Senin, 14 Februari 2011

Duduk Di Tepi Laut Bersama Krishnamurti
11 April 2009

/1/

Ah, mari duduk bersamaku di tepi laut, bebas dan terbuka. Aku akan tuturkan padamu ketentraman sukma bagai kolam yang dalam, kebebasan sukma bagai langit-lemangit, kebahagiaan sukma bagai tarian air. Dan kini, seperti rembulan yang membuat jalan sunyi di kegelapan laut, maka di sampingku kita bentangkan jalan pemahaman murni. Erang kepedihan bersembunyi di sebalik senyum yang pura-pura, hati diliputi dengan beban cinta yang binasa, muslihat-muslihat pikiran merembesi otak.

Ah, mari duduk bersamaku, bebas dan terbuka. Bagai curahan sinar matahari yang bersih, demikianlah pemahamanmu bakal datang padamu. Beban ketakutan karena kecemasan penantian bakal pergi bagai air yang surut sebelum angin ribut. Ah, mari duduk bersamaku, engkau bakal tahu pemahaman dari cinta sejati. Bagai pikiran yang menyorong awan-awan buta, demikianlah wasangka-wasangka buruk tersapu pikiran jernih. Rembulan berada dalam cinta dengan surya dan bintang-bintang yang mengisi langit dengan tawanya.

Oh, mari duduk bersamaku, bebas dan terbuka.

/2/

Datanglah! Seperti anak-anak sungai yang mengalir menuju lautan, demikianlah pemahaman tentang dunia telah mendatangiku. Kerinduan yang menggebu terlahir untukku, sebuah cinta yang menyakitkan membakar kalbuku, hasrat yang bergairah menelan keberadaanku.

Datanglah, datanglah, dari duka citamu yang silih berganti, dari cintamu yang mati. Aku telah temukan Sang Jalan.

Datanglah, Datanglah O Jagad raya, dari tuhan-tuhan kecilmu, dari tasrif-tasrifmu tentangnya. Aku telah temukan Sang Jalan.

Datanglah, datanglah O jagad raya, dari hasratmu yang membara, dari kesakitan yang menyertainya. Aku telah temukan Sang Jalan.

Datanglah, datanglah, O Jagad raya, dari kesalahan, dari beban-beban yang menyertainya. Aku telah temukan Sang Jalan.

Datanglah, datanglah O Jagad raya, dari sembahyangmu, dari genggaman tanganmu yang sedih pada dinding-dinding candi yang berjatuhan. Aku telah temukan Sang Jalan.

Datanglah, datanglah O jagad raya, dari segala yang binasa, lewat airmata lembutmu yang membasuh ingatan-ingatanmu. Aku telah temukan Sang Jalan.

Raih aku dengan bergelora agar engkau terbebas dari sangkarmu, karena telah kutemukan Sang Jalan.

Burung itu mengepakkan sesayapnya, dan suaranya meliputi hatiku. Langit yang luas, ruang yang tak berwatas, melingkungiku.

Akulah Kekasihmu, akulah gurumu, tampik semuanya dan ikuti aku, karena Jalanku adalah Jalan pembebasan.

Datang, datanglah O Kekasih, duduk di sampingku, aku akan mengajarkanmu jalan menuju kebahagiaan.

/3/

Dengarlah!

Hidup itu satu. Ia tak berawal, tak berakhir. Sumber dan tujuan hidup bermukim di kalbumu. Engkau terperangkap dalam jurang kegelapan yang dalam. Hidup tak punya kredo, kepercayaan, bangsa, perlindungan, tak terikat kelahiran atau kematian, bukan laki-laki atau perempuan. Dapatkah engkau memerangkap air dalam kain atau mengumpulkan angin dalam kepalan?

Jawab, kawan.

Minumlah dari air mancur kehidupan. Mari, akan ku unjukkan jalan. Jubah kehidupan yang membungkus segala sesuatu.

/4/

Hasrat adalah hidup, dan kebebasan dari hidup adalah kebebasan dari hasrat. Cinta adalah hidup dan kebahagiaan hidup adalah cinta yang tak koyak. Pikiran adalah hidup, dan persatuan dengan hidup adalah keagungan dari pikiran yang tak terikat.

Dengan kekekalan hidup, tak terpisah, tak rusak, dan tak terukur, aku dalam kemenyatuan: keabadianku adalah kekasihku, kekasih segala kehidupan.

/5/

Hasrat adalah hidup. Pemenuhan hidup adalah penyempurnaan hasrat.

Seperti harum dari bunga yang sendirian, hasrat pun meredup bersama dengan matinya bunga itu, yang tak lagi berada dalam dirinya sendiri namun datang ke dalam kegirangan hidup.

Seperti alir air yang menderu lewat lembah yang gelap—tersembunyi, riuh, menakutkan—demikianlah hasrat.

Bagai kemarahan, bagai air yang mencari tak henti-henti, begitulah hasrat. Kesengsaraan bagi dia yang terperangkap di dalamnya.

Lewat dari lembah gelap itu membentang ladang yang terbuka, tersenyum, dan harum dari aneka kembang.

Ketakutan hasrat pun melenyap dari hidup.

/6/

Aku berjalan dalam hutan di atas jalan yang telah dibuat seekor gajah, dan di sekitarku terbentang jeratan belantara. Suara kehancuran bergema sepanjang dataran. Dan kota gaduh oleh lonceng-lonceng dari seluruh candi. Di atas hutan itu terdapat gunung besar, bersih dan sentosa.

Dalam ketakutan hidup godaan kepedihan terjelma.

Dan kini aku berjalan bersama gajah.

/7/

Aku tak bisa mengajarimu untuk berdoa, O kawan, pula tak bisa mengajarimu untuk menangis. Aku bukan Tuhan dalam doa-doa panjangmu, pula bukan penyebab segala duka laramu. Semua itu dibuat oleh tangan manusia.

Mari bersamaku, O kawan, aku akan mengajakmu menuju air mancur kebahagiaan. Tertawa bagai sang kekasih di kalbu kembang yang semerbak. Engkau bakal minum di kebun mawar dimana segala hasrat berhenti. Simpan hasrat itu untuk menjadi sang kekasih.

Kolam kearifan ini tidak dibuat oleh tangan manusia, pula jejak-jejak menuju ke arah air bersih itu. Di sana engkau bakal bertemu setiap manusia, yang coklat, yang putih, yang hitam, yang kuning. Dalam air yang murni itu, engkau akan memandang wajah kekasihku.

Datanglah, O kawan, tinggalkan semua kesenangan-kesenanganmu yang bakal berlalu, kecemasan-kecemasan yang memabakarmu, kepedihan-kepedihan yang menyakitimu, cintamu yang redup, hasrat-hasratmu yang terus tumbuh. Segala hal yang telah membuatmu berdoa, segala penyebab dari cucuran air matamu. Bagai hembus angin begitulah hidup manusia, bagai mawar yang koyak begitulah cinta manusia, keagungan dan kekuatan cuma sehari, lalu pergi.

Aku telah mereguk dalam-dalam dari kolam ini. Kekasihku telah memenuhiku dengan kegembiraan-kegembiraan dari kekekalan.

/8/

Di ketinggian tak tepermanai di mana gunung-gunung yang tersaput salju bertemu lemangit biru, aku berjumpa dengan dua orang asing. Kami bercengkrama sebentar dan lantas berpisah, tak pernah berjumpa lagi.

Bagai dua kapal, di keluasan samudra, masing-masing berpapasan, dan para penumpangnya saling melambai satu sama lain, tak pernah berjumpa lagi, begitulah kami dalam samudra kehidupan ini

Kerap aku merasa sedih ditinggalkan orang asing itu, dan kangen. Namun kemarin, kala dua orang asing yang kujumpai melenyap di sekitar jalan sempit bercecabang, hatiku pergi bersamanya dan mereka tetap bersamaku. Apa bangsanya, apa kepercayaanya, aku tak tahu, dan tak hirau. Mereka sepertiku, sendirian di ruang yang senyap, mencari visiun baru, mendaki ketinggian tak tepermanai, berjuang di jalan berbahaya, dan pergi menuruni lembah sekali lagi. Perjuangan tak berujung ini ialah untuk mencapai puncak gunung, namun jarang sekali meraih puncak agung itu, dan senantiasa menurun ke dataran-dataran, di mana orang-orang membuat pondoknya, demikianlah aku telah menjadi bagian dari kerumunan orang-orang itu, hidup di atas hidup.

Namun kini, O orang asingku, aku telah mencapai puncak gunung misterius itu. Aku tahu benar perjuangan-perjuangan yang menyertainya, jurang akbar yang memisahkan, ngarai yang membuat orang tergelincir, aku tahu aneka jalan yang melingkungi pegunungan, tapi mereka berjumpa dipunggung bukit sempit yang untuk melampauinya mereka mesti mendaki keatas jika ingin mencapai puncak gunung. Hanya ada satu jalan yang menggamit ke atas melampaui punggung bukit ke arah dimana semua jalan bersama-sama menghampirinya.

O orang asingku, aku tak tahu di mana engkau, kegembiraan-kegembiraan apa yang telah kau lewati, perjuangan apa yang telah kau lalui, namun engkau ialah diriku sendiri.

Bagai dua gemintang yang tiba-tiba saja menyembul dari kelam malam, begitulah engkau berdua datang ke dalam penglihatanku dan di sana engkau tinggal. Kalbuku ialah kalbu Kekasih sejatiku, ia merangkum-rengkuh apa pun.

O orang asingku, sekali lagi engkau bakal berjumpa denganku, aku tinggal di rumah dimana semua perjalanan berakhir. Untuk menyatu dengan Sang Kekasih adalah untuk mencintai segalanya, karena dalam segalanya Sang Kekasih bermukim

(diterjemahkan dan disusun dari From the Darkness to the Light karya J. Krishnamurti untuk bahan renungan dalam diskusi Being Community edisi April 2009 oleh Tia Setiadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar