Kamis, 04 November 2010

NARASI PASUJUDAN
oleh Aguk Irawan Mn pada 31 Oktober 2010 jam 8:46

-Untuk Mbah Maridjan



Sumber: Kedaulatan Rakyat, 31 Oktober 2010



Di beludru keremangan langit

saat tepat adzan magrib

waktu seperti sudah kau pilih sendiri

taqdir seperti apa yang kau janjikan:

ini lereng merapi

di sini aku mengambil rempah bumi

juga mati!



dan kau bilang lagi:

aku ikut sukmaku!

kerak batu dan debu

telah menjadi lagu rindu

saban hari di rumahku

tak bisa aku berpisah



sambil melintasi gemuruh waktu

aku mengurai riwayatmu yang sunyi itu

seperti seorang salik mengeja ayat rubbubiyat:

alif-ba-ta sambil

menelusup jauh ke ruang batin

aku ingin

aku iri

mereguk cinta

sepertimu dalam

kekal sujud!



doamu seperti asap putih itu

memuliakan pucukpucuk dedaunan

menembus batas langit

mereguk haus

kesunyianku



sehabis tanahair batu tumpah

tak usah kau cemas sehabis ini

sebab sebentar lagi

burungburung pun bersolek kembali

pada tanah yang hambur subur ini



sudah, pergilah mbah!

kau adalah kenangan sendiri

yang tak bakal pergi dari dadaku:

harum aromamu!



Jogya-Tanjungpinang, 29 Oktober 2010



GURU



Dalam keheninganku

diamdiam aku sering luruh

dengan denyut jantungmu

seperti angin diamdiam

aku sering menjadi daun



kau ajarkan aku arti amanah

seluas jagat raya, lebih luas

dari sukma, dari bahasa prosa

atau makna indahnya surga



kau tanamkan aku, dimana hati

mesti bisa menyembunyikan isi

kemudian meretas menjadi nyata

juga katakata dan pengharapan



peluklah hujan, rebahkan tubuhmu

agar kau menyatu dengan bumi

katamu, di suatu pagi saat

menyaksikan berita di televisi

para wakil kita tak setia

dengan tangis rakyatnya



Jogya-Tanjungpinang, 29 Oktober 2010





SEBUAH HARAPAN



Aku ingin kau ada berjuta

jutajuta sesaki indonesia



sehingga tanahair tumpah

tanahairdarah tanahairmata



tempat berbakti

tempat menanti

sampai mati



bungabunga yang mekar

langit yang bening

tanpa dusta dan tipudaya



Tanjungpinang, 29 Oktober 2010



*Aguk Irawan MN, salah seorang murid Mbah Maridjan dan Penulis Gareng Berkerjaan Gunung Merapi di buku "Sang Pemberani", Penerbit Koekoesan, Jakarta 2008
MBAH MARIJAN: GARENG BERKERAJAAN GUNUNG MERAPI
oleh Aguk Irawan Mn pada 01 November 2010 jam 8:43

Sumber: Sang Pemberani, Aguk Irawan MN, Penerbit Koekoesan, Jakarta, 2008



Jika selama ini terdapat postulasi yang mengatakan bahwa wong Jowo iku nggone pasemon; manusia jawa itu tempatnya pertamsilan. Maka tidak aneh jika Mbah Marijan selalu menjadi sosok eksentrik yang sarat dengan pasemon (semu). Pasemon itu sendiri sesungguhnya adalah ungkapan bahasa, sworo, begitu menurut istilah Mbah Marijan. Akan tetapi ia tidak bisa dipahami dengan bahasa pada umumnya, melainkan bahasa simbol yang lekat dengan nalar kosmologis dan filsafat metafisik. Karena itu meski melibatkan bahasa, tetapi ia tidak pernah dibatasi bahasa. Barangkali itulah yang membuat sosok Mbah Marijan menjadi sosok kontroversif, fenomenal, dan langka.



Mbah Marijan adalah manusia Jawa yang sarat dengan simbol, berlimpah misteri, dan kesamaran, yang membuat siapa pun menjadi terkagum-kagum dibuatnya. Meski sebagai pribadi ia mengaku bukanlah siapa-siapa, tetapi disadari atau tidak, ia sesungguhnya adalah seorang sosok linuwih (punya kelebihan) yang mampu membaca kenyataan hidup manusia tanpa terkecoh dengan segala yang bersifat semu atau nyemoni. Karenanya hadirnya Mbah Marijan menjadi antidot bagi kesadaran manusia modern tentang besar kecil status seseorang, yang kerap dipandang menentukan besar-kecil perbuatan yang dilakukannya.



Dunia Jawa dan Mbah Marijan, sejelas apa pun ia terkuak, agaknya tetap saja menjadi entitas eksotis yang tidak mudah untuk dipahami. Sebagai orang Jawa, Mbah Marijan adalah diri berlimpah anotasi-anotasi nilai-nilai makna yang rumit, begitu tersembunyi, sublim dan berkabut. Sehingga siapa pun yang gagal melewati nalar simbolisasinya, akan terkapar dalam pemahaman wong jowo ra jawani (Jawa yang bukan Jawa beneran).



Apabila dikaitkan dengan alam, Maka Mbah Marijan, jagat Jawa dan Gunung Merapi adalah tiga entitas yang sama-sama halus (sublim) dan samar. Sehingga saking halusnya, ia kerap nampak seperti tidak ada. Mbah Marijan, tidak lain sosok yang telah begitu jauh hidup meninggalkan ukuran bahasa manusia pada umumnya. Keberadaan sebagai abdi dalem keraton, telah membawanya larut dan hidup dalam alam pasemon (pertamsilan). Dan barangkali siapa pun yang berusaha menguak ihwal Mbah Marijan akan menemukan ruang kabut yang sulit diterka dasar maknanya.



***

Nama aslinya adalah Marijan Raden Ngabehi Mas Panewu Suraksohargo. Nama dibelakangnya “Raden Ngabehi Mas Panewu Suraksohargo” adalah pemberian Sri Sultan Hamungkubuwono IX. Lahir pada tahun 1927, ia sendiri mengaku tidak tahu persis tanggal dan bulan kelahirannya. Ia hanya diberi tahu oleh orang tuanya lahir pada hari Rabu Pon, di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, pada tahun 1927. Sejak lahir sampai usianya setua sekarang (83), dan selama hidupnya ia hanya bermukim pada satu tempat, yaitu di lereng Merapi itu saja. Secara emosional ia merasa menjadi bagian dari Merapi. Secara kultural, Mbah Marijan yang gemar menjalankan "laku prihatin dan tirakat" percaya, di Gunung Merapi ada penguasa yang disebut "bahureksa". Setiap kali Gunung Merapi bergejolak, ia maknai sebagai aktivitas para "bahureksa" itu. Dari hasil pernikahannya dengan Ponirah (73), tetua Dukuh Kinahrejo itu mendapatkan 10 orang anak, yang tersisa tinggal lima orang, karena lima lainnya meninggal dunia. Anak-anak Mbah Marijan mereka adalah Panut Utomo (50), Sutrisno (45), Lestari(40), Sulastri (36), dan Widodo (30), ada yang memilih tinggal di Yogyakarta dan ada pula yang di Jakarta. Mereka itu telah memberi Mbah Marijan 11 cucu dan 6 buyut. Di antara anak-anak Mbah Marijan, juga ada yang siap mewarisi tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi dan kini telah menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Mengenal sekilas Mbah Marijan dengan pandangan kultural dan tradisional yang melekat padanya, barangkali akan tampak potret sosok orang Jawa dengan kearifannya. Mbah Marijan sebagai juru kunci Gunung Merapi, lebih banyak melihat fenomena menggunakan naluri yang merujuk pada kebiasaan niteni (mengamati). Keyakinannya tentang ancaman bahaya letusan Gunung Merapi yang hampir tidak pernah merambah Dukuh Kinahrejo, memberikan pelajaran niteni bahwa lingkungan alam di sisi selatan Gunung Merapi masih merupakan benteng pertahanan bagi warganya.

Mbah Marijan, lelaki yang sehari-harinya mencari nafkah hidup dengan mengolah ladang di lereng Merapi, tidak lain hanyalah sosok “wong ndeso”, yang sederhana, rendah diri, begitu sahaja, dan jauh dari kesan sosok seorang tokoh. Karena itu jauh sebelum April 2006, jarang kalangan masyarakat yang mengenal sosok Mbah Marijan, selain sebagai seorang lelaki tua yang gemar bercanda dan sangat rendah hati. Kerendahan hati dan kesederhanaan pribadi terus memantul dari penampilan dan sikap Mbah Marijan hingga sekarang ini, saat ia telah menjadi legenda. Sosok Mbah Marijan bukanlah orang berpendidikan. Namun, kearifannya sebagai "orang tua" - bukan disebabkan usianya yang 79 tahun, tetapi "orang tua" yang dalam idiom Jawa berarti linuwih atau memiliki daya lebih - menempatkan tokoh yang satu ini sering kali menjadi anutan banyak orang.



Mbah Marijan adalah seorang muslim yang Jawa, dan Jawa yang muslim. Di dusunnya, ia menyandang “ki” sekaligus “kiai”. Menyandang ki, karena ia lekat dengan laku kejawen. Karenanya tidak aneh jika ritual-ritual keagamaan yang dilakukannya dekat dengan tradisi hindu-Jawa, menekuni berbagai kehidupan spiritual dengan cara lelakon dan tirakat.



Namun demikian ia juga muslim yang taat. Di ujung pekarangan rumahnya yang luas, dia bahkan membangun sebuah masjid dengan gaya arsitektur Jawa dan di masjidnya itulah, setiap hari ia menjalankan shalat lima waktu secara teratur dan menjalankan berbagai mujahadah, dan kata warga yang tinggal di daerah itu, ia hampir tak pernah absen menjadi imam pada saat menjalankan shalat lima waktunya. Agaknya, memang sulit untuk melihat kecenderungan penghayatan hidup Mbah Marijan. Karena agama dan tradisi, dalam diri Mbah Marijan seakan telah menjadi dua sisi mata uang yang saling mengisi, antara satu sama lain.



Sebagai seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatan juru kunci, Mbah Marijan juga menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memuntahkan lava pijar dan awan panas wedhus gembel yang membahayakan manusia, dia bersikukuh tidak mau mengungsi. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawabnya terhadap tugas yang diamanatkan Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono.

Dengan penghayatan nilai-nilai hidup seperti itulah, Mbah Marijan menjalani kehidupannya dari waktu ke waktu. Dan dalam hidupnya, ia tidak memiliki keinginan neko-neko (aneh-aneh), selain menjadi abdi dalem Sri Sultan. Sikap ini menjadi sungguh patut diteladani siapa pun. Terutama penghayatannya sebagai manusia yang hidup selalu menerima apa adanya serta selalu ikhlas dengan hidup yang dijalani. Mbah Marijan demikian ia dikenal, bukan sosok yang pernah mengenal bangku sekolahan. Tetapi pandangan-pandangan hidup yang dimilikinya, bisa dianggap jauh melampaui kemampuan seorang yang telah berhasil memperoleh gelar doktor.



Menjadi Juru Kunci



“Saya menjadi juru kunci Gunung Merapi karena melanjutkan tugas orang tua saya yang dahulu sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta”. Tuturnya, kemudian ia melanjutkan perkatannya lagi, “nama Ayah saya.... (Mbah Marijan mendadak berhenti berbicara karena lupa nama pemberian Sultan Hamengkubuwono IX untuk ayahandanya itu. Sejenak ia pergi dan mengambil map berisi "Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono IX". Nama pemberian Ngarsa Dalem pada Ayah saya di serat kekancingan tersebut, adalah Suraksohargo." Mbah Marijan memang tidak hanya mewarisi jabatan abdi dalem juru kunci Gunung Merapi dari almarhum Mas Penewu Suraksohargo. Ia juga memakai nama Suraksohargo - yang arti harfiahnya "menjaga gunung" - sepeninggal bapaknya pada tahun 1982. Sebelumnya, pada tahun 70-an Mbah Marijan telah sering mewakili ayahnya melaksanakan upacara ritual labuhan di puncak Merapi, pada peringatan jumenengan (naik takhta) Sultan HB setiap tanggal 30 Rejeb tahun Saka. Pada awalnya, Mbah Marijan memangku jabatan juru kunci Gunung Merapi dengan pangkat Mantri Juru Kunci. Setelah 13 tahun lamanya, berdasarkan Serat Kekancingan Dalem Ngarsa Dalem Sultan Hamengkubuwono X tanggal 3 Maret 1995, pangkat Mbah Marijan dinaikkan menjadi Mas Penewu Juru Kunci sampai sekarang.



Dimasa-masa awal menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan mendapat gaji sebesar Rp 3.710,- per bulan. Sejak pangkatnya naik menjadi penewu, gajinya meningkat menjadi Rp 5.600,00 per bulan. Mbah Marijan yang gemar guyonan dengan bahasa "plesetan" khas Yogyakarta, menyebut gajinya dengan "lima juta enam ratus ribu rupiah". Gaji yang sebenarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, Mbah Marijan terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habis untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo. Tapi begitu Mbah Marijan tidak pernah mengeluh. Ia justru menunjukkan nilai-nilai kearifan yang luar biasa dalam memaknai pendapatan yang tidak berarti tersebut. "Kalau orang hanya melihat mereka yang berpendapatan besar, pasti dia akan selalu diliputi perasaan serba tidak puas. Sebaliknya, kalau orang mau melihat mereka yang kecil-kecil, berapapun besarnya gaji akan membuat kehidupan terasa nikmat. Saya lihat banyak kok orang yang berpenghasilan kecil. Jadi jangan melihat ke atas, lihatlah ke bawah." Tuturnya.



Sikap dan Pandangan Hidupnya

Dalam bahasa Mbah Marijan yang bersahaja, gejolak alam Gunung Merapi dia terjemahkan dengan isyarat bahwa "Eyang" yang lenggah (bertahta) di Gunung Merapi sedang punya hajat membangun "keraton". Mbah Marijan pantang menggunakan istilah "Gunung Merapi meletus", wedhus gembel atau istilah lain yang terkesan vulgar, menjelaskan, di saat “Eyang” di Gunung Merapi punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal. Di Gunung Merapi, menurut Mbah Marijan, lenggah sejumlah penguasa, di antaranya Eyang Empu Romo, Eyang Empu Permadi dan Eyang Panembahan Sapujagad. Melalui simbolisasi pembersihan di lereng Gunung Merapi, dia bermaksud menyarankan kepada semua orang di kawasan Merapi agar membersihkan hati sehingga menjadi suci dan tidak berbuat macam-macam.

Mbah Marijan menyebut ulah para penambang pasir yang menggunakan "mesin" (begu), termasuk yang harus bertobat, dan tidak nyanding milik nggendhong lali (lalai dan lupa dengan bahwa alam itu tidak hanyalah titipan). Mentang-mentang dekat dengan alam, dan hidup di alam, manusia lupa, alam itu hanyalah titipan Yang Kuasa. Karena itu sebagaimana orang dititipi, manusia seharusnya tidak boleh berbuat semaunya, hingga membuatnya menjadi rusak.



Dia mewanti-wanti (berpesan) agar "orang-orang yang bisa nulis latin" (maksudnya orang-orang berpendidikan) dan pengeruk pasir dengan begu, agar tahu diri dan tahu kedirian, sebagai manusia yang sejatinya hanya hamba, bukanlah tuan yang bisa adigang adigung, adiguna, lupa daratan, lali jumbuhing jeneng dadi manungso kang sejatine dudu sopo-sopo, kejobo mung kawulo (lupa hakikat diri sebagai manusia yang sesungguhnya bukan siapa-siapa selain hamba). Karena itu berlaku seenak perut pada alam, juga pada hidup, sama artinya dengan mengingkari kesejatian diri sebagai hamba, yang seharusnya patuh pada tuannya alias mengaku-aku yang bukan miliknya.



Karena itu menurut Mbah Marijan, manusia itu tidak boleh mudah mengaku-aku akan tetapi ngerti dununging aku, supados jumbuh laku kelawan jeneng (tempatnya diri, sehingga ia selaras dengan hakikat kediriannya). Demikian, ujar-ujar Mbah Marijan di atas agaknya menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi siapa pun.



Pelajaran tersebut sesungguhnya sangat sesuai dengan nilai-nilai kejawaan, juga agama Islam tentang akhlak. Dalam tradisi Jawa misalnya kita barangkali akan menemukan ujar-ujar kontemplatif, mulai dari ojo dumeh (jangan sok, dan jangan mentang-mentang) atau pun ujaran lainnya seperti ojo rumongso biso, ananging bisoo angrumangsani. (Bahwasanya manusia tidak boleh menjadi diri yang merasa tahu, tetapi jadilah diri yang mampu tahu diri).



“Ning nggih niku wau, kulo niku wong tuwo tuwas, tuwo tuwas niku, tuwo kakehan ampas. Dados nek ngomong ora tau pas. Rekane nggih bade angrumangsani. Ning malah dadi kegedhen rumongso, alias tiyang ikang sirahe gedhe. Jane wong cilik, ning ngaku wong gedhe. (Tapi ya itu tadi, saya itu orang tua badannya saja, seperti kelapa, banyak ampasnya tapi tidak memiliki santan. Kalau bicara tidak pernah tepat. Maunya sih bisa tahu diri, tapi malah jadi lupa diri, alias lupa daratan. Sebenarnya orang kecil tapi mengaku jadi orang besar). Demikian aku Mbah Marijan yang seakan mengkritisi dirinya sendiri. Kemudia ia melanjutkan perkataannya, yang terputus lantaran menghisap rokok. “Corone wayang, kulo niku Gareng, tangane cacat, nek mlaku susah, seneng geguyon amargi punokawan”. (Dalam dunia pewayangan, mungkin saya ini Gareng, tangannya cacat, kalau jalan susah, dan sukanya homor karena punokawan, aku Mbah Maridjan sambil menunjuk lukisan karikatur dirinya yang di pajang di dinding) .



Namun lagi-lagi, karena Mbah Marijan adalah pribadi yang hidup dalam alam pasemon. Maka pengakuannya sebagai sosok tak berbeda dengan Gareng, sesungguhnya memiliki jabaran makna yang cukup luas. Bahkan dalam ungkapan itu ia tengah menjelaskan bagaimana gambaran dirinya dalam panggung kehidupan, berikut tentang perenan dan pandangan kosmologi yang dianutnya.



Mungkin gambaran Mbah Marijan dengan Gareng ada benarnya. Gareng adalah seorang hamba sahaya yang hina dina. Dalam kisah pewayangan ia adalah anak sulung dari Semar, berkaki pincang dan bertangan ciker (patah). Namun demikian Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola setelah berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh, raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.



Kisah itu menjabarkan bahwa batur (hamba) atau sosok wong cilik adalah sangat berbeda dengan raja (ratu). Tapi dalam situasi tertentu, manakala seorang hamba tersebut telah memenuhi kehambaannya, tahu kodrat dan dunung (tempat) kediriannya, mengerti juntrung laras penghambaannya, hamba tersebut bukan hanya mampu menjadi raja, bahkan bisa memiliki kedudukan yang melampaui raja. Karena itulah barangkali Mbah Marijan didaulat banyak kalangan sebagai The King of Mountain, raja Gunung Merapi. Meski ia bukan siapa-siapa namun sugih ora simpen, dicintai masyarakat sehingga ia diperlakukan bak seorang raja.



"Kula niki tiyang 'kmpl". Napa to 'kmpl' niku? 'Kmpl' niku kemplot. Dados kula mboten ngertos Gunung Merapi badhe mbledos napa mboten. Awit Gunung Merapi punika wewados. Namung ingkang Maha Kuwaos ingkang priksa. Menawi kula mbukak wewados, ibaratipun mbukak lawangipun ingkang Maha Kuwoso. (Saya ini orang 'kmpl'. Apa arti 'kmpl'? 'Kmpl' itu singkatan dari 'kemplot'. Jadi saya tidak tahu Gunung Merapi akan meletus atau tidak. Itu rahasia yang Mahakuasa. Kalau saya buka rahasia, ibaratnya membuka pintu rahasia yang Mahakuasa. Lah saya ko’ hebat sekali, hahaha)," tuturnya dalam nada jenaka.



"Kalau Eyang Merapi sedang ewuh (aktif), bahayanya manglung (mengarah) ke selatan. Supaya kita semua terhindar dari bahaya, ya jangan merusak (alam). Kita harus memelihara. Kalau Gunung Merapi dipelihara, batu-batu itu akan menyingkir," kisah Mbah Marijan yang tetap penuh makna simbolis. Menurut dia, Gunung Merapi adalah pusarnya jagad di Tanah Jawa. Dia juga percaya Gunung Merapi adalah gunung yang hidup, yang akan senantiasa bertambah dan berubah, sehingga jika memang Gunung Merapi meletus berarti gunung berapi yang paling aktif di dunia itu sedang "berubah" atau "bertambah". Dan jika menghadapi situasi tersebut, dia mengajak kepada siapapun untuk memohon keselamatan kepada yang Mahakuasa agar terhindar dari bahaya. Karenanya Mbah Marijan memulainya dengan melakukan ritual tirakatan dan doa-doa dengan cara berjalan mengelilingi Dukuh Kinahrejo tiga putaran setiap malam. Mbah Marijan pada saat itu berpuasa secara islam dan diselengi dengan puasa mutih (hanya makan sekepal nasi atau singkong tanpa garam) dan minum air tawar. Di samping itu, masyarakat Dukuh Kinahrejo diminta memasang sesaji tolak bala berupa "ketupat luar" yang ditempatkan di atas pintu. Ketupat dari janur kuning tersebut bermakna simbolis agar warga yang memasangnya "keluar" dari bencana. Di dalam ketupat, Mbah Marijan minta agar diisi garam dan daun sirih. Makna simbolisnya, "daun sirih" adalah lambang Gunung Merapi dan "garam" lambang dari Samudera Indonesia atau Laut Selatan. Keduanya dalam pandangan supranatural berada dalam satu poros imajiner dan merupakan kekuatan spiritual bagi Keraton Yogyakarta. Entah disadari atau tidak, secara kebetulan lokasi permukiman Mbah Marijan di Dukuh Kinahrejo relatif terlindung dari ancaman awan panas Gunung Merapi, karena berada di balik tebing yang disebut geger boyo (punggung buaya). Tebing yang dari kejauhan tampak seperti punggung buaya dengan kepala mengarah ke atas itu, dianggap warga lereng Merapi sebagai "benteng pertahanan" dari serangan awan panas wedhus gembel.

Bertolak dari kesetiaan akan tanggungjawabnya itu pulalah, barangkali Mbah Marijan menolak meninggalkan Dukuh Kinahrejo tanpa perintah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sewaktu Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta warga lereng Merapi di daerah berbahaya agar mengungsi, Mbah Marijan berujar masih dengan bahasa Jawa yang kental, "Sebelum menyalahkan orang lain, seharusnya orang menyalahkan diri sendiri dahulu. Pak Jusuf Kalla benar. Tetapi, kalau meminta warga mengungsi, ya tolonglah pemerintah memberi uang kepada warga di pengungsian."



Demikian Mbah Marijan adalah sosok yang begitu sederhana. Penampilannya yang ndeso, lugu dan apa adanya, membuatnya menjadi sosok yang jauh dari kesan seorang tokoh. Dalam banyak ukuran, Mbah Marijan bahkan lebih layak dipandang sebagai “wong gunung” yang bodoh, dan gampang dibodohi. Hanya saja dalam penampilannya yang serba bersahaja, dan terlihat bodoh, Mbah Marijan sesungguhnya bukanlah manusia yang bodoh, melainkan sebaliknya, ia adalah sosok pribadi yang justru sungguh-sungguh tahu, bahwa menjadi diri yang merasa tahu bukanlah sifat yang semestinya dimiliki oleh manusia. Bagi Mbah Marijan diri yang tahu adalah diri yang tahu diri, karenanya ia tidak mudah mengaku, dan memastikan sesuatu yang memang sungguh-sungguh ia tidak mengetahui. Diri yang sungguh-sungguh tahu diri adalah diri yang mengetahui bahwa ia sesungguhnya tidak tahu.



Makna Keberanian



Merapi yang pada mulanya damai, sahaja dan bersahabat, sejak April 2006 tiba-tiba menjadi penebar maut yang sangat mengerikan. Diiringgi dengan guncangan gempa yang susul menyusul, lereng Merapi tiba-tiba menjadi kawasan yang mencekam dan sangat berbahaya. Keluarnya awan panas beracun dari Gunung Merapi, yang konon mencapai 800 drajat celsius, menjadi tanda bahwa kehidupan di seluruh kawasan lereng Merapi terancam alami kepunahan.



Awalnya Sri Sultan HB X memerintahkan kepada Mbah Marijan untuk meninggalkan lereng Merapi yang waktu itu dinyatakan gawat karena aktifitasnya meningkat dan membahayakan, di susul dengan beberapa kali ledakan kecil, munculnya awan panas yang terkenal dengan sebutan wedhus gembel (kambing berbulu lebat ), karena bentuk awannya yang mirip dengan binatang tersebut. Atas perintah tersebut Mbah Marijan menolak, mbalelo, dengan alasan bahwa sudah menjadi kewajibannya menjaga Merapi seperti perintah Sri Sultan HB IX, Sultan Jogja sebelumnya.



Kemencekaman itu makin meningkat seiring dengan aktivitas Merapi yang juga terus meningkat. Tidak ada pilihan lain. Satu-satunya cara yang paling masuk akal, jika ingin selamat dari amukan Merapi adalah menyingkir dari sisinya. Menyadari hal itu Sri Sultan Hamengkubowono X menyuruh pada seluruh warga untuk pergi mengungsi menyelamatkan diri dari amukan Merapi, dan tinggal di pos-pos pengungsian yang telah di dirikan di berbagai tempat. Karena menurut penglihatan Sri Sultan 10 hari lagi, Merapi akan meletus. Pernyataan dan perintah ini dikuatkan pula dengan pengamatan BMG (Badang Meteorologi dan Geofisika) dan badan vulkanologi, bahwa letusan Merapi tinggal menghitung hari saja.



Namun berbeda dengan apa yang dilihat dan disadari Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi itu. Penetapan situasi genting kondisi Merapi, tidak juga diindahkan Mbah Marijan. Di tengah-tengah hiruk-pikuk masyarakat melakukan pengungsian, Mbah Marijan justru berbuat sebaliknya, naik ke puncak Gunung Merapi seorang diri. Mbah Marijan seolah-olah menghilang. Selama dua hari dua malam, ternyata Mbah Marijan berada di Paseban Srimanganti, salah satu lokasi ritual sesaji "labuhan" di lereng Merapi yang berjarak 2,5 kilometer dari puncak.


Tindakan kontroversi tersebut tidak berhenti hingga di situ. Seusai dari puncak Merapi, Mbah Marijan bahkan memutuskan tidak akan mengungsi, dan melarang siapa pun yang berucap bahwa Merapi akan meletus. Sikap tersebut diikuti warga dusun Kinahrejo, dusun di mana Mbah Marijan tinggal. Di mana banyak warga yang memutuskan tidak akan mengungsi selama Mbah Marijan tidak mengungsi.



Apa yang dilakukan Mbah Marijan tentu saja mengundang berderet tanda tanya. Namun demikian pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggantung di udara, bahkan hingga juli 2006, saat aktivitas Merapi berhenti.



“Hidup matiku ada di lereng Merapi”, dengan kesadaran seperti itulah Mbah Marijan tetap bertahan di lereng Merapi. Mendengar kesetian abdinya tersebut, Sri Sultan sangat terharu. Bukan hanya itu, Sri Sultan bahkan seperti mendapat kesadaran, pencerahan, bahwa kesetiaan itu lebih dari segalanya, itu sebabnya beliau kemudian memutuskan untuk tidak mau boyongan ke Jakarta, beliau memutuskan untuk tetap menjadi Sultan saja, menjadi Raja di Jogja, mengayomi rakyatnya, itu jawaban yang di sampaikan Sri Sultan pada Pisowanan Ageng yang di selenggarakan pada tanggal 18 April 2006 lalu, mulai pukul 1 : 00 siang hingga pukul 14 : 30 wib. Dan pernyataan tersebut jugalah yang pernah beliau sampaikan dalam konperensi pers jauh-jauh sebelumnya.



Ketika menguraikan makna “keberanian”, ia menuturkan, “nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani, amergo wani kui dudu kumowani, ananging nuwoni lan nuhoni”. (Kalau berani jangan merasa takut, kalau memang takut jangan memaksa memberanikan diri, sebab sikap berani itu tidak sama arti dengan sikap menantang, tetapi keberanian itu adalah sebuah sikap pantang mundur karena kewajiban dan sebuah tanggung jawab). Dan ia mencoba menguraikan makna keberanian lagi dengan ungkapan, “sejatineng wani iku wani netepi jeneng, jeneng menungso iku dudu sopo-sopo kejobo mong kawulo, mangkane menungso iku ora patut ndisi’i kerso karo sing Kuoso”. (Keberanian sejatinya adalah mengetahuai dimana letak panggilan hidupnya untuk mengabdi, karena manusia itu bukan siapa-siapa, kecuali hanya hamba. Maka tidaklah sepatutnya mendahului kehendak Sang Kuasa).



Menurut hemat Mbah Marijan, dia berani bersuara beda dengan orang-orang ahli di bidang vulkanologi, juga berani bersebarangan pendapat dengan Sri Sultan Hamungkubowono X mengenai status Gunung Merapi yang sudah diambang kegentingan, adalah karena ia berpandangan bahwa manusia itu punya kebebasan sendiri untuk berpendapat sesuai dengan “ngelmu”nya masing-masing. Dan ilmu sesungguhnya tidak pernah memandang sepele seseorang, meski tinggal di lereng Gunung Merapi sekalipun. Selain itu ia mempunyai falsafah hidup bahwa manusia di sisi Allah itu bukan siapa-siapa, melainkan mahluk yang sangat lemah. Karenanya ia menghimbau tidak patut bagi manusia untuk bersikap arogan, dengan merasa paling ngerti sendiri, apalagi sampai merasa mengetahui lebih dulu sebelum Allah menampakkan-Nya.



Tiga Unsur Falsafah Keberanian



Mbah Marijan bilang, nek wani ojo wedi-wedi, nek wedi ojo wani-wani, amergo wani kui dudu kumowani, ananging nuwoni lan nuhoni. Tiga falsafah keberanian ini menurutnya sesuai dengan ngelmu sangkan paran. Yaitu urip iki soko sopo? (Hidup itu dari siapa?) Urip iki pungkasane piye? (Hidup itu tujuannya kemana?) Dan urip iki arep ngapo? (Hidup itu maunya apa?). Di bawah ini adalah penjelasannya:



Falsafah Pertama, orang harus menyadari bahwa hidup itu dari siapa? Setelah kita menyadari bahwa hidup ini adalah murni anugerah yang Maha Pemurah, yaitu dari Gusti Allah (Tuhan), maka selanjutnya adalah mensyukuri anugerah itu, lalu berani lelakon (berani mengemban tugas dan kewajiban) untuk menjalani hidup. Lah, kalau sudah berani jangan tanggung-tanggung (nek wani ojo wedi-wedi), tetapi berbuatlah sebanyak-banyaknya, sebaik-baiknya yang mana hasil tindakan itu bisa kita rasakan manfaatnya, juga manfaat buat sesama. Untuk melakukan semua itu butuh keyakinan, dan keyakinan itu akan terpaut dengan ilmu.



Falsafah Kedua, orang harus menyadari bahwa hidup itu tujuannya kemana? Setelah kita menyadari bahwa hidup kita itu punya tujuan, maka selanjutnya kita harus berani memilih, memilih mau bertindak apa, dan menjadi apa. Dan ingatlah bahwa setiap pilihan itu menanggung resiko, makanya nek wedi ojo wani-wani (kalau takut jangan sok berani). Artinya kalau kita ini menyadari sebagai orang kecil, janganlah merasa jadi orang besar, atau memaksakan diri jadi orang besar, karena itu besar resikonya. Sama halnya kalau kita sudah cukup dengan uang sepuluh ribu untuk makan sehari, kenapa harus memaksakan diri untuk mendapatkan sejuta dalam sehari, dan sikap yang memaksakan seperti ini justru bisa membahayakan diri kita sendiri.



Falsafah ketiga, orang harus menyadari, hidup itu maunya apa? Setelah sadar bahwa setiap saat kita pasti punya kemauan (tujuan), target dan cita-cita, maka orang tentu tak boleh berpangku tangan. Dan tanpa adanya kesadaran seperti ini, pasti kita merasa seperti tak berguna. Tetapi mau, juga jangan semau-maunya, misalnya mentang-mentang jadi pejabat langsung semena-mena terhadap bawahannya, atau merasa paling jagoan, siapapun dilawan tanpa tahu siapa sebenarnya musuhnya, iya kalau musuh itu tidak lebih kuat dari kita. Lah kalau lebih kuat, bukankah justru itu mengancam keselamatan diri kita. Makanya sikap berani itu tidak sama arti dengan sikap yang menantang, tetapi keberanian itu adalah sebuah sikap pantang mundur karena kewajiban dan tanggung jawabnya, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial (amergo wani kui dudu kumowani, ananging nuwoni lan nuhoni). Karena itu kalau jadi petani ya rajinlah ke sawah, kalau jadi polisi ya lindungilah rakyat, jadi MPR ya perjuangkan hak-hak dan nasib rakyat dan seterusnya, jangan dibolak-balik. Seperti jadi petani ko’ malas ke sawah, tetapi selalu mendatangi gedung MPR, itu namanya kewanen, atau kumowani dan itu bukanlah sifat seorang pemberani.



Berani Menerima Kegagalan



Tugas pokok Mbah Marijan sebagai abdi dalem juru kunci Gunung Merapi, adalah melaksanakan upacara ritual labuhan di pelataran Pos II pendakian yang disebut Paseban Labuhan Dalem yang berjarak satu kilometer dari puncak Merapi. Di samping itu, baik Paseban Srimanganti maupun Paseban Labuhan Dalem yang menjadi tanggung jawabnya, selalu dibersihkan pada saat-saat tertentu, seperti tatkala Mbah Marijan selesai melaksanakan laku tirakat dua hari di Paseban Srimanganti. Setiap kali melaksanakan tugas upacara ritual labuhan, Mbah Marijan dibantu 13 orang yang siap menggantikan tugas sebagai juru kunci jika kelak keturunan Mbah Marijan tidak ada yang mewarisi tugas tersebut.

Sebelum akhirnya kita mengetahui bahwa ternyata ‘kenyataan’ berada dipihak Mbah Marijan, tentu dalam hati kita bertanya, kenapa si Mbah punya keyakinan, bahwa Gunung Merapi menurutnya hanya batuk-batuk biasa, dan tak perlu dirisaukan. Pemikiran dan kesadaran seperti apa sesungguhnya yang melatar belakangi Mbah Marijan hingga ia berani naik ke puncak Gunung Merapi di tengah situasi genting ditetapkan? Dan kesadaran seperti apakah yang membuat Mbah Marijan berani menolak untuk mengungsi?



Berkenaan dengan itu, ia menjawab, “saya ini orang bodoh, tidak berpengetahuan, sekolah saja hanya semeleketeh (tingkatan paling bawah). Karena saya menyadari sebagai orang yang bodoh, makanya saya mencoba dikit demi sedikit ngumbe roso (belajar peka dengan perasaan), ngombe pengerten (belajar memperdalam pengertian), lan ngombe lelakon (belajar menyelami laku hidup). Dengan itu saya berusaha sadar, bahwa saya ini hidup tidak saja mong urip-uripan thok (sekedar hidup dan bernafas saja), tetapi hidup saya harus punya arti, setidaknya arti dalam pandangan saya sendiri. Makanya orang bodoh seperti saya ini ya bisanya hanya begini-begini. Kalau orang pandai menyalahkan saya itu wajar saja! Lah saya memang benar-nener tiang (orang) bodoh. Karena kebodohan itulah, makanya pada saat itu, saya sama sekali belum khawatir akan terjadi apa-apa. Sebab Eyang yang lenggah di Merapi dalam wineruku (pengetahuantku) masih sabar, baik menjaga orang-orang yang tulus, maupun orang-orang yang sudah berbuat macam-macam," ujarnya.


Ketika didesak, kenapa saat itu tidak patuh pada Sri Sultan? Ia menjawab. “Perintah mengungsi itu kan disampaikan Kanjeng Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur. Ngarsa Dalem Kanjeng Sultan sendiri belum paring dhawuh (memerintahkan). Harus dibedakan, mana Gubernur dan mana Ngarsa Dalem karena berbeda aturannya…" Kilahnya.



Katakanlah memang ada perbedaan mekanisme antara sistem Gubenuran dan Ngarsa Dalem, tapi perintah itu to tetap keluar dari satu mulut, yaitu dari Sri Sultan, tetapi kenapa si Mbah masih saja tetap bertahan dan kenapa perintah ini tidak disampaikan ke masyarakat yang tinggal di sekeliling Merapi? Mengenai ini, ia menuturkan: “Kalau kita meminum sesuatu, ternyata minuman itu tidak cocok dengan lidah kita, masak tidak boleh dilepeh (dimuntahkan) lagi? Meski semua orang bilang itu manis, tapi kalau lidah saya merasakan pahit?”. Kelitnya lagi.



Lagi, ketika ditanya, andai saja, saat itu Merapi benar-benar meletus, apa Mbah Marijan tidak kecelek? (ketahuan salahnya), dan kira-kira bagaimana pertanggung jawaban Mbah pada masyarakat saat itu? Ia lalu menjawab dengan suara kalem: “Alhamdulillah nyatanya tidak meletus to?, itu pertama, kedua, jika memang meletus, ya kenapa harus takut kecelek? Bukankah hidup ini sudah biasa dengan hal-hal seperti kesasar, tersesat, dan keliru? Meski manusia tidak mau hidupnya yang demikian itu, tapi adakalanya kita memang harus ikhlas menerima dalam kondisi yang gak enak itu. Intinya berani hidup ya harus berani mati, atau kalau berani sukses juga harus berani gagal, asalkan kegagalan ini awalnya dimulai dengan kesungguhan”. Imbuhnya.



Terakhir kali ketika ditanya, bahwa bukankah perkiraan BMG itu lebih akurat daripada pendapat seperti lelakonnya si Mbah? Ia pun menjawab, “kita harus menghargai pendapat masing-masing dari kita, karena dengan menghargai itu, kita tahu bahwa keyakinan akan kebenaran itu bukan milik seorang saja tetapi milik bersama. Yang penting dan perlu disadari adalah bahwa kita tak boleh memaksa orang lain untuk mengakui bahwa pendapat kita itulah yang paling benar. Dan yang paling penting lagi, bahwa kita harus bisa menjalani tugas, sesuai dengan panggilan hidup dan tanggungjawab kita masing-masing. Kalau jadi Lurah, ya jadilah Lurah yang baik, jadi Camat ya Camat yang baik, begitu halnya dengan yang lainnya. Dan bahasa Lurah, Camat dan Bupati bisa jadi berbeda, tapi kalau tujuannya sama demi kemaslahatan rakyat kan itu semua baik”. Paparnya.



*Tulisan ini dibuat dari hasil wawancara dengan Mbah Marijan, di rumahnya, Kinahrejo, Rabu Pahing, 7 November 2007 
Kota hanyalah kata. Kitalah yang terus mengada, atas segala bentuknya. Kota adalah kita. Yang terus bergerak dan berkata-kata. Yang terus bersuara dengan kepentingan yang sangat beraneka. Manakala pasar harus terbakar, jelas karena api dalam dada dan tengkorak kita yang... terus berkobar. Manakala gunung harus berubah jadi telaga, itu pun karena kita terus bergerak untuk membangun impian yang kita inginkan. Untuk itu, jangan halangi gerak kami, yang kini tengah berusaha ‘menggali’ tanah alon-alon sebuah kota. Sebab, kami tahu, di situlah seperangkat gamelan telah dikubur dalam-dalam. Giri Sungsang...!
Tadabur Cinta II
oleh Imron Tohari pada 04 November 2010 jam 23:51



saat aku menata huruf

di ladang cinta, benih-benih tetirah rindu

; adalah cahaya bulan mengecup lembut seroja

dan kerlip kunang melukis bayang di renda malam



o, di ladang cinta, betapa aku rindu Kekasih

senantiasa berharap mengada

melebur dalam ritus sunyi, pecinta

tiada yang lebih meruang

selain hening: dalam keheningan!