Jumat, 25 Februari 2011

Untuk "Suatu" Metafora
(Catatan pendek penghantar diskusi Being Community)

“metaphor intrinsically transcendental”.

Frase di atas saya temukan dari buku History and Tropology: The Rise and Fall of Metaphor karya Ankersmit, F. R. Kalimat ini semakin menambah kurang paham saya ketika metafor dibaca dalam perspektif filsafat—seperti teman-teman Being mau—lengkap dengan sejarah, tokoh dan cabang ranah pemikirannya. Sejauh ini, sebagai penulis dan penyuka sastra (puisi), saya memperlakukan metafor sebagai alat untuk membebaskan dan menghadirkan imajinasi dalam puisi-puisi saya. Soal perspektif filsafatnya, biar Being nanti membingkainya dan teman-teman sendiri yang bertanggung jawab mempersoalkannya.

Merunut kepada F. R. Kalimat, metafor adalah proposing that we see one thing in terms of another, sebuah perangkat kata, frase, atau bahasa yang bisa menghantarkan makna yang mendua dan lebih. Apakah makna mendua tadi sebagai absurditas ataupun ambivalensi adalah bergantung kepada interpretasi-interpretasi yang hadir berikutnya. Yang jelas bahwa kehadiran makna yang terikat (meaning-governed) dan makna yang bisa dibuat (meaning-making) akan menjadi salah satu yang menyertai laku metafor.

Dalam keseharian hidup sulit menggindar dari kelindan metafor. Dan ajaibnya, hidup itu sendiri memang metafor, dalam artian yang luas. Ia menyusun makna sendiri di balik simbol-simbol yang ada di dalamnya, baik menjadi makna referensi ataupun makna tekstual. Dalam konteks inilah metafor menjadi perlu dibicarakan agar ‘kekayaan’ dan kembang kehidupan itu bisa didiskusikan dan dipahami.

Sebagai seorang penulis puisi, saya kerap menemukan metafor sebagai media yang bisa merancang dan menemukan impossile world yang hendak saya ciptakan. Upaya untuk melangkah ke sana, saya kerap memperlakukan bahasa, dengan simbol-simbolnya, hadir sebagai sosok yang ambigu dan ambivalen. Saya merasakan teks yang bisa lepas dari makna referensial (makna dari luar bahasa) namun melulu mengacu kepada makna tekstualnya, makna yang ditimbulkan dalam-bahasa tanpa mengaitkan kepada yang di luar (bahasa), menjadi satu-satunya kunci saya bisa bermain bebas dengan metafor. Metafor akan muncul dalam tugasnya yang menyurutkan kekuatan mainstrim referensial yang kerap mengklaim.

Dan, metafor tidak boleh hanya menjadi menara bahasa yang tak boleh disentuh. Namun ia harus ditarik ke dalam interpretasi dan pemaknaan. Sehingga, dalam konteks ini, Paul Ricoeur (dari Ignas Kleden, 2004: 161) memberikan cirikhas metafor yang penting sekali dikaji, yaitu (munculnya) keteganangan di antara fungsi identifikasi dan fungsi prediksi, atau dengan istilah mudah, antara subjek dan predikat. Identifikasi berfungsi membatasi, sedangkan prediksi membuka kembali pembatasan. Dua istilah ini akan sangat pas ketika dikontekskan dalam pengkajian karya sastra seperti cerpen atau pun novel. Upaya Ricoeur ini hanya ingin memetakan kerja metafor demi mencapai makna yang maksimal.

Bagi saya, metafor sangat penting ada. Ia akan menjadi pelentur (purifier) di tengah ketegangan-ketegangan pemaksaan pemahaman yang dikalim oleh satu atau dua orang tentang makna otoritas. Di tengah orang-orang mempersoalkan materi, uang, jabatan, kekuasaan, dan bahkan kekerasan, seorang penyair, orang yang selalu bergulat dengan metafor, akan menjadi sosok lain, yang bebas dari kesibukan-kesibukan yang dipaksakan oleh dunia dan sistem-sistemnya. Beginilah yang kemudian memaksa penyair terus bergulat mencairkan yang keras dan mendinginkan tensi, tidak mempersoalkan yang berat.

Begitu juga metafor, menyusup ke dalam setiap bahasa dengan kapasitasnya yang lentur sehingga semua orang bisa menemukannya namun kadang sulit memahaminya. Ya, memang benar bahwa metaphor intrinsically transcendental.

Yogyakarta, Selasa, Februari 10, 2009
Bernando J. Sujibto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar