Jumat, 05 November 2010

Puisi-Puisi Farhan Satria di Harian Semarang. Sabtu, 30 Oktober 2010
oleh Farhan Satria pada 30 Oktober 2010 jam 17:42

Sinang memimpikanmu



mbak, semalam sinang memimpikanmu

kau menggendong dan menyuapinya

lima tahun kini ia

kemarin pagi sudah mulai sekolah



Sinang bertanya, apakah engkau cantik

seperti yang menggendongnya di mimpi

apakah engkau juga memimpikannya



hari ini ku ajak ia di rumah abadimu

ku katakan bahwa ibumu ini Nang

lebih cantik dari bidadari

ibumu selalu memimpikanmu

sejak kau dikandung

ketika kau membuka mata di dunia

dan ia tetap cantik

saat kau menjadikannya tiada





lanskap mataair penyair

-dari segala ilmu yang kau berikan padaku, guru dan sahabatku; sawali tuhusetya



Bila kau memulai pengembaraan kata, mulailah pengembaraan di dalam sumur. Sebab di sana airsuci menggenangkan kata-kata yang setiap saat bisa kau timba. Meski harus bersitegang dengan tinta dan kertas setiap kali kau menarikan airmatamu



Yakinlah, dalam sumur pengembaraan itu aku senantiasa terjaga dan mengalirkan mataair keriuhan padang inginmu





belajar membuat sumur



pagi ini ibu mengajari kami membuat sumur

kami menggali sumur hingga dasar yang berair

-dengan belajar menggali, kelak kami bisa menutup lubang

negri, menggali tambal kehidupan



sumur yang kami buat berlimpah dan jernih airnya

kami berkaca di mukanya

setelah lama memperjelas nasib

lalu kami mencuci segala najis

sebelum bertamu menghampar sajadah



kejernihan air sumur yang kami buat

kami gunakan menyiram kembang

yang ibu tanam di atas batu-batu kapur

hingga berbunga wangi

dengan rabuk airmata ibu



ibu juga mengajari kami cara mandi

dengan air sumur yang kami buat

agar kelak kami mandiri

bisa mandi sendiri

memandikan ibu

saat ia

tertidur

abadi





KAU, SINGKAWANG dan PUISI


: Hanna Fransisca



dari singkawang

sebelum matahari terbit

t'lah kau panjatkan doa senja



tentang kita yang lupa jalan

tentang merpati hitam putih

tentang mimpi camar laut

tentang layang layang

semuanya terpanah api,

terkawal gigi angin

bercerita ratapan bumi pertiwi



dari singkawang

t'lah kau titipkan surat layar biru

pada tirai hujan dan nyanyian rindu

tentang kenangan sebuah pulau

tentang kuburan meiyang tak pernah matidari hujan puisi



dari singkawang

saat pesta api bersama dipagi hari

saat bening sungaiku

saat sisa senja menepi

saat kau menulis puisi

saat jari mengurai hati

saat kau sepenuhnya



; penyair





K 3 B K

segelas kopi

petikan gitar bolong

lintingan tembakau trotoar hangat

jadi saksi pertemuan kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar