Selasa, 30 November 2010

Monolog “SARIMIN” Butet Kartaredjasa
Diterbitkan Desember 11, 2007 Monolog , Teater 8 Komentar - komentar
Tag:Monolog, Sarimin, Teater

sarimin-butet-wp.jpg

UPAYA MEMANUSIAKAN GAGASAN

Bagaimana ide kreatif dan proses pengolahan gagasan monolog Sarimin yang ditulis Agus Noor dan dimainkan Butet Kartaredjasa berkembang? Inilah catatan seputar proses kreatif monolog Sarimin itu…

Ketika Pak Prajoto “memprovokasi” kami untuk mengangkat tema hukum dalam monolog, kami agak gemetar juga. Pertama, karena tema hukum sudah barang tentu sebuah tema yang besar dan (mungkin malah cenderung) abstrak. Tema seperti itu jelas akan membawa implikasi tersendiri: kalau kami tak hati-hati, maka kami akan terjebak dalam lakon yang bombastis dan jargonis. Kedua, persoalan hukum dengan segala carut-marutnya, barangkali sudah terlalu menjadi rahasia umum. Artinya, segala borok sistem hukum di republik ini, bukanlah hal yang aneh lagi. Bila kami melakonkan hal itu, sudah tentu akan menjadi truisme atau mengafirmasi apa yang sudah diketahui, yang berakibat bisa menjadi klise-klise yang makin membosankan.
Celakanya, Pak Projoto dengan kemampuan persuasifnya yang jauh lebih cerdas dibanding para juru kampanye yang ada di Indonesia, berhasil meyakinkan kami untuk mengolah tema hukum itu. Ia mengajak kami untuk memahami tema itu tidak melalui pengertian-pengertian abstrak, tetapi membawa kami pada “situasi” dan “kondisi” yang terjadi. Maka kami (dalam hal ini Butet Kartaredjasa dan Agus Noor) diajak oleh Pak Prajoto untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan berdiskusi dengan Ruhut M. Pangaribuan. Dengan begitu fasih, Ruhut memberi gambaran situasional tentang sistem hukum dan peradilan. Terus terang, kami merasa tercerahkan.
Pertemuan-pertemuan itu telah membuat kami menemukan peluang untuk mulai menggarap lakon dimaksud. Paling tidak kami telah menemukan kata kunci: “situasi” — yakni kata kunci yang kami pikir bisa menjembatani tema dengan bentuk pertunjukan. Yakni, kami mesti masuk ke dalam “situasi” bukan “abstraksi”. Kami seperti menemukan jalan bagi pertunjukan kami nanti. Kami bayangkan, lakon adalah sebuah “situasi” yang mampu menghadirkan secara konkrit pengalaman seseorang (manusia) dalam proses dan sistem hukum itu. Dari situlah kami kemudian merancang satu cara bercerita dan struktur pertunjukan yang kira-kira bisa menghadirkan “situasi” itu. Situasi, dalam sebuah lakon, berarti peristiwa dan suasana. Maka pola bercerita lakon ini pun lebih bertumpu pada sebuah upaya untuk menghadirkan peristiwa dan suasana seperti itu.
Setidaknya, ini akan memberi penekanan yang berbeda di banding dengan lakon-lakon monolog yang telah kami kerjakan, seperti Matinya Toekang Kritik, misalnya. Bahkan, mungkin boleh dibilang keluar dari konvensi pertunjukan monolog pada umumnya. Kita tahu, pertunjukan monolog memiliki pola penceritaan yang cenderung langsung, lebih bersifat ujaran, satu story telling, dimana kisah diceritakan oleh aktor kepada penonton. Inilah yang ingin kami ubah dalam pertunjukan ini. Kami ingin mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai oleh bentuk pertunjukan monolog. Yakni dengan cara mengindari “penceritaan langsung” itu seminim mungkin, dan lebih menekankan pada bagaimana caranya menghadirkan “situasi”, peristiwa dan suasana. Dengan kata lain, kisah tidak sekadar dituturkan, tetapi dihadirkan. Tokoh berada dalam situasi atau peristiwa yang secara konkrit muncul di panggung. Kira-kira begitu gagasannya.
Gagasan awal pertunjukan sudah kami bayangkan. Maka kami pun bertemu untuk rembugan artistik. Berkumpulah Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto, Ong Harry Wahyu. Agus datang dengan gagasan cerita: tentang seorang tukang topeng monyet keliling. Sosok inilah yang dianggap bisa merepresentasi gagasan tematik sekaligus artistik. Tukang topeng monyet bisa menjadi sebuah karakter, bisa menghadirkan sebuah suasana dan situasi, sekaligus topeng monyet itu menjadi titik pijak untuk menggarap artistik pertunjukan. Bayangan setting, tata panggung, pola pengadekan dibicarakan dengan penuh semangat. Agak aneh sebenarnya: karena naskahnya sendiri belum ada!!

Ini menjadi proses yang unik juga bagi kami. Biasanya, seperti dalam Matinya Toekang Kritik, naskah sudah selesai sebagai teks. Dari teks naskah itulah setiap yang terlibat menafsir, memberi solusi artistik, menambahkan, mengembangkan dan sebagainya. Lah ini, naskahnya (bahkan judulnya saja belum diputuskan) kok sudah ndakik-ndakik merancang artistik!
Pada akhirnya, naskah ditulis dengan suatu kesadaran untuk mengakomodasi (semua) gagasan artistik itu. Jadi sudah ada dua hal yang mulai nampak: satu, naskah mesti memilih cara untuk menghadirkan peristiwa dan suasana dalam struktur pernceritaannya; dua, membayangkan topeng monyet sebagai spirit pemanggungannya. Dua hal itulah, yang kemudian dalam proses latihan terus dikembangkan.
Pada tahap ini, kemudian judul Sarimin mulai dipilih (sebelumnya tokoh dalam lakon ini benama Saridin). Judul Sarimin, dianggap lebih bisa mewakili gagasan artistik, yakni spirit topeng monyet. Dengan judul Sarimin pula, lakon seakan menegaskan: bahwa ini adalah kisah tentang manusia bernama Sarimin. Yang jadi perhatian adalah nasib Sarimin. Progresi kejiwaan dan psikologis Sarimin. Jadi, kami melihat bahwa hukum hanyalah tema, tetapi lakon ini tetaplah bertitik tumpu pada kisah manusia. Judul itu, mungkin juga menjadi cara bagi kami untuk mentrans-form-asikan yang “abstrak” menjadi yang “situasi”, yang konkret. Di sini kami ingat Suyatna Anirun, bahwa lakon adalah upaya memanusiakan ide-ide, untuk menghadirkan manusia secara konkrit.
Dengan dasar dan spirit seni topeng monyet itulah, kami kemudian mengembangkan gagasan seputar “tata artistik yang organik”. Yaitu sebuah keinginan untuk memaksimalkan setiap elemen estetik pemanggungan, agar menjadi satu kesatuan dalam setiap pergantian suasana dan situasi yang ingin di capai tiap bagian. Terlibatnya Kill The DJ (a.k.a Marzuki) ke dalam proses latihan, makin meberikan solusi bagi konsep “artistik yang organik” itu. Bagaimana perubahan ruang dan waktu penceritaan, perubahan setting dan tempat peristiwa, dibentuk melalui elemen-elemen artistik yang multi fungsi. Semua elemen setting menjadi kesatuan yang organis dalam pertunjukan. Semua itu ditempuh sebagai upaya untuk memecahkan ruang penceritaan yang memang lumayan banyak, sebagai akibat dari upaya menghadirkan peristiwa itu
Cara seperti itu, kemudian juga kami sadari, ialah sebuah cara bagi kami untuk tidak melakukan pengulangan tekhnis atas apa yang telah kami lakukan sebelumnya. Dengan tata artistik yang organik itu maka lakon-monolog Sarimin ini menghindarkan diri pada kecanggihan tekhnologi (sebagaimana dalam Matinya Toekang Kritik, misalnya). Pada Sarimin kami lebih mengembangkan trik-trik, spectakle, gimick pemanggungan. Ini juga kami tempuh untuk lebih banyak menciptakan kejadian, peristiwa. Di samping hal itu memang akan membuat pertunjukan Sarimin ini lebih organik, sebagaimana yang kami bayangkan.
Semua itu, tentu saja sebuah proses yang sebenarnya terus kami cari dan kembangkan. Segala istilah dan konsepsi yang muncul dalam tulisan ini, hanyalah sekadar sebuah upaya kami untuk menuliskan apa yang telah dan sedang kami lakukan dalam mempersiapkan monolog Sarimin ini. Sebuah proses kreatif, konon banyak yang mengatakan, muskil untuk dijelaskan. Tapi kami percaya, menuliskan proses kreatif, apalagi proses kreatif dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan, akan bisa menjelaskan bagaimana sebuah ide berjalan dan berkembang. Dan ia tidak sendirian.
Itulah sebabnya, teater tak pernah berdiam di menara gading!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar