Jumat, 05 November 2010

puisi abdul azis sukarno

AKDIRKUKAH INI?

aku bangkit dari tidur panjang,
untuk tidur yang lebih panjang lagi

aku bergegas membuka selimut,
untuk menggantikannya dengan kain yang lebih tebal lagi

dan begitulah,
pagi demi pagi kubiarkan melewatiku tanpa permisi,
tanpa keresahan dan sakit hati

sebab, aku ingin mati dalam hidupku berulang kali
dan hidup dalam matiku tak henti-henti

seperti saat ini
saat Kau seolah melarang aku
untuk dapat menulis puisi!

Pringgolayan, Yk, 2005

TRAGIS

aku ingin bersembunyi dalam rumah bekicot
lalu bergerak perlahan-lahan
meninggalkan kota ini
pergi menuju hutan sunyi

di sana aku akan menulis puisi
tentang kesedihan seekor binatang lembek
yang kandangnya hilang dicuri entah oleh siapa
hanya aku yang tahu

“ya, tuhan,” katanya,
“bagaimana aku bisa hidup dengan tubuh seperti ini?
tanpa rumah berarti tanpa nyawa bagiku.”
ucapnya lagi seraya berkelojot-kelojot akan mati
kubayangkan, menyedihkannya ia
berhari-hari kerjanya pasti menangis dan tak bisa apa-apa
hingga kondisinya melemah dan pet!
tamatlah riwayatnya.

sungguh mengharukan bila aku menulis puisi seperti ini
tapi, sungguh memalukan jika harus kembali
dan melihat mayat bekicot yang asli.

Pringgolayan, Yk, 2006

SIAPAKAH CECAK ITU?

siapakah cecak itu
yang terjebak dalam gelas sisa kopi tadi malam
aku ataukah kau?
lihatlah baik-baik,
bagaimana cara ingin membebaskan dirinya
begitu sukar, bukan?
meski bergerak sekuat tenaga
meski berusaha sekeras baja
ia tetap di tempatnya
lebih keras lagi, lebih terjerembab ke dalamnya
menangiskah ia? mungkin
diam atau tidak diam, baginya sama saja
menyesalkah ia? mungkin
tapi sisa kopi tetaplah sisa kopi
sesuatu yang siap dibuang sebelum gelas dibersihkan
dan lihatlah kembali baik-baik
Ia kini hampir sekarat
dengan tubuh terbalik dan mengambang
ia megap-megap
namun, adakah yang peduli padanya?

Pringgolayan, Yk, 2006

SEPULUH TAHUN SUDAH

sepuluh tahun sudah
kusimpan mayat penyair dalam tubuhku
dan sepuluh tahun sudah
aku berjalan menjadi keranda baginya
hari-hariku pun hidup bersama bangkai dan
sisa puisi yang pernah ditulisnya.

“kenapa tak kau kubur saja ia?”
tanya seseorang, seolah ingin meringankan bebanku
tapi aku hanya tersenyum, lalu kujawab
“tidak, sebab ia kini telah menyatu denganku.
Menguburnya berarti mengubur diri sendiri.”

kau akan kepayahan, zis,” katanya lagi
“ya, aku akan kepayahan karena menggotongnya siang dan malam,
namun akan lebih kepayahan jika aku mesti berpisah dengannya.”

sepuluh tahun sudah
aku mencoba setia dengannya
meminjamkan nyawa untuknya
bahkan jika perlu, kutukar posisinya!

Pringgolayan, Yk, 2006

JADIKAN AKU DEBU

aku sengaja merebahkan diri,
agar kau tak perlu menikamku dari belakang
agar kau bebas melumatkan kesumatmu
agar kau tahu, betapa banyaknya kesempatan
yang dianugerahkan waktu padamu

jika luka dapat diobati dengan luka
jika isak tangis dapat dihibur dengan isak tangis
lakukanlah, karena kau
tidak akan pernah berlutut mencium kakimu
seperti seorang pengecut tertawan ke pihak musuh
cepatlah, aku tertidur
dan bermimpi indah bertemu gadis lembut berjilbab biru
cepatlah, buat aku mengaduh
lepaskan pisau beracun itu dari bola matamu
lepaskan panah kebencian itu dari busur hatimu
tancapkan ke tubuhku, tak perlu ragu
anggaplah ini semua demi senyummu.
demi kebahagiaanmu. Demi rasa cintamu padaku
lalu bakarlah jasadku. jadikan aku abu.
dan biarkan angin menerbangkanmu menjadi debu.
menjadi debu.

barangkali dengan ini, aku dapat menyembuhkan sakitmu
yang selalu kau bilang telah membeku dan membatu!

Pringgolayan, Yk, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar