberi tajuk "Bungkam Mata Gergaji". Tajuk ini rasanya tak lagi bergumam, melainkan telah merambah ke eksploitasi bunyi jerit tertahan sehingga nyaris merupakan seruan: "Bungkam Mata Gergaji". Seperti apakah "Bungkam Mata Gergaji" ini tampil dan dikemas? Apakah ASA masih konsisten dengan estetika disharmoni, asimetri, dan dekonstruksi? Marilah kita tilik sebuah gumam panjangnya dalam kutipan berikut ini:



Bungkam Mata Gergaji





Hutan belantara rimba raya terlanjur hangus bertunggul-tunggul, sudah sangat gundul, negeri kitakah yang tiba-tiba menjelma hutan belantara rimba raya sebagai tebaran pesona dari berpuluh penampilan agar tetap menjadi yang terbaik walaupun tengadah kulit tangan keriput tak pernah dihiraukan sampai tuntas, sesekali datang juga berkunjung tetapi hanya cuci muka agar tetap bersih putih dan tak pernah mau peduli sampai mendatangkan kebahagiaan ke akar-akar, selalu saja menggantung di cabang-cabang di ranting-ranting, “Kami sudah berikan yang terbaik kepada mereka dan semoga mereka menjadi lebih baik dari sebelumnya.” Benar. Dan itu sekali saja, ketika datang liputan berita dalam tayangan-tayangan kaca serta lembar-lembar cetak terbaca, namun sebenarnya di balik itu permohonan demi permohonan melebihi apa yang terbaik dari pemberian, “Akh, sekedar untuk bernapas satu hari saja cukuplah sudah, tetapi kami memerlukan uluran tangan dari para dermawan sekalian karena bencana itu terlalu hebat dan sangat memukul rasa kemanuasiaan kami sehingga tak sanggup bila hanya dibebankan kepada satu atau sebagian kecil dari kekayaan negara, kita harus saling membantu dan saling memberikan perhatian, sepenuhnya ya sepenuhnya,” hutan belantara yang rimbun semak belukar di bagian lambung kiri itu merambat sampai ke gurun-gurun jauh, sangat jauh, bahkan duri-duri tajam setajam sinar pembelah sukma pun melakukan tugasnya dalam hitungan teramat cepat secepat kilasan cahaya, dari dalam hutan pula orang-orang yang dahulu memberikan dukungan tiba-tiba menghilang di kejauhan gelap malam, hai apa kabar bulan, hai apa kabar matahari, hai, orang-orang bebal, masihkah kalian membiarkan keculasan itu melingkar di leher sebagai kalung keberuntungan karena kenistaan sebagian dari mereka dijadikan alasan untuk menghidupi sekelompok orang lain dengan penuh semangat dan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, keuntungan demi keuntungan dengan cara membagikan sekelingking saja sedang empat jari yang lain adalah untuk pribadi dan dibagi-bagi dengan alasan “Yang kerja juga perlu makan, tetapi makan kami tentu saja tidak akan sama dengan mereka yang kini sedang menadahkan nganga di kejauhan, terlihat lunglai tanpa daya apa-apa, ayo kawan-kawan kita cari lagi tempat-tempat tertimbunnya karun-karun itu,” hutan penuh wajah-wajah mempesonakan dirinya di depan cermin besar yang kita namakan bangsa berbudaya, bangsa bermartabat, tetapi ketika persoalan membentur hidung bibir gigi telinga rambut tulang kaki mata bulu-bulu jantung kulit hati sumsum sari pati, akh semua unsur dalam persekongkolan, lenyaplah segala upaya hutan yang tumbuh di kepala mereka, sedang kita tandus-tandus saja, hutan bertemu di mandulnya oleh bungkam mata gergaji, tebaran pesona, memamah batu memamah kabar memamah kepal-kepal memamah wajah-wajah di teriknya panas matahari, “Ayo kawan-kawan kita lumpuhkan kekuatan orang-orang di luar pagar dengan bunyi pesta-pesta, kita kerjakan apa yang kita mampu, jangan hiraukan mereka yang tidak dapat bagian dari keculasan ini, jangan biarkan mereka membawa duri-duri di tangan, duri itu kita yang punya,” bungkam mata gergaji, dan pohon-pohon berjatuhan, tumbang di genggam tebaran pesona, tebaran pesona, tebaran pesona, hutan bertebaran batu-batu hutan berserakan kutu-kutu hutan kehilangan datu-datu hutan ditinggalkan mantra-mantra hutan mengecewakan warna-warna hutan berloncatan makna ke dahan makna hutan tanpa daya hutan kehilangan cerita demi cerita hutan berselimut kabut-kabut pesona hutan gundul dari Selatan ke muara dari Timur ke muara dari Barat ke muara dari Utara ke muara hutan hanya bersisa kulit-kulit cakar buaya hutan sebagai lemari kaca tebaran pesona namun tak mampu lagi memberikan hijaunya tak mampu lagi memberikan sari pati akar-akarnya tak mampu lagi menahan deras arus-arus menerpa hutan yang ada adalah hiasan-hiasan purba tersisa, “Kita harus manfaatkan keberadaannya dengan sebaik-baiknya, orang-orang asing telah menyatakan siap dengan segala upaya, alat-alat berat telah pula menunggu di luar batas garapan, jalan-jalan akan melewati melintang-lintang saling tumpang saling meliuk saling membuka, kesepakatan untuk itu telah kita siapkan berkas-berkasnya di bagian administrasi kami, ya telah kami siapkan segala sesuatunya, kami yang mengaturnya, ini bagian dari kesepakatan kita bersama, karena kita satu, maka cara pengaturannya pun harus satu saja, satu saja, pemanfaatannya kita sebar ke seluruh wilayah, dan kami telah mengaturnya, serahkan saja kepada kami, kami lebih paham tentang pembagian seperti ini, karena di wilayah lain pun telah pula kami lakukan, semua berjalan lancar, kami sangat memahami keperluan wilayah lain, dan kami ahlinya dalam soal membagi-bagi,” hutan semakin terbakar hutan semakin gelisah hutan semakin gerah hutan semakin dikecewakan, bungkam mata gergaji, paru-paru terpampang dengan bolongan-bolongan dengan derap ringkik bertebaran debu di kejauhan, “Kemana lagi kita menghindar, kemana lagi kita menghindar, ya kemana lagi, bukit telah lama lenyap sebagai bukit, guntung telah lama lenyap sebagai guntung, lembah telah lama lenyap sebagai lembah, jurang pun memasang taring-taringnya, kemana lagi kaki menginjak pergi kemana lagi napas memburu pergi kemana lagi, “Di sini, sesuai pantauan satelit dengan tingkat kecanggihan luar biasa, lapisan demi lapisan buminya lapisan demi lapisan tanahnya adalah bagian dari pesta-pesta kita, laporkan saja warna-warna di permukaan yang ternyata tampak sangat tidak menguntungkan, simpan pundi-pundinya,” hutan semakin terbakar dan hutan semakin meranggas, dibungkam mata gergaji.



Satu mata gergaji belum mewakili seluruh rotasi. Satu mata gergaji belum mampu menghentikan revolusi.



Potongan-potongan kepingan-kepingan unsur-unsur bagian-perbagian sudut-sudut bergerak secara garis lurus untuk belah membelah bergerak untuk pecah memecah tidak lain hanya untuk membentuk satu kesatuan sakit melilit-lilit. Sengaja menciptakan. Yap. Sakit berkepanjangan. Persekongkolan, diam-diam atau terang-terangan. Satu kesatuan bergerak tanpa dipandu karena memang merupakan ketentuan dari hasrat bahkan saling tumpang saling sikut saling tikam, “Tetapi, seluruh mata gergaji tetaplah melukai,” bungkam mata gergaji telah melibas setiap bayang-bayang dari berjuta harapan, harapan yang dihamparkan oleh banyak telapak tangan terbuka dan sangat terbuka, tetapi bungkam mata gergaji adalah rahasia dari kekuasaan genggam di kepal-kepal tangan bergetar, urat syaraf pun terhentak tiba-tiba, genggam yang sejalan dengan kebiri di lingkup nafsi-nafsi. Mata gergaji bergerak di antara kerumunan orang-orang jalanan di antara runtuhnya gubuk-gubuk,”Ayo, kita harus berkorban untuk kedamaian bangsa ini dan kita menjadi bagian dari keindahan yang memang sepantasnya dilaksanakan. Ayo, menyingkirlah kalian sebelum kami singkirkan,” mata gergaji bergerak dengan kaki-kaki, mata gergaji bergerak dengan tulang-tulang, mata gergaji bergerak dengan mata terpejam, mata gergaji terus melibas mata pencaharian. Bahkan tak akan dibiarkan bertumbuhan tunas-tunas bermekaran.



Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di halaman parkir kantor polisi, atau bahkan dalam bilik jeruji besinya. Rute perjalanan mata gergaji boleh jadi ada di kamar-kamar yang disebut sebagai kejaksaan, bahkan sampai di sudut-sudut lacinya. Rute perjalanan mata gergaji, konon menurut berita miring yang beredar ada pula di atap gedung khusus pemberantasan korupsi, bersama dengan akar-akar gantung di lilitan pohon hiasnya. Rute perjalanan mata gergaji kadang kala singgah pula di istana pimpinan negara beserta patung-patung di luasnya halaman taman sarinya. Rute perjalanan mata gergaji bercokol di emper-emper kumuh yang namanya mahkamah agung, serta bentangan tali-tali layangan yang tersangkut di pojok jendelanya. Rute perjalanan mata gergaji sesekali duduk lesehan di bulu-bulu mata para hakim dan di saku baju pengacaranya. Rute perjalanan mata gergaji tidak kalah sengit ketika tersangkut berjuntai di ujung paku-paku tiang gedung perwakilan rakyat, akh itukan katanya saja. Rute perjalanan mata gergaji berpindah-pindah, berloncatan, kadang tak beraturan, tetapi selalu berlindung di balik keteraturannya. Rute perjalanan mata gergaji, akh, rute demi rute berjalan menggelinding melompat silang sana silang sini nongkrong di sana sabet sebelah sini, sikat di akar gantung tarik di jebakan lainnya, jerat-jerat bungkam mata gergaji.



Semakin ganas semakin terbuka semakin lenyap semakin pupus semakin tertutup semakin melegakan semakin ditertawakan semakin dilupakan semakin membingungkan semakin tidak jelas semakin jengkel semakin dipesta-pestakan semakin gila semakin waras semakin baik semakin rusak; bungkam ke kiri ternyata dibungkam dari kanan, bungkam di atas ternyata malah dibungkam pula dari bawah. Akh, rute perjalanan mata gergaji.





Sejarah terukir di atas batu, anak-anak zaman mempertanyakan keberada an nya, atas kehadirannya, “Mengapa sampai kini yang terlihat jelas, dan teramat jelas, hanya ketidakseimbangan dan ketidaksesuaian. Selalu saja ketidakpuasan pada pihak tertentu, dengan berbagai alasan. Menghindar dari segala pertanyaan dan membungkam semua bentuk jawaban. Sebelum menari, sebelum waktu mempersunting penampilan, di balik layar, di balik panggung, di balik susunan dialog, penawaran terhadap tujuan untuk menjadi lebih baik dari yang sudah diupayakan ternyata semakin merumitkan kadar gula di kandungan cuaca. Sebelum puisi menari maka persiapan untuk menjadi yang terbaik di antara yang baik-baik adalah sebuah upaya bijaksana.” Terus terang ia ungkapkan di hadapan khalayak yang ketika itu terlihat hanya cuap-cuap belaka. Lorong sempit, jalan tikus di parit-parit. Kumal. Berdebu Lumpur. Kumuh lusuh dan rusuh. Tarian mata-mata gergaji. Ada angin tertikam di pojok waktu, dan ukiran sejarah terbengkalai berserak di pinggir-pinggir jalan. Semakin lama semakin mengaburkan persoalan di antara derap kaki-kaki para pejalan, terseok ketika kalah usai berperang. Ia telah dengan sangat berani dan lantang mempersunting embun di permukaan daun bergoyang. Berlari sebelum puisi menghampiri. Entah untuk hari ini atau sampai ke batas entah yang tak juga bertemu. Kosong dalam sekap-sekap rindu. Wajahnya mulai tampak dalam buram di balutan, hutan-hutan kita tak berfungsi untuk kemakmuran yang rata oleh lubang-lubang galian, persetan bagi mereka yang mencibirkan hati ketika menyaksikan perjalanan panjang, sebelum mata-mata gergaji itu menari. Adakah yang namanya belas kasih tanpa berharap imbalan lebih dari yang diberikan. Oh, cuaca cuaca cuaca, selalu cuaca bertuba. Biasanya ada luka di buhul menara, dan pikiran yang dirajut dalam kerangka sejarah kepurbaan, kita tetap saja terkepung dalam kemiskinan. Alam ini untuk siapa, dan sebenarnya punya siapa, tentu saja bukan penonton atas runtuhnya pesona, kaki-kaki bukit melangkah pada tujuan tak menentu arah. Oh, lihatlah sebaris puisi mulai menata kaki-kaki, sebelum menari. Kerak bumi, lapisan demi lapisan, terbongkar. Kita diam. Kita menjadi bisu. Kita tak mampu berbuat apa-apa. Ini wilayah kita. Ini daerah kita. Bersiap untuk sebuah kepunahan dan kita selalu terjajah. Wacana demi wacana, kekalutan pun sengaja diciptakan. Bualan demi bualan, penjarahan pun sengaja dibiarkan. Lolos melenggang di depan mata. Teramat dinistakan. Kita menjadi orang-orang yang rapi bersidekap dan hanya memerahkan retina mata, berucap pun tersumbat dalam dekapnya sekat-sekat. Tarian mata-mata gergaji. Bila ada yang memulai untuk merintangkan jalan dan akan berhadapan dengan semua kekuatan maka kekuasaan untuk menahan laju pergerakan itu senantiasa selalu sejalan beriring bersama yang namanya masing-masing kepentingan membenturkan dirinya pada persoalan yang sama dan akhirnya terlihat percik-percik pergesekan masing-masing pihak padahal semua itu terjadi akibat dari kekerasan dan tekat masing-masing hasrat, percik-percik itu akan menyulut gelora-gelora lain di jalurnya masing-masing pula maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kobaran-kobaran yang lebih besar dan menjalar di semua sektor di semua wilayah, emosi dari percik-percik itu adalah sesuatu yang terjadi terkadang bukan kehendak oleh si penyulut tetapi boleh jadi kobaran dilemparkan secara membabi buta dan tak tahu ke mana arah bola api panas itu membenturkan kepentingannya, “Jangan mendekat nanti engkau ikut terbakar,” suara seperti itu sebenarnya boleh jadi sebagai pancingan untuk menghadirkan derap langkah orang-orang yang sebelumnya tidak mengetahui maka menjadi meluas dan tepuk tangan serta bersiap saling terkam pun tak akan terhindarkan, “Ayo, mari kemari kita nikmati kekacauan ini, ayo ke sini, ada kegaduhan yang menjalar dengan sendiri-sendiri, dan kita tinggal memanen, walau itu akan dilakukan sampai beberapa tahun kemudian,” suara itu mulai menyulut api-api. Semakin lama api itu semakin merambat, kadang ada yang berjalan dengan sangat cepat, terkadang ada pula dengan begitu lambat, sampai berpuluh-puluh tahun baru dapat diketahui bahwa telah ada pergerakan di kantong-kantong pergerakan dan semua orang menjadi terperanjat.



Kerja sebuah gergaji adalah sistem bergerak untuk menjadi terpisah, menjadi berseberangan, saling berhadap-hadapan. Sama-sama merasakan luka berkepanjangan, luka dari bungkam mata gergaji. Sakit yang dirasakan bersama-sama. Luka untuk bersama-sama. Bila ada satu mata gergaji maka ia akan dikuti oleh gerak mata gergaji yang lain. Sistem, sebagai tameng ampuh dalam mempertahankan, sistem sebagai tameng untuk menyerang. Sedangkan kerja sebuah gergaji adalah sebagai pemisah. Untuk apa persatuan, bila di dalam system persatuan itu sendiri ada pihak dominan karena sikap ketidak-adilan yang diberlakukan. Untuk apa persatuan bila cara kerja bungkam mata gergaji terlalu sering menyakitkan, selalu memamerkan bentuk-bentuk keculasan, selalu mempertontonkan bahwa yang seharusnya dilindungi ternyata dijadikan tumbal berbagai kekuatan, sebagai korban kekuasaan;

di semua bidang, karena bungkam mata gergaji

menciptakan sesuatu yang

sepotong-sepotong



terpisah-pisah



terpecah-pecah



Kekasih. Rindu ini menggumpal di remang cahaya. Bukan bunga yang akan dibawa, tetapi hanya. Kekasih, ada sekuntum puisi mekar di ujung jemari manisku. Telapak tanganku mencoba membuka, adakah suara rindu itu menggema. Lihatlah ke atas sana, langit cerah secerah rindu yang kini ada di depan bayang matamu, kelopak rindu pun berpuisi dalam tingkah menawan. Kekasih. Perjanjian semacam apa yang harus diperdengarkan sebelum dunia menyambut tangisan si kecil melamunkan harap-harap di garis hidup dan kehidupan. Adakah rindu yang disimak-urai dalam dekap penuh wangi dan lincahnya puisi-puisi menari-nari. Bila bungkam datang maka terimalah ia dengan puisi bertubi-tubi karena bungkam biasanya bergerak dengan begitu cepat dan kadangkala ada pula secara lambat merambat-rambat. Bungkam bergerak agar laju deru pihak lawan terhambat. Bungkam merupakan bagian dari kekuasaan, bungkam adalah kesepakatan, bungkam adalah mematikan, bungkam adalah tikaman, bungkam adalah menyingkir dan enyahkan, bungkam adalah berbalik tangan, bungkam adalah memalingkan, bungkam adalah melemahkan, tumpul sampai ke pangkal-pangkal dermaga-dermaga hujan pun mampu dipindahkan karena bungkam tak lepas pula mantra segala mantra, bungkam tak lepas pula dengan serangan di balik perdu semak belantara. Dalam tayangan bait-bait puisi. Meliuk menari menikam melilit , “Hei, mari kemari. Di sini menari puisi-puisi,” suara-suara itu gemerincing di liuk perjalanan sepi. Lembut tapi menikam. Tak tampak wajah dan raga badan. “Sesampai di tujuan engkau lepaskan runcing ujung pucuk daun, selembut bulu-bulu daun bertengger seperti yang telah diketahui oleh banyak orang. Ada luka berlari di tengah jalan saat terik matahari panasnya bukan kepalang. “Kami di sini sedang berseru, padamu negeri. Kami di sini sedang berkata, padamu negeri. Kami di sini sedang berkumpul, untukmu negeri. Sudah sepantasnya suara-suara kami disimak dan dihayati secara seksama. Jangan tidur dengan dengkur sebagai tameng dan lemparan pernyataan-pernyataan yang selalu membingungkan. Kami tidak membutuhkan alasan demi alasan, yang kami perlukan adalah hentikan tangis anak-anak kami yang kelaparan. Hentikan tangis anak-anak kami yang tidak lagi memiliki tempat tinggal. Hentikan langkah anak-anak kami yang mengais dari belas kasihan cacian-makian orang-orang berseragam apik, kami perlukan bukan tebaran-tebaran cerlang gambar-gambar di pinggir-pinggir jalan sebagai pajangan. Kami telah kepalkan tangan, tapi suara kami dibalas dengkur berkepanjangan. Kami adalah orang-orang pinggiran tersisih dari negeri kami sendiri, kami telah berhadap-hadapan dengan sesama turunan kami sendiri, masa-masa sulit zaman perjuangan dahulu kembali hadir di pelupuk mata kami, kini tak ada lagi yang peduli.” Akh, seperti pesona, bertebaran di mana-mana. Langit sebentar lagi membuka. Tangan-tangan kekar mencengkram tiang-tiang pondok kami. Tiang-tiang patah pun, pondok-pondok lusuh pun, “Semua diharap hidup dalam sabar yang panjang, dan menikmati kesabaran dalam buncah-buncah gemeriak di ubun-ubun. Semua harus siap dikorbankan demi sebuah yang dinamakan kedamaian, demi yang dinamakan keindahan, demi yang disebut-sebut sebagai penghargaan.” Dan ternyata langit benar-benar membuka. Perselisihan yang memuncak beban di pundak para pendaki gunung menapak satu-satu anak tangga lumut hijau pemandangan jauh ke lubuk dalam kerdil diri menjulang tinggi alangkah sejuk dan sepi di puncak semakin meruncing gelegak di dada terasa pecah menyeret langkah menuju dendam berkepanjangan, setelah menyaksikan orang-orang dengan ringan langkah menuju bungkam di pantai gurun hutan gunung lembah ngarai semenjak perselisihan itu pula maka tidak ada yang membuka jendela kamar dalam perigi mereka sembunyi dalam sunyi mencoba semedi di tikungan jalan desa-desa menyebarkan aroma pertikaian sebab tak jelas, sebagai alasan yang dikemukakan, tetapi orang-orang dengan senjata di tangan masing-masing sudah bosan dengan segala macam penjelasan, orang-orang sudah muak dengan segala macam pembelaan yang pada intinya hanyalah berlaku sebagai peredam sementara, sementara kekuasaan berjalan, setelah itu akan ada harapan baru, tetapi menjadi seiring-sejalan walau dalam bentuk dan pelaku yang berbeda tetapi sifatnya sama, yaitu “Maaf saja tidak ada bukti kuat bahwa semua itu merugikan negara. Telah ditutup semua kemungkinan penyelidikan. Apa pun yang menyangkut persoalan itu, maka sampai di sanalah adanya.” Lihatlah betapa enteng dan betapa mudahnya mengatakan itu. Seakan mereka tak dapat disentuh lagi, padahal perselisihan terus saja terjadi. Senandung luka, luka lama luka lama. Senandung luka, luka lama luka lama. Sampai di mana muara kasih sampai di mana muara kasih. Senandung teruslah bergema, gema di angkasa raya gema di angkasa raya. Oh, luka yang terus membuka luka yang terus membuka. Bicaralah wahai luka karena ternyata diam itu tak bisa berbuat apa. Ternyata diam itu membuat tawa semakin menjadi di arena mereka di ladang mereka di sungai mereka di udara mereka di kasur mereka tawa yang semakin melebarkan jarak antara kita sesama. Di sepanjang perjalanan mata luka itu mata menyala di goresnya. “Terlalu lama kami dilecehkan. Terlalu lama kami menahan beban. Terlalu lama kami sempoyongan. Tanah kami jadi lahan orang-orang yang kami sendiri tidak pernah mengenal mereka. Yang hadir pada kami adalah orang-orang asing belaka. Telah lama kami tak dapat berbuat apa-apa. Sungai kami dijadikan sumber mata pencaharian mereka. Telah lama kami menahan luka. Kepal dan suara kami dianggap angin hampa udara. Terlalu lama terlalu lama terlalu lama terlalu lama.” Lunglai kaki di padang hijau tapi tak merasakan sejuk hijaunya. Para penyihir pun





Usai menyimak gumam "Bungkam Mata Gergaji" kita selaku pembaca masih melihat dan merasakan adanya keresahan. Keresahan itu tampaknya membebani pemikiran penyair ini dari waktu ke waktu. Perasaan yang membebani itu terkait dengan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang mengepung dan menelikung serta mengurung penyair ASA, "sikap memberontak" lalu diledakkan dengan cara meledek dengan gaya reolusi. Ya, ASA melalui gumam "Bungkam Mata Gergaji" meneriakkan dan sekaligus melepaskan beban yang menghimpit selama waktu yang lama.



Gumam yang semestinya lebih mengarah ke kedalaman ucapan yang tak jelas, geremengan, ngoceh ke sana ke mari,nyentil dan nyindir apa pun yang dipandang tidak beres, pada wacana ini menggelegar serupa bunyi eksplosif, terekspresi dengan runtut, tertip, bersumber dari daya pikir dan nalar yang waras, diungkapkan membentuk grand discourse (wacana besar) tentang fenomena hidup dan kehidupan di tanah yang dipijaknya.Dalam gumam ini ASA tentu saja tak hanya menjungkirbalikkan dan berakrobat dengan kata melainkan juga mewacanakan persoalan besar tentang keindonesiaan melalui simbol-simbol, metafora, dan diksi yang meletupkan kesumpekan,kegundahan, protes, dan sekaligus menyodorkan perenungan yang mendalam. Kita nikmati nukilan di akhir gumam ASA ini:



Semua harus siap dikorbankan demi sebuah yang dinamakan kedamaian, demi yang dinamakan keindahan, demi yang disebut-sebut sebagai penghargaan.” Dan ternyata langit benar-benar membuka. Perselisihan yang memuncak beban di pundak para pendaki gunung menapak satu-satu anak tangga lumut hijau pemandangan jauh ke lubuk dalam kerdil diri menjulang tinggi alangkah sejuk dan sepi di puncak semakin meruncing gelegak di dada terasa pecah menyeret langkah menuju dendam berkepanjangan, setelah menyaksikan orang-orang dengan ringan langkah menuju bungkam di pantai gurun hutan gunung lembah ngarai semenjak perselisihan itu pula maka tidak ada yang membuka jendela kamar dalam perigi mereka sembunyi dalam sunyi mencoba semedi di tikungan jalan desa-desa menyebarkan aroma pertikaian sebab tak jelas, sebagai alasan yang dikemukakan, tetapi orang-orang dengan senjata di tangan masing-masing sudah bosan dengan segala macam penjelasan, orang-orang sudah muak dengan segala macam pembelaan yang pada intinya hanyalah berlaku sebagai peredam sementara, sementara kekuasaan berjalan, setelah itu akan ada harapan baru, tetapi menjadi seiring-sejalan walau dalam bentuk dan pelaku yang berbeda tetapi sifatnya sama, yaitu “Maaf saja tidak ada bukti kuat bahwa semua itu merugikan negara. Telah ditutup semua kemungkinan penyelidikan. Apa pun yang menyangkut persoalan itu, maka sampai di sanalah adanya.” Lihatlah betapa enteng dan betapa mudahnya mengatakan itu. Seakan mereka tak dapat disentuh lagi, padahal perselisihan terus saja terjadi. Senandung luka, luka lama luka lama. Senandung luka, luka lama luka lama. Sampai di mana muara kasih sampai di mana muara kasih. Senandung teruslah bergema, gema di angkasa raya gema di angkasa raya. Oh, luka yang terus membuka luka yang terus membuka. Bicaralah wahai luka karena ternyata diam itu tak bisa berbuat apa. Ternyata diam itu membuat tawa semakin menjadi di arena mereka di ladang mereka di sungai mereka di udara mereka di kasur mereka tawa yang semakin melebarkan jarak antara kita sesama. Di sepanjang perjalanan mata luka itu mata menyala di goresnya. “Terlalu lama kami dilecehkan. Terlalu lama kami menahan beban. Terlalu lama kami sempoyongan. Tanah kami jadi lahan orang-orang yang kami sendiri tidak pernah mengenal mereka. Yang hadir pada kami adalah orang-orang asing belaka. Telah lama kami tak dapat berbuat apa-apa. Sungai kami dijadikan sumber mata pencaharian mereka. Telah lama kami menahan luka. Kepal dan suara kami dianggap angin hampa udara. Terlalu lama terlalu lama terlalu lama terlalu lama.” Lunglai kaki di padang hijau tapi tak merasakan sejuk hijaunya. Para penyihir pun.





Gumam ASA yang terangkum dalam buku ini tidak lagi bersandar pada estetika asimetri, disharmoni,dan dekonstruksi,melainkan menawarkan gaya baru sebagai bentuk temuan kreativitasnya yang menderas. Apakah sesuatu yang baru itu? Hampir seluruh gumam di dalam buku ini lebih mengendap, lebih mengarah ke konstuksi wacana besar tentang keindonesiaan yang resah-gelisah-tak tentu arah-bikin gerah-serba salah, kekacauan yang rapih, ketidakadilan yang di"damaikan" dalam format keseragaman, dan bergagai ketimpangan yang mengurung serta menekan. Semua itu lantas "diledakkan" melalui konstruksi wacana besar sebagai buah jeritan kemanusiaan yang nyata. Dalam konteks ini, ASA mewakili berbagai pihak yang realitasnya "menjerit"lantaran luka dan deritanya.



Dapat ditambahkan, hal yang menjadi sesuatu yang baru dalam karya-karya ASA ialah "nafas panjang" gumamnya.Bahkan saking panjangnya, di dalam gumam terdapat beberapa gumam lagi. Dalam Gumam "Ragam Jejak Rentak-rantak", misalnya, di dalamnya terdapat gumam-gumam seperti: Seorang telah lama berdiri di depan sebuah kelas; Adakah halaman demi halaman buku itu terbaca sampai tuntas; Sungai-sungai pun ikut merasakan kepedihan di pundaknya; Sebuah kejujuran; Runtuhkan langit, kuasai bumi (dalam perang dunia yang akan datang); Puisng-puing Istana Raja; "Kakek,di mana kami harus minum"; dan Nenek telah berpesan. ASA menumpuk wacana demi wacana ke dalam sebuah wacana yang lebih besar. ASA tak lagi bicara soal manusia Indonesia, melainkan juga telah merambah ke arah perang dunia.



Dalam catatan ini, saya akhirnya mendapatkan kesan bahwa ASA dari waktu ke waktu senantiasa digelisahkan oleh sesuatu.Sesuatu yang menggelisahkan itu tak hanya berada dalam alam pemikirannya, dunia kreatiitasnya,melainkan terbuahkan pada karya-karya yang disebutnya sebagai gumam. Gumam ASA kali ini tak semata dipendam dalam suara yang tak jelas (geremengan, atau dalam bahasa Jawa disebut Ngomyang) melainkan dieksplosifkan sebagai jeritan luka yang begitu nganga terbuka. merekam kepedihan manusia,dan mengabadikan pemikiran briliant sebagaiingatan bagi berbagai pihak. Saya ucapkan selamat menerbitkan kumpulan gumam, jangan cemas, setiap lembar dalam buku itu akan tuntas dibaca dan dimaknai. Salam DAM.
DI LABORATORIUM, 3
oleh Dimas Arika Mihardja pada 28 Januari 2011 jam 7:46

DI LABORATORIUM, 3





kembali aku masuk di ruang dingin ini

memasang anti virus pada wajah tirus

tissue masih rapih, sebelum pada akhirnya basah

dan hancur sebagai serpihan



kuinstall ulang kemampuan membuka

dan menutup pintu hati saat arus begitu deras

melibas peradaban bendabenda, merekayasa jadi berhala

yang kalian puja sepanjang masa



telah kurestart kembali arah langkah

menuju lorong kesunyian

membaca isyarat dan instruksi dengan hati

ikhlas menjadi saksi kunci





bengkel puisi swadaya mandiri,2011
BERBAHAGIALAH MEREKA YANG CINTANYA BERTEPUK SEBELAH TANGAN, KARENA BERARTI MENGALAMI PENCERAHAN ZEN MAHA DAHSYAT. DIPERLUKAN WAKTU BERTAHUN2 DAN KETEKUNAN LUAR BIASA BAGI SEORANG MURID ZEN UNTUK BS MENGHASILKAN SATU TEPUKAN DENGAN SATU TANGAN, NAMUN KALIAN, DUHAI PARA PECINTA YANG KANDAS, BS MELAKUKANNYA DALAM SEKEJAPAN. SYUKURILAH PENCERAHAN ITU DUHAI MANUSIA2 TERPILIH....

Selasa, 25 Januari 2011

Riyadhah 40 Hari
"Sesiapa yang berjalan menuju Allah, Allah akan berlari menuju dia. Siapa yang berlari menuju Allah, maka Allah akan melompat kepadanya".
• Jaga Shalat Tahajjud 8 Rakaat + Witir 3 Rakaat.
• Jaga Shalat Shubuh, Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. (Khusus soal shalat, terkandung di dalamnya menjaga berjamaah, di masjid, lengkap dg qabliyah dan ba'diyahnya. Juga Sunnah Tahiyyatul Masjid, sbg tanda kita dtg sebelom wktnya azan/pra-ontime).
• Jaga Waaqi'ah sesudah shubuh atau sesudah ashar (boleh pilih).
• Jaga Shalat dhuha 6 Rakaat. Yang kuat, 12 rakaat.
• Baca zikir usai shalat, plus yaa fattaah yaa rozzaaq 11x, plus ayat kursi, plus qulhu 3x. Ini setiap usai shalat.
• Khusus usai shalat shubuh dan ashar, ditambah 4 ayat terakhir surah al Hasyr.
• Jaga setiap hari membaca 300x laa hawla walaa quwwata illaa billaah. Boleh 100x. Dan boleh dibagi-bagi di 5 waktu shalat.
• Jaga setiap hari baca Istighfar 100x.
• Jaga setiap hari baca subhaanallaahi wabihamdihi subhaanallaahil 'adzhiem 100x pagi dan 100x sore. (Boleh habis dhuha dan habis ashar/jelang maghrib).
• Jaga setiap hari baca Yaasiin (bebas waktunya kapan saja, yg penting 1hr 1x).
• Tutup malam dg shalat sunnah 2 rakaat; baca Qulyaa di rakaat pertama, Qulhu di rakaat kedua. Setelahnya baca salah satu dari as Sajdah, Tabaarok, atau ar Rohmaan.

Jaga ini selama 40 hari. Berjuang ya. Terutama shalat tepat waktu, di masjid, plus qabliyah ba'diyahnya. Barengi dengan Puasa Daud supaya enteng.
Semoga Allah menyegarkan badan kita semua, menyehatkan kita semua. Yah, dihitung-hitung daripada lembur ga keruan, kerja rodi ga keruan dlm mencari rizki, dan daripada berobat ke rumah sakit. Mending ngelakuin riyadhah dah. Ampuh banget-banget. Kepada Allah dan untuk Allah kita lurusin niat kita ya. Amin.

Kamis, 20 Januari 2011

Sekedar Mengingatkan

Ada hal yang membuat tertarik untuk menempel tulisan ini, semoga saja ada manfaatnya.

Tuhan memberiku sebuah tugas, yaitu membawa keong jalan-jalan.
Aku tak dapat jalan terlalu cepat, keong sudah berusaha keras merangkak. Setiap kali hanya beralih sedemikian sedikit.

Aku mendesak, menghardik, memarahinya, Keong memandangku dengan pandangan meminta-maaf, serasa berkata : "aku sudah berusaha dengan segenap tenaga !" Aku menariknya, menyeret, bahkan menendangnya, keong terluka. Ia mengucurkan keringat, nafas tersengal-sengal, merangkak ke depan.
Sungguh aneh, mengapa Tuhan memintaku mengajak seekor keong berjalan-jalan.
Ya Tuhan! Mengapa ? Langit sunyi-senyap. Biarkan saja keong merangkak didepan, aku kesal dibelakang. Pelankan langkah, tenangkan hati….

Oh? Tiba-tiba tercium aroma bunga, ternyata ini adalah sebuah taman bunga.
Aku rasakan hembusan sepoi angin, ternyata angin malam demikian lembut.
Ada lagi! Aku dengar suara kicau burung, suara dengung cacing.
Aku lihat langit penuh bintang cemerlang.
Oh? Mengapa dulu tidak rasakan semua ini ?
Barulah aku teringat, Mungkin aku telah salah menduga!

Ternyata Tuhan meminta keong menuntunku jalan-jalan sehingga aku dapat mamahami dan merasakan keindahan taman ini yang tak pernah kualami kalo aku berjalan sendiri dengan cepatnya.
"He's here and with me for a reason"

Saat bertemu dengan orang yang benar-benar engkau kasihi,
Haruslah berusaha memperoleh kesempatan untuk bersamanya seumur hidupmu.
Karena ketika dia telah pergi, segalanya telah terlambat.

Saat bertemu teman yang dapat dipercaya, rukunlah bersamanya.
Karena seumur hidup manusia, teman sejati tak mudah ditemukan.
Saat bertemu penolongmu,
Ingat untuk bersyukur padanya.
Karena ialah yang mengubah hidupmu

Saat bertemu orang yang pernah kau cintai,
Ingatlah dengan tersenyum untuk berterima-kasih .
Karena ia lah orang yang membuatmu lebih mengerti tentang kasih.

Saat bertemu orang yang pernah kau benci,
Sapalah dengan tersenyum.
Karena ia membuatmu semakin teguh / kuat.

Saat bertemu orang yang pernah mengkhianatimu,Baik-baiklah berbincanglah dengannya.
Karena jika bukan karena dia, hari ini engkau tak memahami dunia ini.

Saat bertemu orang yang pernah diam-diam kau cintai,
Berkatilah dia.
Karena saat kau mencintainya, bukankah berharap ia bahagia ?

Saat bertemu orang yang tergesa-gesa meninggalkanmu,
Berterima-kasihlah bahwa ia pernah ada dalam hidupmu.
Karena ia adalah bagian dari nostalgiamu

Saat bertemu orang yang pernah salah-paham padamu,
Gunakan saat tersebut untuk menjelaskannaya.
Karena engkau mungkin hanya punya satu kesempatan itu saja untuk menjelaskan

Saat bertemu orang yang saat ini menemanimu seumur hidup,
Berterima-kasihlah sepenuhnya bahwa ia mencintaimu.
Karena saat ini kalian mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati..
Dan selalu bersyukur …..atas apa yang kau rasakan….! Sudah kah ?….

from : Renungan N Kisah Inspiratif

Senin, 17 Januari 2011

8 Kebohongan Seorang Ibu


Ibuku Seorang Pembohong ? Sukar untuk orang lain percaya, tapi itulah yang terjadi, ibu saya memang seorang pembohong!! Sepanjang ingatan saya sekurang-kurangnya 8 kali ibu membohongi saya. Saya perlu catatkan segala pembohongan itu untuk dijadikan renungan anda sekalian. .

Cerita ini bermula ketika saya masih kecil. Saya lahir sebagai seorang anak lelaki dalam sebuah keluarga sederhana. Makan minum serba kekurangan. .

PEMBOHONGAN IBU YANG PERTAMA.

Kami sering kelaparan. Adakalanya, selama beberapa hari kami terpaksa makan ikan asin satu keluarga.. Sebagai anak yang masih kecil, saya sering merengut. Saya menangis, ingin nasi dan lauk yang banyak. Tapi ibu pintar berbohong. Ketika makan, ibu sering membagikan nasinya untuk saya. Sambil memindahkan nasi ke mangkuk saya, ibu berkata : “”Makanlah nak ibu tak lapar.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDUA.

Ketika saya mulai besar, ibu yang gigih sering meluangkan watu senggangnya untuk pergi memancing di sungai sebelah rumah. Ibu berharap dari ikan hasil pancingan itu dapat memberikan sedikit makanan untuk membesarkan kami. Pulang dari memancing, ibu memasak ikan segar yang mengundang selera. Sewaktu saya memakan ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang bekas sisa ikan yang saya makan tadi.Saya sedih melihat ibu seperti itu. Hati saya tersentuh lalu memberikan ikan yg belum saya makan kepada ibu. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya. Ibu berkata : “Makanlah nak, ibu tak suka makan ikan.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETIGA.

Di awal remaja, saya masuk sekolah menengah. Ibu biasa membuat kue untuk dijual sebagai tambahan uang saku saya dan abang. Suatu saat, pada dinihari lebih kurang pukul 1.30 pagi saya terjaga dari tidur.. Saya melihat ibu membuat kue dengan ditemani lilin di hadapannya. Beberapa kali saya melihat kepala ibu terangguk karena ngantuk. Saya berkata : “Ibu, tidurlah, esok pagi ibu kan pergi ke kebun pula.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, ibu belum ngantuk.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEEMPAT.

Di akhir masa ujian sekolah saya, ibu tidak pergi berjualan kue seperti biasa supaya dapat menemani saya pergi ke sekolah untuk turut menyemangati. Ketika hari sudah siang, terik panas matahari mulai menyinari, ibu terus sabar menunggu saya di luar. Ibu seringkali saja tersenyum dan mulutnya komat-kamit berdoa kepada allah agar saya lulus ujian dengan cemerlang. Ketika lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, ibu dengan segera menyambut saya dan menuangkan kopi yang sudah disiapkan dalam botol yang dibawanya. Kopi yang kental itu tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang ibu yang jauh lebih kental. Melihat tubuh ibu yang dibasahi peluh, saya segera memberikan cawan saya itu kepada ibu dan menyuruhnya minum. Tapi ibu cepat-cepatmenolaknya dan berkata : “Minumlah nak, ibu tak haus!!”

PEMBOHONGAN IBU YANG KELIMA.

Setelah ayah meninggal karena sakit, selepas saya baru beberapa bulan dilahirkan, ibulah yang mengambil tugas sebagai ayah kepada kami sekeluarga. Ibu bekerja memetik cengkeh di kebun, membuat sapu lidi dan menjual kue-kue agar kami tidak kelaparan. Tapi apalah daya seorang ibu. Kehidupan keluarga kami semakin susah dan susah. Melihat keadaan keluarga yang semakin parah, seorang tetangga yang baik hati dan tinggal bersebelahan dengan kami, datang untuk membantu ibu. Anehnya, ibu menolak bantuan itu… Para tetangga sering kali menasihati ibu supaya menikah lagi agar ada seorang lelaki yang menjaga dan mencarikan nafkah untuk kami sekeluarga.. Tetapi ibu yang keras hatinya tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata : “Saya tidak perlu cinta dan saya tidak perlu laki-laki.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KEENAM.

Setelah kakak-kakak saya tamat sekolah dan mulai bekerja, ibu pun sudah tua. Kakak-kakak saya menyuruh ibu supaya istirahat saja di rumah. Tidak lagi bersusah payah untuk mencari uang. Tetapi ibu tidak mau. Ibu rela pergi ke pasar setiap pagi menjual sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakak dan abang yang bekerja jauh di kota besar sering mengirimkan uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, pun begitu ibu tetap berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malah ibu mengirim balik uang itu, dan ibu berkata : “Jangan susah-susah, ibu ada uang.”

PEMBOHONGAN IBU YANG KETUJUH.

Setelah lulus kuliah, saya melanjutkan lagi untuk mengejar gelar sarjana di luar negeri. Kebutuhan saya di sana dibiayai sepenuhnya oleh sebuah perusahaan besar. Gelar sarjana itu saya sudahi dengan cemerlang, kemudian saya pun bekerja dengan perusahaan yang telah membiayai sekolah saya di luar negeri. Dengan gaji yang agak lumayan, saya berniat membawa ibu untuk menikmati penghujung hidupnya bersama saya di luar negeri. Menurut hemat saya, ibu sudah puas bersusah payah untuk kami. Hampir seluruh hidupnya habis dengan penderitaan, pantaslah kalau hari-hari tuanya ibu habiskan dengan keceriaan dan keindahan pula. Tetapi ibu yang baik hati, menolak ajakan saya. Ibu tidak mau menyusahkan anaknya ini dengan berkata ; “Tak usahlah nak, ibu tak bisa tinggal di negara orang.”-

PEMBOHONGAN IBU YANG KEDELAPAN.

Beberapa tahun berlalu, ibu semakin tua. Suatu malam saya menerimaberita ibu diserang penyakit kanker di leher, yang akarnya telah menjalar kemana-mana. Ibu mesti dioperasi secepat mungkin. Saya yang ketika itu berada jauh diseberang samudera segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Saya melihat ibu terbaring lemah di rumah sakit, setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap wajah saya dengan penuh kerinduan. Ibu menghadiahkan saya sebuah senyuman biarpun agak kaku karena terpaksa menahan sakit yang menjalari setiap inci tubuhnya. Saya dapat melihat dengan jelas betapa kejamnya penyakit itu telah menggerogoti tubuh ibu, sehingga ibu menjadi terlalu lemah dan kurus.. Saya menatap wajah ibu sambil berlinangan air mata. Saya cium tangan ibu kemudian saya kecup pula pipi dan dahinya. Di saat itu hati saya terlalu pedih, sakitsekali melihat ibu dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu tetaptersenyum dan berkata : “Jangan menangis nak, ibu tak sakit.” Setelah mengucapkan pembohongan yang kedelapan itu, ibunda tercinta menutup matanya untuk terakhir kali. Dibalik kebohongannya, tersimpan cintanya yang begitu besar bagi anak2nya. Anda beruntung karena masih mempunyai orangtua… Anda boleh memeluk dan menciumnya. Kalau orangtua anda jauh dari mata, anda boleh menelponnya sekarang, dan berkata, “Ibu/Ayah, saya sayang ibu/ayah.” Tapi tidak saya lakukan, hingga kini saya diburu rasa bersalah yang amat sangat karena biarpun saya mengasihi ibu lebih dari segala-galanya, tapi tidak pernah sekalipun saya membisikkan kata-kata itu ke telinga ibu, sampailah saat ibu menghembuskan nafasnya yang terakhir.Ibu, maafkan saya. Saya sayang ibu…….
Si Nenek dan Seribu Rupiah


Seribu rupiah di atas meja tergeletak begitu saja. Sejenak kupandangi dan teringat peristiwa tempo hari..

Di sekitar ruangan masih banyak sampah-sampah botol dan gelas plastik bekas minuman semalam. Panitia masih terllau sibuk dengan urursan lain dan belum sempat mengangkut sampah-sampah itu ke tempat sampah besar.
12919011162077209110

Tak berapa lama, seorang nenek datang. Memunguti botol-botol dan gelas plastik bekas itu. Seorang kawan saya bertanya dalam bahasa bugis pada si nenek dan mereka saling tanya jawab seraya kami bersama-sama ikut membantu si nenek mamsukkan gelas-gelas plastik bekas itu ke dalam karung.

Usai berbincnag, kawan saya seperti hendak menangis.

Si nenek pun berlalu..

A: “Ada apa?”

B: “Nenek tadi kuat banget yaa..”

A: “Maksudnya?”

B: “Tau nggak? Sekarung penuh gelas plastik bekas tadi.. hanya dihargai Rp.1000,- per kilogramnya”

A dan C: “Apa???!!”

B: “Terus si nenek keliling kota Makassar tiap hari hanya untuk mengumpulkan seribu rupiah. Beliau tidak mau mengemis. Itu aja dalam sehari belum tentu dapat 1 kilogram gelas plastik bekas. Masalahnya plastik cuy… tau kan plastik tuh ringan banget.. Terus mau tau lagi nggak? Si nenek itu hidup sebatang kara.. suaminya dah meninggal sejak lama dan beliau nggak punya anak, sanak sodaranya juga nggak tau dimana”

C: “Saluut sama nenek itu,.. kenapa nggak bilang dari tadi kak..biar kita bisa kasih uang ke nenek. Seribu rupiah sehari bisa buat apaan?”

A: “Ya ampun..malu lah dek.. nenek itu bukan pengemis. Bayangin ajaa… untuk seribu rupiah pun beliau rela jalan kaki keliling kota Makassar. Kamu tau kan untuk naik angkot aja pun nggak cukup.. ongkos angkot kan tiga ribu..”

-*-

Hening..

A, B, dan C lalu merogoh saku masing-masing.. Mengambil selembar uang dari balik saku, merapikannya baik-baik..

Seribu rupiah pun sangat berharga kawan..
Mengenal Ulama Islam : Rabi’ bin Ziad al-Haritsy



Namanya adalah ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy, gubernur Khurasan, penakluk Sajistan dan komandan yang gagah berani sedang bergerak memimpin pasukannya berperang di jalan Allah bersama budaknya yang pemberani, Farrukh.

Setelah Allah memuliakannya dengan penaklukan Sajistan dan belahan bumi lainnya, dia bertekad untuk menutup kehidupannya yang semarak dengan menyeberangi sungai Sihun (sebuah sungai besar yang terletak setelah Samarkand, perbatasan Turkistan) dan mengangkat bendera tauhid di atas puncak bumi yang disebut dengan Negeri Di Balik Sungai itu.

Ar-Rabi’ bin Ziad menyiapkan peralatan dan bekalnya untuk peperangan yang sebentar lagi akan terjadi. Dan dia telah menetapkan waktu dan tempat untuk menghadapi musuhnya.

Dan ketika peperangan telah berkobar, ar-Rabi’ dan pasukannya yang gagah berani melancarkan serangan yang hingga kini masih didokumentasikan oleh sejarah dengan penuh sanjungan dan penghormatan.

Sementara budaknya, Farrukh telah menampakkan kegagahan dan keberaniannya di medan laga sehingga membuat ar-Rabi’ tambah kagum, hormat dan menghargai keistimewaannya itu.

Peperangan berakhir dengan kemenangan yang gemilang bagi kaum muslimin. Mereka telah mampu menggoncang musuh, mencerai-beraikan dan mengkocar-kacirkan pasukannya.

Kemudian mereka menyebrangi sungai yang menghalangi mereka untuk menuju ke arah negeri Turki dan menahan laju mereka ke arah negeri Cina dan kerajaan Shughd.

Ketika Panglima besar ini telah berhasil menyeberangi sungai dan telah kedua kakinya telah menapak ke tanah pinggirannya, dia dan pasukannya segera berwudhu dengan air sungai dengan sebaik-baiknya.

Lalu mereka menghadap kiblat dan melakukan shalat dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah, Penganugerah kemenangan.

Setelah itu, dia membalas jasa budaknya, Farrukh dengan memerdekakannya, memberinya bagian ghanimah yang sangat banyak, ditambah harta pribadinya yang cukup banyak pula.

Kehidupan setelah hari yang cemerlang dan terang itu tidaklah berlangsung lama bagi ar-Rabi’ bin Ziad al-Haritsy.

Ajal pun menjemputnya setelah dua tahun dari tercapai impiannya yang besar itu, untuk pergi menyongsong Rabbnya dengan penuh ridha dan diridhai.

Sedangkan anak muda nan gagah lagi pemberani, Farrukh, kembali ke Madinah al-Munawwarah dengan membawa bagian ghanimahnya yang banyak dan pemberian berharga yang diberikan oleh panglima besarnya.

Dan di atas semua itu, dia membawa kemerdekaan yang begitu mahal harganya dan kenangan indah bersama ukiran kepahlawanan yang dimahkotai oleh debu-debu peperangan.

Ketika menginjakkan kaki ke kota Rasulullah, Farrukh merupakan seorang pemuda yang sempurna, energik dan penuh semangat ksatria dan kepandaian berkuda. Ketika itu, usianya sudah menganjak 30-an tahun.

Farrukh telah berniat untuk membangun rumah tempat berteduh dan memiliki seorang isteri tempat tambatan hatinya.

Lalu dia membeli sebuah rumah tipe menengah di Madinah dan memilih seorang wanita yang cerdas otaknya, sempurna akhlaknya, baik agamanya dan seumur dengannya, lalu dinikahinyalah wanita itu.

Farrukh merasa nyaman dengan rumah yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Didampingi oleh sang isteri, dia juga mendapatkan rizki yang memadai, perlakuan yang demikian baik dan kehidupan yang cemerlang melebihi apa yang sebelumnya pernah diharapkan dan dicita-citakannya.

Akan tetapi rumah yang mewah beserta kelebihannya dan istri yang shalehah dengan segala yang dikaruniakan Allah kepadanya; sifat yang baik dan prilaku yang agung, tidaklah mampu untuk membendung hasrat sang ksatria Mukmin ini untuk kembali terjun ke medan laga, kerinduan untuk mendengar suara gemerincing pedang saling bersabetan dan kegandrungannya untuk kembali berjihad di jalan Allah.

Setiap kali terdengar berita kemenangan pasukan muslim yang berperang di jalan Allah di Madinah, semakin menyalalah kerinduannya untuk berjihad dan semakin menggebulah hatinya keinginannya mendapatkan kesyahidan.

Suatu kala di hari jum’at, Farrukh mendengar khathib masjid Nabawi mengabarkan berita gembira perihal kemenangan pasukan muslim di berbagai medan peperangan, mengajak jema’ah untuk berjihad di jalan Allah dan menganjurkan untuk mencari kesyahidan demi meninggikan agama-Nya dan mengharap keridhaan-Nya,.

Maka pulanglah Farrukh ke rumahnya sementara dia telah memasang tekad bulat untuk bergabung di bawah bendera kaum muslimin yang bertebaran di bawah setiap komando. Dia menyampaikan niatnya tersebut kepada sang isteri.

Maka sang istri menjawab,“Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara.”

Lalu Farukh berkata,“Aku titipkan kamu kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku telah meninggalkan untukmu 30.000 dinar yang aku kumpulkan dari ghanimah perang; jagalah dan investasikanlah harta itu. Belanjakanlah untuk dirimu dan anakmu darinya dengan baik hingga aku pulang dengan selamat dan membawa ghanimah atau Allah karuniakan kepadaku kesyahidan yang aku cita-citakan.”

Kemudian dia berpamitan dengannya dan pergi menuju tujuannya.

Istri yang cerdas otaknya ini kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami.Begitu pula, dia banyak menghafal hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pandai memamerkan ungkapan Arab yang indah dan mengetahui masalah-masalah agama yang esensial.

Untuk kebutuhan itu, Ummu Rabi’ah sudah banyak mengeluarkan ‘kocek’ buat para guru dan pendidik akhalq sang anak, demikian juga memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Setiap dia melihat peningkatan ilmu sang anak, dia menambah uang buat mereka sebagai bentuk kepeduliaan dan penghormatan.

Di samping hal itu, rupanya dia juga selalu menanti-nanti kepulangan sang suami yang raib dan sudah berupaya untuk hanya menjadikannya sebagai belahan hatinya dan anaknya.

Akan tetapi sang suami, Farrukh telah lama menghilang sementara berita tentangnya masih simpang-siur; ada yang mengatakan dia ditawan musuh. Ada yang mengatakan bahwa ia meneruskan jihad. Sementara ada sekelompok orang lainnya yang sudah pulang dari medan jihad bahwa ia telah meraih kesyahidan yang diimpi-impikannya.

Bagi Ummu Rabi’ah pendapat terakhir ini lebih kuat karena sudah terputusnya berita tentangnya. Karena itu, diapun sedih sesedih-sedihnya yang membuat hatinya merana, lantas menyerahkan semua itu kepada Allah Ta’ala semoga dibalas pahala atas kesabarannya.

Ketika itu, Rabi’ah sudah beranjak remaja dan hampir masuk usia pemuda.

Para pemberi nasehat berkata kepada ibundanya,“Ini si Rabi’ah sudah menyelesaikan baca-tulis yang sudah semestinya diselesaikan untuk orang seusianya. Bahkan dia unggul atas teman-teman seumurnya; dia hafal al-Qur’an dan juga meriwayatkan hadits. Andaikata engkau pilihkan suatu pekerjaan yang dapat menghasilkan kebaikan buatnya, pasti dengan begitu cepat dia bisa menekuninya dan lantas dapat menafkahimu dan dirinya.”

Ibu Rabi’ah menjawab, “Aku memohon kepada Allah agar Dia memilihkan untuknya hal terbaik bagi kehidupan dan akhiratnya…”

Sesungguhnya Rabi’ah telah memilih ilmu untuk dirinya dan bertekad bulat untuk hidup sebagai penuntut ilmu dan pengajar selama hayat dikandung badan.

Rabi’ah terus berlalu sesuai jalan yang telah digariskannya untuk dirinya tanpa menunda-nunda dan berbuat teledor, menyongsong halaqah-halaqah ilmu yang demikian sesak di masjid Madinah sebagaimana layaknya seorang yang dahaga yang menuju sumbe air nan lezat.

Dia berguru dengan para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Dia juga berguru dengan kontingen pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyib, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar.

Dia terus berjerih payah pada malam hari dan siang harinya hingga betul-betul kelelahan.

Kita pernah mendengar para gurunya berkata, “Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberimu separoh dirinya kecuali bila kamu telah memberinya seluruh ragamu.”

Tidak berapa lama berlalu, namanya kemudian menjadi bergema, bintangnya telah berkibar dan saudara-saudaranya semakin banyak.

Para murid-muridnya amat menggandrunginya dan kaumnya telah menjadikannya sebagai pemuka mereka.

Kehidupan ulama Madinah ini berjalan damai dan tentram; separoh harinya dia berada di rumah bersama keluarga dan saudara-saudaranya. Separoh lagi dia gunakan di masjid Rasululullah guna menimba ilmu dari majlis-majlis dan halaqahnya.

Kehidupannya berjalan samar-samar hingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah disangka-sangka

Pada suatu malam saat bulan purnama di musim panas, seorang pejuang yang sudah berumur sekitar enam puluh tahun-an baru sampai di Madinah.

Orang itu berjalan memasuki gang-gangnya dengan berkuda menuju rumahnya. Dia tidak tahu, apakah rumahnya masih berdiri seperti sedia kala atau sudah terjadi perubahan seiring dengan perjalanan waktu.

Sudah lama ia tingglkan, yaitu selama tiga puluh tahun atau sekitar itu.

Dia bertanya-tanya dalam hati tentang isterinya yang masih muda, yang dia tinggalkan di rumah itu; apa yang telah dia lakukan? Dan tentang jabang bayi yang dikandungnya; apakah anak laki-laki atau perempuan yang lahir? Apakah dia hidup atau mati? Dan jika hidup, bagaimana keadaannya?

Dia juga bertanya-tanya tentang uang banyak yang dia kumpulkan dari beberapa ghanimah jihad, yang dia titipkan padanya ketika akan berangkat berperang di jalan Allah bersama tentara kaum muslimin yang bergerak untuk menaklukkan negeri Bukhara, Samarkand dan sekitarnya.

Waktu itu, gang-gang Madinah dan jalan-jalannya masih ramai oleh orang-orang yang berlalu-lalang karena mereka hampir saja akan melaksanakan shalat isya’.

Akan tetapi tidak seorangpun dari orang-orang yang dia lewati mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya, tidak melihat kudanya yang kurus dan tidak melihat pedangnya yang menggelayut di pundaknya.

Penduduk kota-kota Islam telah terbiasa melihat pemandangan para mujahidin yang hendak berangkat menuju peperangan di jalan Allah atau kembali darinya.

Akan tetapi hal itulah yang justeru menimbulkan kesedihan dan rasa cemas di hati pejuang ini.

Tatkala pejuang ini hanyut dalam alam pikirannya, sembari terus berjalan mencari rumahnya di gang-gang yang sudah banyak berubah itu, tiba-tiba dia mendapati dirinya sudah berada di depan rumahnya.

Kebetulan dia dapati pintunya terbuka sehingga saking gembiranya, dia lupa meminta izin dulu kepada penghuninya. Dia langsung menyelonong masuk hingga sampai ke bagian dalam.

Pemilik rumah mendengar suara pintu, lalu dia melongok dari lantai atas. Ternyata di bawah benderang sinar rembulan, dia melihat seorang laki-laki yang menghunus pedang dan menggantungkan tombaknya sedang memasuki rumahnya di malam hari.

Waktu itu istrinya yang masih muda berdiri tidak jauh dari incaran mata orang asing itu.

Melihat gelagat itu, pemilik rumah langsung marah dan segera turun tanpa alas kaki seraya berkata,
“Apakah anda ingin sembunyi di balik kegelapan wahai musuh Allah dan merampok rumahku serta menyerang istriku?!”

Lalu dengan seketika, dia menyerang orang tersebut bak harimau yang ingin mempertahankan sarangnya jika ada yang ingin mengganggunya dan tidak memberikan kesempatan lagi kepadanya untuk berbicara.

Akhirnya, masing-masing saling baku hantam sehingga suasana gaduh semakin seru dan suaranya semakin mengencang. Karenanya, para tetangga berhamburan menuju ke rumah itu dari segala penjuru. Lalu mereka mengurung orang asing ini ibarat lingkaran borgol di tangan dan membantu tetangga mereka untuk menghadapinya.

Lantas pemilik rumah mencengkeram leher orang asing itu dan mengencangkan cengkeramannya seraya berkata,“Demi Allah aku tidak akan melepaskanmu -wahai musuh Allah- kecuali nanti di samping gubernur.”

Maka orang itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan tidak melakukan dosa apa-apa.! Ini adalah rumahku dan budakku, aku mendapati pintunya terbuka lalu aku memasukinya.”

Kemudian orang asing itu menoleh ke arah khalayak sembari berkata,
“Wahai hadirin, tolong dengarkan aku. Rumah ini adalah rumahku yang aku beli dengan hartaku. Wahai hadirin, aku ini adalah farrukh. Apakah tidak ada seorang tetanggapun yang masih mengenali Farrukh yang pergi sejak tiga puluh tahun lalu untuk berjihad di jalan Allah?!.”

Waktu itu ibu pemilik rumah ini sedang tidur lalu terbangun karena mendengar keributan. Dia melongok dari jendela lantai atas dan melihat yang ternyata benar-benar suaminya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hampir-hampir saja saking terkejutnya, lisannya tak dapat berbicara, untunglah tak berapa lama kemudian dia dapat mengatasinya seraya berkata,

“Biarkan dia, biarkan dia! wahai Rabi’ah! Biarkan dia, wahai anakku. Sesungguhnya dia itu adalah ayahmu. Wahai hadirin, pergilah kalian semua, semoga Allah memberkati kalian.”
“Berhati-hatilah, wahai Abu Abdurrahman.! Sesungguhnya orang yang engkau hadapi itu adalah anak dan belahan hatimu sendiri.”

Begitu ucapannya menyentuh telinganya, maka Farrukhpun segera menyongsong Rabi’ah, merengkuh dan memeluknya.

Sedangkan Rabi’ah, langsung menyongsong Farrukh lalu mencium kedua tangannya, lehernya dan kepalanya.Dan orang-orang pun bubar…

Ummu Rabi’ah turun untuk memberi salam kepada suaminya yang sebelumnya dia tidak mengira akan bertemu dengannya di tanah ini setelah beritanya terputus selama hampir sepertiga abad.

Farrukh duduk di sebelah istrinya dan mulai bercerita tentang pengalamannya serta menyampaikan sebab terputusnya berita tentang dirinya tersebut.

Akan tetapi Ummu Rabi’ah tidak begitu memperhatikan omongannya. Rasa takut akan amarah suaminya karena telah menyia-nyiakan harta yang telah dititipkannya padanya telah memperkeruh kegembiraannya bertemu dengannya dan pertemuannya dengan anaknya.

Dalam hati dia berkata, “Kalau dia menanyaiku sekarang tentang sekian banyak uang yang dititipkannya padaku sebagai amanat, yang waktu itu dia berpesan agar aku membelanjakannya di jalan yang ma’ruf (baik), apa yang harus kujawab? Apa kira-kira reaksinya andai aku beritahu bahwa tidak ada sepeserpun yang tersisa? Apakah dia akan percaya bila aku katakan bahwa semua hartanya yang dia tinggalkan itu telah aku gunakan untuk biaya pendidikan dan pengajaran anaknya? Apakah mungkin biaya seorang anak bisa mencapai 30.000 dinar? Apakah dia akan percaya bahwa tangan sang anak lebih mulia daripada awan yang menurunkan hujan dan bahwa dia tidak menyisakan sepeser dinar atau dirham-pun untuk dirinya? Apakah dia akan percaya bahwa semua orang di Madinah ini pasti tahu bahwa anaknya itu telah menginfakkan beribu-ribu uang untuk rekan-rekannya?.”

Pada saat Ummu Rabi’ah tenggelam dalam lamunannya ini, suaminya menoleh kepadanya seraya berkata,“Sekarang aku bawa lagi untukmu, wahai Ummu Rabi’ah sebanyak empat ribu dinar. Maka tolong perlihatkan uang yang dulu aku titipkan padamu supaya kita kalkulasi dengan yang ini, lalu harta kita semuanya itu kita belikan sebuah kebun atau real estate sehingga dari omsetnya kita bisa hidup selama hayat dikandung badan.”

Ummu Rabi’ah pura-pura menyibukkan diri dan tidak memberikan jawaban sedikitpun.

Lalu suaminya mengulang permintaannya kembali sembari berkata,“Ayo, mana harta itu supaya aku gabungkan dengan yang ada di tanganku ini?”

Lalu Ummu Rabi’ah berkata,“Aku telah menyimpannya di tempat yang layak dan akan aku berikan padamu beberapa hari lagi, insya Allah.” Untunglah, suara adzan memutus perbincangan keduanya.

Lalu Farrukh bergegas mengambil kendi dan berwudlu.Kemudian cepat-cepat menuju pintu dan berteriak, “Di mana Rabi’ah.?”

Mereka menjawab, “Dia telah mendahuluimu ke masjid sejak adzan pertama, dan kami kira kamu tidak akan mendapatkan shalat jama’ah.”

Farrukh sampai di masjid, dan mendapati imam baru saja selesai dari shalat. Dia kemudian melakukan shalat wajib, lalu menuju kuburan yang mulia untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW, kemudian beranjak ke Raudhah yang suci, karena hatinya masih rindu untuk melakukan shalat di sana.

Dia memilih suatu tempat di hamparannya yang sejuk dan melakukan shalat sunnah semampunya di sana, kemudian berdo’a kepada Allah.

Dan ketika ingin meninggalkan masjid, dia menemukan ruangannya yang luas telah disesaki majlis ilmu yang belum pernah dia saksikan sebanyak itu sebelumnya.

Dia melihat orang-orang telah melingkar di sekeliling Syaikh, satu demi satu hingga tidak ada lagi tempat menginjakkan kaki di lokasi itu, lalu dia mengarahkan pandangannya ke arah orang-orang, ternyata di sana banyak sekali syaikh-syaikh yang memakai syal dan sudah tua-tua, orang-orang terhormat yang dari gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka orang-orang penting (berpangkat) dan para pemuda yang banyak sekali sedang bersimpuh di atas lutut mereka sembari mengambil pena dengan tangan untuk menulis apa saja yang dikatakan Syaikh tersebut layaknya permata-permata yang diperebutkan. Lalu menyimpan tulisan itu di dalam buku catatan mereka sebagaimana halnya benda-benda berharga disimpan.

Orang-orang mengarahkan pandangan mereka ke arah di mana syaikh duduk, mendengarkan penuh khidmat setiap ucapan yang keluar hingga seakan-akan di atas kepala mereka ada burung yang bertengger. Para petugas penyampaian (Muballigh) menyampaikan apa yang diucapkan syaikh, paragraf demi paragraf sehingga sekalipun seseorang jauh tempatnya, tidak akan ketinggalan satu patah katapun.

Dalam pada itu, Farrukh berusaha memasati (mengamati dengan jelas) wajah si syaikh tersebut namun tidak berhasil karena tempatnya yang jauh.

Penjelasannya yang cemerlang, ilmunya yang mumpuni dan ingatannya yang luar biasa membuatnya tertawan, terlebih lagi dengan pemandangan orang-orang yang begitu tunduk di hadapannya. Tidak berapa lama, syaikhpun menutup majlis pengajiannya dan bangkit berdiri. Maka, serta-merta orang-orang menyongsong ke arahnya, berdesak-desakan, melingkarinya dan berdorong-dorong mengikuti dari belakangnya guna mengantarnya hingga ke luar arena masjid.

Ketika itulah, Farrukh menoleh ke arah orang yang duduk di sebelahnya tadi seraya berkata,“Tolong katakan kepadaku –atas nama Rabbmu- siapa syaikh itu?.”

“Bukankah anda ini berasal dari Madinah.?” Jawab orang itu dengan penuh keheranan.

“Benar.” Kata Farrukh

“Apakah ada orang yang tidak mengenal syaikh di Madinah ini?.” kata orang itu lagi

“Ma’afkan aku, bila aku tidak begitu mengenalnya. Sudah sekitar 30 tahun aku habiskan waktu jauh dari kota Madinah ini dan baru kemarin aku kembali.” Kata Farrukh lagi

“Kalau begitu, nggak apa-apa. Mari duduk bersamaku sebentar, biar aku ceritakan tentang syaikh ini.”

Orang itu melanjutkan,“Syaikh yang anda nikmati pengajiannya tadi itu adalah salah seorang pemuka Tabi’in dan tokoh kaum Muslimin. Dia lah Ahli hadits kota Madinah ini, Faqih berikut Imamnya sekalipun usianya masih belia.”

“Masya Allah, La Quwwata Illa Billah.” Jawab Farrukh

orang tadi meneruskan,“Sebagaimana yang anda lihat, majlis pengajiannya juga dijubeli oleh Mâlik bin Anas, Abu Hanîfah (keduanya adalah imam madzhab terkenal), Yahya bin Sa’îd al-Anshâry, Sufyân ats-Tsaury, ‘Abdurrahmân bin ‘Amr al-Awzâ’iy, al-Laits dan banyak lagi yang lainnya.”

“Tetapi kamu…” celetuk Farrukh

Namun orang itu tidak memberikannya kesempatan untuk melanjutkan ucapannya tersebut dan langsung melanjutkan,“Di atas semua itu, dia adalah seorang tuan, yang mulia pekertinya dan rendah diri lagi dicintai orang serta dermawan. Penduduk Madinah ini tidak pernah mengenal orang yang lebih dermawan darinya baik terhadap teman ataupun anak teman…tidak ada yang lebih zuhud darinya terhadap glamour duniawi serta tidak ada yang lebih besar cintanya terhadap anugerah Allah selainnya.”

“Tapi kamu belum juga menyebutkan kepadaku, siapa namanya!.” Komentar Farrukh

“Dia adalah Rabi’ah ar-Ra`yi.” Jawab orang itu

“Rabi’ah ar-Ra`yi?!” kata Farrukh“Ya, namanya Rabi’ah… akan tetapi para ulama dan syaikh Madinah ini memanggilnya dengan Rabi’ah ar-Ra`yi karena bila mereka tidak mendapatkan satu nashpun dari suatu masalah baik di dalam Kitabullah ataupun hadits Rasulullah, pasti merujuk kepadanya, lantas dia berijtihad dengan ra`yi (pendapat)nya sendiri dalam hal itu. Dia analogkan masalah yang tidak terdapat nashnya itu terhadap masalah yang ada nashnya, lalu memberikan putusan terhadap masalah yang dirasakan rumit oleh mereka tersebut; sebuah putusan yang berkenan di hati.” Kata orang itu melanjutkan

“Tapi kamu belum menyebutkan siapa ayahnya kepadaku.!” Kata Farrukh memelas

“Dia lah Rabi’ah bin Farrukh, yang dijuluki dengan Abu ‘Abdirrahman. Dia dilahirkan setelah ayahnya itu meninggalkan Madinah ini untuk tujuan berjihad di jalan Allah sehingga ibunya lah yang kemudian mengurusi pendidikan dan pertumbuhannya. Aku sudah mendengar menjelang waktu shalat ini masuk tadi, ada orang-orang mengatakan bahwa ayahnya sudah kembali malam tadi.” Kata orang itu

Ketika itulah, dua tetes besar air mata Farrukh mengalir dari kedua matanya sehingga membuat orang tadi tidak mengetahui apa gerangan sebabnya.

Dia kemudian bergegas melangkahkan kakinya menuju rumahnya. Tatkala Ummu Rabi’ah melihatnya berlinangkan air mata, dia menanyakan,“Ada apa denganmu, wahai Rabi’ah?.”

“Ah, Aku baik-baik saja. Aku tadi telah melihat betapa anak kita sudah mencapai kedudukan ilmu, kehormatan dan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya.” Jawabnya

UmmU Rabi’ah kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan ini seraya berkata,
“Kalau begitu; mana yang lebih kau cintai: 30.000 dinar atau martabat ilmu dan kehormatan yang telah dicapai anakmu ini?.”

“Demi Allah, malah inilah yang lebih aku cintai dan lebih aku dahulukan ketimbang seluruh harta dunia ini.”

“Sebenarnya, semua yang engkau titipkan padaku itu telah aku habiskan untuk membiayainya.” Kata Ummu Rabi’ah meyakinkan

“Ya, terimakasih, semoga engkau, dia dan kaum Muslimin mendapatkan balasan dariku dengan sebaik-baik balasan.” Ucapnya

Sumber: (Tadzkirah al-Huffâzh, I:148, Hilyah al-Awliyâ`, III:259, Sifah ash-Shafwah, II:83, Dzayl al-Muzîl, h.101, Târîkh Baghdâd, VIII:420, At-Tâjj, X:141, Wafayât al-A’yân, I:138, Târîkh ath-Thabariy)

Sumber : http://ahlulhadiits.wordpress.com/
Masuk Islam Gara-gara Dikejar Anjing


Segala puji hanyalah bagi Allah, Tuhan yang Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tuhan yang Mahakuasa atas segala sesuatu, yang mengatur pergantian siang dan malam. Tuhan yang melihat hamba-hamba yang tengah sujud di kegelapan malam, Tuhan yang mendengarkan doa-doa hamba-Nya.

Tuhan yang ketika disebutkan nama-Nya bergetarlah hati hamba-hamba-Nya yang beriman, dan ketika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambah kokohlah iman mereka.

Tuhan yang Agung yang penuh belas kasih. Tuhan yang kepadanya semua makhluk akan kembali dan dikumpulkan.

Ia memberikan hidayah kepada manusia dengan cara-Nya. Kadang cara itu tidak terduga. Maha suci Allah…

Beberapa orang pemuda tengah berkumpul di rumah Allah, di sebuah mesjid, di kota Paris. Sebagian mereka adalah orang-orang yang baru memeluk Islam. Sebagian lain adalah muslim sejak kecil. Setiap hari usai shalat subuh berjamaah setiap orang secara bergantian membaca kitab Riyadus Solihin yang disusun oleh Imam Nawawi.

Setelah hadits-hadits itu dibaca, mereka menghafalkannya dan menancapkan niat dalam hati untuk mengamalkan dan menyampaikan pada orang lain, sebagaimana pesan Rasulullah, “Ballighuu `anniy walau aayah, sampaikanlah tentangku walau satu ayat yang kalian tahu!

Beberapa orang ulama menjelaskan hadits ini, ballighuu: sampaikanlah, adalah sebuah perintah dari Rasul yang harus diikuti, `anniiy, tentangku, adalah suatu kemuliaan menyampaikan risalah Rasul, walau aayah: adalah takhfif, sebuah keringanan, dimana setiap muslim memiliki kesempatan untuk menjadi seorang muballigh, da`i ke jalan Allah SWT, mengajak manusia kepada ketaatan, menyampaikan apa yang ia ketahui tentang al-Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah.

Setelah membaca dan mendengarkan hadits-hadits dengan penuh cinta, ta`zhim dan tasdiq (membenarkan apa yang didengar), mereka bermusyawarah. Seseorang dari mereka ditunjuk untuk memimpin musyawarah.

“Saudara-saudaraku, tak henti-hentinya kita memanjatkan syukur kepada Allah `Azza wa Jalla, pada hari ini kita telah kembali dihidupkan. Allah memberi kita kesempatan untuk beribadah pada-Nya, bertobat atas dosa-dosa kita, menambah bekal untuk akhirat. Mari kita isi hari ini dengan memperbanyak istighfar, memperharui tobat dan beramal soleh.”

“Saudaraku, kita juga harus bersyukur Allah memberi kita kesehatan dan kelapangan untuk shalat subuh di rumah Allah swt ini. Sebuah hadits dari Ustman bin Affan radhiyallahu `anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat Isya berjamaah, maka seolah-olah ia telah mendirikan setengah malam, dan barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, maka seolah-olah ia telah mendirikan (shalat) seluruh malam”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.”

“Dalam hadits lain disebutkan, dari Abi Zuhair Umarah bin Ruaibah radhiyallahu `anhu berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum terbit matahari dan sebelum tenggelam matahari, yaitu shalat subuh dan ashar. Hadits ini juga diriwayatkan Imam muslim.”

“Saudaraku, mari kita isi hari ini dengan ketaatan. Kita manfaatkan setiap detik yang kita lewati, jangan sampai kita lalai, terpedaya oleh tipu daya setan dan hawa nafsu. Saudaraku, usai musyawarah ini hendaknya kita tetap duduk di mesjid untuk berzikir pada Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah, kemudian duduk berzikir sampai terbitnya matahari, lalu shalat dua rakaat, maka baginya pahala, seperti pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna.”

Dan terakhir, ada empat perkara yang jika berkumpul dalam diri seorang muslim dalam satu hari, maka ia akan masuk sorga, sebagaimana yang disebutkan Rasul, empat perkara itu adalah: Puasa sunat, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan memberi makan orang miskin….

Mereka saling berbagi informasi tentang kegiatan silaturahmi pada hari sebelumnya. Siapa yang telah dikunjungi, bagaimana keadaannya, tinggal dimana, dan seterusnya.

Mereka selalu bersemangat demi tersebarnya dakwah ke seluruh penjuru kota Paris dan ke seluruh bumi Allah, agar tidak ada satupun manusia yang meninggal kecuali telah beriman pada Allah subhanahu wa ta`ala.

Di tengah musyawarah mereka dikejutkan dengan masuknya seorang pemuda yang sedang ketakutan ke dalam mesjid, nafasnya tidak teratur, dari wajahnya terlihat bekas ketakutan itu. Ia habis berlari.

Pemuda itu menuju tempat mereka berkumpul.

Salah seorang dari mereka dengan penuh lembut dan senyum menyapa pemuda tersebut.

“Kenapa Anda terlihat sangat ketakutan, apa yang terjadi?”

Pemuda itu masih berusaha mengatur nafasnya, setelah agak tenang, pemuda itu mulai berbicara.

“Tadi, sewaktu saya keluar rumah, di jalan besar tiba-tiba se ekor anjing menggonggong kepada saya, saya ketakutan, saya lari, dan anjing itu mengejar saya. Kemanapun saya lari saya dikejarnya, lari balik ke rumah, tidak mungkin, karena jalan pulang ke rumah di belakang anjing itu, saya terus mencari tempat perlindungan. Di ujung jalan saya melihat ada rumah yang terbuka pintunya, di belakang saya anjing terus mengejar, dan akhirnya saya masuk ke sini. Tapi yang membuat saya heran, kenapa anjingnya tidak masuk mengikuti saya, sedangkan tadi kemana arah saya lari dia terus mengejar saya… ini rumah siapa dan tempat apa?”

“Ini rumah Allah, tempat kaum muslimin beribadah”, salah seorang dari mereka menjawab.

Pemuda itu masih heran.

“Maksud Anda?”

“Rumah Allah tidak dimasuki anjing, dia makhluk yang najis, sedangkan rumah ini suci, dinaungi oleh malaikat, dan siapa yang masuk ke rumah ini ia akan mendapatkan ketentraman dan kedamaian”

Pemuda itu tercengang-cengang.

“Owh.. begitu” katanya masih diliputi rasa penasaran yang tinggi.

Kemudian mereka menjelaskan tentang islam padanya. Hati pemuda itu tersentuh dengan penjelasan-penjelasan yang mereka berikan. Tentang keagungan rumah Allah, tentang islam, tentang indahnya persaudaraan dalam islam, tentang hakikat hidup dan dunia, tentang kematian dan tentang akhirat.

Mereka melihat air matanya menetes, ia terharu, hatinya seolah merasakan tetesan embun hidayah yang menyejukkan.., kemudian mereka mengajaknya memeluk Islam dan pada saat itu juga pemuda tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat… Subhanallah..

Salah seorang dari mereka berucap syukur dalam hati. Pemuda tersebut kerap ia lihat setiap kali ia menuju mesjid, tapi ia tidak kenal namanya. Pemuda yang tak henti ia doakan tiap malam dalam tahajudnya tersebut dengan tetes air mata, kini telah masuk ke pangkuan Islam. Ia pun terharu, memuji Allah, bertasbih, bertahmid dan bersyukur pada-Nya. Tanpa terasa pipinya basah..

“Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu ya Rabb, Engkau telah mengabullkan doa hamba-Mu yang lemah ini yang hamba panjatkan sejak 4 bulan yang lalu,” ucapnya dalam hati.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada temannya yang meneteskan air mata tersebut,

“Kenapa menangis akhi?

“Saya begitu terharu akhi, Allah telah menggerakkan satu dari makhluknya dan menjadikan sebab masuk Islamnya saudara kita ini, subhanallah..”

Setelah pagi itu, mereka kian bersemangat merintis dakwah, mengajak manusia ke jalan Allah. Tahun demi tahun dilalui, mereka tidak pernah berkeluh kesah, tidak pernah lelah, bahkan semakin gagah dan teguh. Mereka terus berusaha, bergerak dari satu rumah ke rumah yang lain untuk mengajak manusia ke jalan Allah. Dan berkat kesungguhan dan doa-doa panjang yang mereka panjatkan di tengah hening dan pekatnya malam, telah banyak orang-orang yang memeluk Islam dan telah banyak kaum muslimin yang sadar akan dirinya dan kembali ke jalan Allah, subhanallah..

Dan pemuda mualaf itu telah menjadi seorang yang gigih menyebarkan risalah islam ke seantero penjuru kota Paris. Ia tak kenal lelah, tak kenal siang dan malam. Dakwah telah menjadi tujuan hidupnya, ia tak kenal henti menangis di sepanjang malam, memohon pada Allah agar hidayah islam masuk ke dalam hati setiap manusia yang belum beriman.

Walau ia dicerca, dimaki ia tak surut, langkahnya telah kokoh sekokoh batu karang di tengah ganasnya ombak, niatnya telah teguh, hatinya telah mantap dan azamnya telah kuat. Tidak akan berhenti sampai ajal menjemput. Ia telah mencintai islam dengan segenap raga dan jiwanya, cinta yang agung, cinta yang mulia dan cinta yang membawa kepada kenikmatan abadi di sorga kelak.

NB: Ini adalah kisah nyata yang saya dengarkan lansung dari seorang teman saya bernama Rosyid, dari Maroko. Sedikit ditambahkan ilustrasi agar ceritanya mengalir saja…
Kisah Pemuda dan Pengemis



Suatu ketika tampak seorang pemuda sedang beristirahat di pinggir jalan. Tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh datangnya seorang pengemis.

Pengemis itu bertanya,

“Sudikah anda memberi kepada saya yang sudah sejak beberapa waktu ini tidak memiliki perut yang tenang?” tanya si pengemis tua itu sambil menengadahkan tangannya yang renta.

Karena merasa iba, pemuda itu memberikan sedikit uang yang dirasa cukup menenangkan perutnya.

“Terima kasih wahai engkau anak muda yang berhati mulia, terimalah batu ini sebagai tanda mata dariku. Mintalah kepadanya maka kau akan mendapatkannya.”

Untuk sesaat pemuda itu tercengang. Keraguan muncul dibenaknya, siapakah pengemis ini? Apakah dia semacam dewa atau malaikat yang turun dari langit untuk menolongnya? Lalu kenapa harus batu? Pertanyaan-pertanyaan yang timbul tenggelam mengganggu benaknya.

Sambil menghela nafas, pemuda itu berkata,

“Maapkan aku pengemis tua yang baik. Bukan aku tidak berterima kasih. Tapi kalau saja kuterima batu itu, maka sesungguhnya aku akan menjadi seorang pendosa karena menyekutukan-Nya.”

Mendengar jawaban pemuda itu, sambil tersenyum orang tua itu pun hanya menganggukan kepala. Betapa terkejutnya si pemuda ketika sesaat kemudian pengemis itu berubah menjadi sebuah cahaya yang menyilaukan mata.

“Wahai pemuda, aku adalah suruhan-Nya. Apa yang kau minta dengan ijin-Nya akan aku kabulkan.” kata cahaya tersebut.

Dengan terbata-bata, si pemuda mengatakan segala keinginannya. Dan cahaya itu pun menghilang sesaat si pemuda selesai berkata-kata.

***
12934607781535673473

Beberapa waktu kemudian, si pemuda kembali didatangi oleh sosok cahaya yang sama.

“Wahai pemuda kenapa kebimbangan dan ketidakpuasan masih menggelayut di benak dan wajahmu?”

“Bagaimana tidak bimbang ketika mengharapkan karunia namun dusta yang kudapat.” balas si pemuda dengan sinis.

“Apa maksudmu? Bukankah setiap permintaanmu sudah dikabulkan? Jangan sombong kau cucu adam-hawa!”

“Dikabulkan? tak salahkah kau? Setiap hal yang kuminta tak pernah kudapat! Apakah kata dikabulkan sudah berubah makna?” jawab si pemuda dengan penuh emosi.

“Tidak ada yang berubah pemuda. Kami berikan segala kesulitan dalam batas kemampuanmu agar kau bisa menjadi lebih kuat. Karena jika tiada hambatan dalam hidupmu maka justru hal itu akan membuatmu pincang dan lemah. Maka dari itu tidak kami berikan ikan melainkan pancing dan pengetahuannya. Agar kau mau berusaha.”

Mendengar kata-kata tersebut, si pemuda pun tersadar. Bahwa selama ini dia telah menjadi mahluk yang manja dan tidak tahu berterimakasih. Dia tidak sadar bahwa dia telah mendapat semua hal yang dibutuhkannya.
Kisah Wanita Yang Selalu Berbicara Dengan Bahasa Al-Qur’an



Berkata Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala :

Saya berangkat menunaikan Haji ke Baitullah Al-Haram, lalu berziarah ke makam Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. Ketika saya berada di suatu sudut jalan, tiba-tiba saya melihat sesosok tubuh berpakaian yang dibuat dari bulu. Ia adalah seorang ibu yang sudah tua. Saya berhenti sejenak seraya mengucapkan salam untuknya. Terjadilah dialog dengannya beberapa saat.Dalam dialog tersebut wanita tua itu , setiap kali menjawab pertanyaan Abdulah bin Mubarak, dijawab dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an. Walaupun jawabannya tidak tepat sekali, akan tetapi cukup memuaskan, karena tidak terlepas dari konteks pertanyaan yang diajukan kepadanya.

Abdullah : “Assalamu’alaikum warahma wabarakaatuh.”

Wanita tua : “Salaamun qoulan min robbi rohiim.” (QS. Yaasin : 58) (artinya : “Salam sebagai ucapan dari Tuhan Maha Kasih”)

Abdullah : “Semoga Allah merahmati anda, mengapa anda berada di tempat ini?”

Wanita tua : “Wa man yudhlilillahu fa la hadiyalahu.” (QS : Al-A’raf : 186 ) (”Barang siapa disesatkan Allah, maka tiada petunjuk baginya”)

Dengan jawaban ini, maka tahulah saya, bahwa ia tersesat jalan.Abdullah : “Kemana anda hendak pergi?”

Wanita tua : “Subhanalladzi asra bi ‘abdihi lailan minal masjidil haraami ilal masjidil aqsa.” (QS. Al-Isra’ : 1) (”Maha suci Allah yang telah menjalankan hambanya di waktu malam dari masjid haram ke masjid aqsa”)

Dengan jawaban ini saya jadi mengerti bahwa ia sedang mengerjakan haji dan hendak menuju ke masjidil Aqsa.

Abdullah : “Sudah berapa lama anda berada di sini?”

Wanita tua : “Tsalatsa layaalin sawiyya” (QS. Maryam : 10) (”Selama tiga malam dalam keadaan sehat”)

Abdullah : “Apa yang anda makan selama dalam perjalanan?”

Wanita tua : “Huwa yut’imuni wa yasqiin.” (QS. As-syu’ara’ : 79) (”Dialah pemberi aku makan dan minum”)

Abdullah : “Dengan apa anda melakukan wudhu?”

Wanita tua : “Fa in lam tajidu maa-an fatayammamu sha’idan thoyyiban” (QS. Al-Maidah : 6) (”Bila tidak ada air bertayamum dengan tanah yang bersih”)

Abdulah : “Saya mempunyai sedikit makanan, apakah anda mau menikmatinya?”

Wanita tua : “Tsumma atimmus shiyaama ilallaiil.” (QS. Al-Baqarah : 187) (”Kemudian sempurnakanlah puasamu sampai malam”)

Abdullah : “Sekarang bukan bulan Ramadhan, mengapa anda berpuasa?”

Wanita tua : “Wa man tathawwa’a khairon fa innallaaha syaakirun ‘aliim.” (QS. Al-Baqarah : 158) (”Barang siapa melakukan sunnah lebih baik”)

Abdullah : “Bukankah diperbolehkan berbuka ketika musafir?”

Wanita tua : “Wa an tashuumuu khoirun lakum in kuntum ta’lamuun.” (QS. Al-Baqarah : 184) (”Dan jika kamu puasa itu lebih utama, jika kamu mengetahui”)

Abdullah : “Mengapa anda tidak menjawab sesuai dengan pertanyaan saya?”

Wanita tua : “Maa yalfidhu min qoulin illa ladaihi roqiibun ‘atiid.” (QS. Qaf : 18) (”Tiada satu ucapan yang diucapkan, kecuali padanya ada Raqib Atid”)

Abdullah : “Anda termasuk jenis manusia yang manakah, hingga bersikap seperti itu?”

Wanita tua : “Wa la taqfu ma laisa bihi ilmun. Inna sam’a wal bashoro wal fuaada, kullu ulaaika kaana ‘anhu mas’ula.” (QS. Al-Isra’ : 36) (”Jangan kamu ikuti apa yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati, semua akan dipertanggung jawabkan”)

Abdullah : “Saya telah berbuat salah, maafkan saya.”

Wanita tua : “Laa tastriiba ‘alaikumul yauum, yaghfirullahu lakum.” (QS.Yusuf : 92) (”Pada hari ini tidak ada cercaan untuk kamu, Allah telah mengampuni kamu”)

Abdullah : “Bolehkah saya mengangkatmu untuk naik ke atas untaku ini untuk melanjutkan perjalanan, karena anda akan menjumpai kafilah yang di depan.”

Wanita tua : “Wa maa taf’alu min khoirin ya’lamhullah.” (QS Al-Baqoroh : 197) (”Barang siapa mengerjakan suatu kebaikan, Allah mengetahuinya”)

Lalu wanita tua ini berpaling dari untaku, sambil berkata :

Wanita tua : “Qul lil mu’miniina yaghdudhu min abshoorihim.” (QS. An-Nur : 30) (”Katakanlah pada orang-orang mukminin tundukkan pandangan mereka”)

Maka saya pun memejamkan pandangan saya, sambil mempersilahkan ia mengendarai untaku. Tetapi tiba-tiba terdengar sobekan pakaiannya, karena unta itu terlalu tinggi baginya. Wanita itu berucap lagi.

Wanita tua : “Wa maa ashobakum min mushibatin fa bimaa kasabat aidiikum.” (QS. Asy-Syura’ 30) (”Apa saja yang menimpa kamu disebabkan perbuatanmu sendiri”)

Abdullah : “Sabarlah sebentar, saya akan mengikatnya terlebih dahulu.”

Wanita tua : “Fa fahhamnaaha sulaiman.” (QS. Anbiya’ 79) (”Maka kami telah memberi pemahaman pada nabi Sulaiman”)

Selesai mengikat unta itu sayapun mempersilahkan wanita tua itu naik.

Abdullah : “Silahkan naik sekarang.”

Wanita tua : “Subhaanalladzi sakhkhoro lana hadza wa ma kunna lahu muqriniin, wa inna ila robbinaa munqolibuun.” (QS. Az-Zukhruf : 13-14) (”Maha suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini pada kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Sesungguhnya kami akan kembali pada tuhan kami”)

Sayapun segera memegang tali unta itu dan melarikannya dengan sangat kencang. Wanita tua itu berkata lagi.

Wanita tua : “Waqshid fi masyika waghdud min shoutik” (QS. Lukman : 19) (”Sederhanakan jalanmu dan lunakkanlah suaramu”)

Lalu jalannya unta itu saya perlambat, sambil mendendangkan beberapa syair, Wanita tua itu berucap.

Wanita tua : “Faqraa-u maa tayassara minal qur’aan” (QS. Al- Muzammil : 20) (”Bacalah apa-apa yang mudah dari Al-Qur’an”)

Abdullah : “Sungguh anda telah diberi kebaikan yang banyak.”

Wanita tua : “Wa maa yadzdzakkaru illa uulul albaab.” (QS Al-Baqoroh : 269) (”Dan tidaklah mengingat Allah itu kecuali orang yang berilmu”)

Dalam perjalanan itu saya bertanya kepadanya.

Abdullah : “Apakah anda mempunyai suami?”

Wanita tua : “Laa tas-alu ‘an asy ya-a in tubda lakum tasu’kum” (QS. Al-Maidah : 101) (”Jangan kamu menanyakan sesuatu, jika itu akan menyusahkanmu”)

Ketika berjumpa dengan kafilah di depan kami, saya bertanya kepadanya.

Abdullah : “Adakah orang anda berada dalam kafilah itu?”

Wanita tua : “Al-maalu wal banuuna zinatul hayatid dunya.” (QS. Al-Kahfi : 46) (”Adapun harta dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”)

Baru saya mengerti bahwa ia juga mempunyai anak.

Abdullah : “Bagaimana keadaan mereka dalam perjalanan ini?”

Wanita tua : “Wa alaamatin wabin najmi hum yahtaduun” (QS. An-Nahl : 16) (”Dengan tanda bintang-bintang mereka mengetahui petunjuk”)

Dari jawaban ini dapat saya fahami bahwa mereka datang mengerjakan ibadah haji mengikuti beberapa petunjuk. Kemudian bersama wanita tua ini saya menuju perkemahan.

Abdullah : “Adakah orang yang akan kenal atau keluarga dalam kemah ini?”

Wanita tua : “Wattakhodzallahu ibrohima khalilan” (QS. An-Nisa’ : 125) (”Kami jadikan ibrahim itu sebagai yang dikasihi”) “Wakallamahu musa takliima” (QS. An-Nisa’ : 146) (”Dan Allah berkata-kata kepada Musa”) “Ya yahya khudil kitaaba biquwwah” (QS. Maryam : 12) (”Wahai Yahya pelajarilah alkitab itu sungguh-sungguh”)

Lalu saya memanggil nama-nama, ya Ibrahim, ya Musa, ya Yahya, maka keluarlah anak-anak muda yang bernama tersebut. Wajah mereka tampan dan ceria, seperti bulan yang baru muncul. Setelah tiga anak ini datang dan duduk dengan tenang maka berkatalah wanita itu.

Wanita tua : “Fab’atsu ahadaku bi warikikum hadzihi ilal madiinati falyandzur ayyuha azkaa tho’aaman fal ya’tikum bi rizkin minhu.” (QS. Al-Kahfi : 19) (”Maka suruhlah salah seorang dari kamu pergi ke kota dengan membawa uang perak ini, dan carilah makanan yang lebih baik agar ia membawa makanan itu untukmu”)

Maka salah seorang dari tiga anak ini pergi untuk membeli makanan, lalu menghidangkan di hadapanku, lalu perempuan tua itu berkata :

Wanita tua : “Kuluu wasyrobuu hanii’an bima aslaftum fil ayyamil kholiyah” (QS. Al-Haqqah : 24) (”Makan dan minumlah kamu dengan sedap, sebab amal-amal yang telah kamu kerjakan di hari-hari yang telah lalu”)

Abdullah : “Makanlah kalian semuanya makanan ini. Aku belum akan memakannya sebelum kalian mengatakan padaku siapakah perempuan ini sebenarnya.”

Ketiga anak muda ini secara serempak berkata :

“Beliau adalah orang tua kami. Selama empat puluh tahun beliau hanya berbicara mempergunakan ayat-ayat Al-Qur’an, hanya karena khawatir salah bicara.”

Maha suci zat yang maha kuasa terhadap sesuatu yang dikehendakinya. Akhirnya saya pun berucap :

“Fadhluhu yu’tihi man yasyaa’ Wallaahu dzul fadhlil adhiim.” (QS. Al-Hadid : 21) (”Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang dikehendakinya, Allah adalah pemberi karunia yang besar”)
CINTAI AKU APA ADANYA



Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan Saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.

Dua tahun dalam masa pernikahan,saya harus akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan. Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.

Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.

Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian.

“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut. “Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan”. Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat ku lakukan untuk merubah pikiranmu?”.

Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, “Aku punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati ku, aku akan merubah pikiran ku: Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati.

Apakah kamu akan melakukannya untuk ku?” Dia termenung dan akhirnya berkata, “aku akan memberikan jawabannya besok.”. Hati saya langsung gundah mendengar responnya.

Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan …

“Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.

” Sayang ketika kamu mengetik di komputer lalu program-program di PC-nya kacau dan akhirnya kau menangis di depan monitor, aku harus memberikan jari-jari ku supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya dan kamu bisa menyelesaikan pekerjaanmu.

Sayang, kamu juga selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki ku supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.

Sayang, kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata ku untuk menunjukkan jalan kepadamu.

Sayang, kamu selalu sakit dan pegal-pegal pada waktu “teman baikmu” datang setiap bulannya, dan saku harus memberikan tangan ku untuk memijat kakimu yang pegal.

Cinta, ketika kamu sedang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi “aneh”. Maka aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang saya alami.

Cinta, kamu terlalu sering menatap layar kaca TV dan Komutermu serta membaca buku sambil tiduran dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, maka aku harus menjaga mata ku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu. Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.

“Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku. Sayangku, aku tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu. Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya.

“Dan sekarang, sayangku, kamu telah selasai membaca jawaban ku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu. Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagia ku bila kau bahagia.”

Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku.

Aku peluk dia penuh kebahagiaan, oh, kini aku tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai aku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, padahal tanpa kita sadari Cinta itu telah terwujud dalam bentuk yang lain walau tidak sesuai dengan wujud yang kita harapkan

Seringkali kali kita menuntut Cinta kepada pasangan kita, namun jarang terfikir oleh kita sejauhmana Cinta yang telah kita berikan padanya. Berikan Cinta Kasih yang tulus kepadanya, kalaupun dia belum membalasnya yakinlah Allah pasti akan membalas dan membisikkan CintaNYA kepadanya untuk diberikan kepada kita.

Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan, kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut, baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-Baqarah:187)