Senin, 14 Februari 2011

Politicising Space: Negara dan Transisi Demokrasi
9 Mei 2009

— Refleksi Indonesia

Oleh Luqman nul Hakim[1]

There is nothing more difficult to plan, more doubtful of success,

nor more dangerous to manage, than the creation of a new system.

Nicollo Machiavelli (1469-1527), The Prince


Konon, politik dunia pada abad ke-20, tulis Francis Fukuyama (2004) dalam State Building: Governance and World Order in the Twenty-first Century, “disesaki dengan berbagai kontroversi perdebatan tentang bagaimana ukuran (size) dan kekuatan (strength) sebuah negara itu semestinya.” Beragam percobaan untuk mengukuhkan bentuk negara dalam sejarah itu begitu ambisius, seperti gelombang yang datang silih berganti, yang kadang satu belum sampai ke tepian sudah digulung oleh gelombang yang lain.

Di negara-negara Barat, misalnya, yang telah lama mempraktekkan negara liberal (minimalis), selepas dua perang dunia dan depresi eknomi akut, memaksa mereka untuk segera mengadopsi negara yang sentralistik dan aktif. Sementara di negara-negara yang totaliter, kecenderungan untuk membentuk negara yang dominan itu jauh lebih ambisus lagi. Seluruh kekuatan ekonomi dan sosial ditundukkan untuk “tujuan politik negara”. Eksperimentasinya di sayap kanan mulai berakhir sejak kekalahan Nazi Jerman dan Fasisme Jepang pada warsa 1940-an, sementara di sayap kiri—yang diterapkan oleh negara-negara komunis—masih terus bertahan sampai ambruknya tembok Berlin di tahun 1989 dan pecahnya Uni Soviet pada awal 1990-an. Fenomena penguatan negara juga berlangsung bersamaan dengan proses-proses pembangunan di negara-negara pascakolonial—terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin—lantaran di belahan-belahan dunia itu, negara adalah satu-satunya entitas politik bentukan kolonial yang paling solid.

Memasuki dasawarsa 1980-an, bandul perubahan negara itu berayun ke kutub yang lain. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, di mana pada awal abad ke-20 negara hanya mengonsumsi 10% dari pendapatan nasionalnya, ternyata pada tahun 1980-an tingkat konsumsi itu telah mencapai rata-rata 50%. Sedangkan di negara-negara pascakolonial, proses-proses pembangunan yang disponsori negara melalui strategi Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) juga mengalami goncangan, terutama lantaran anjloknya harga minyak dunia. Problem inefisiensi dan inkapabilitas negara-negara dalam struktur ekonomi politik yang baru itulah yang mendorong gagasan untuk mereduksi negara mulai menguat. Di Inggris dan Amerika Serikat, berlangsung reformasi ekonomi liberal yang sangat radikal dalam rangka memangkas peran-peran negara, yang secara luas dikenal dengan “Thatcherism” dan “Reaganomics”.

* * *

Tren untuk melimitasi negara ini juga berjalan bersamaan dengan tumbangnya rezim-rezim totaliter di dunia, yang diklaim profesor Universitas Harvard, Samuel P. Huntington (1991), sebagai “demokratisasi gelombang ketiga”. Berdasarkan survey Freedom House, pada tahun 1974 terdapat 39 negara (27,5%) yang telah menerapkan sistem demokrasi prosedural dari jumlah total 142 negara. Angka ini melonjak menjadi 76 negara (46,1%) pada tahun 1990, dan meningkat lagi hampir tiga kali lipatnya pada tahun 1995, yakni menjadi 117 negara atau sekitar 61,3%.

Semangat melimitasi negara dan fenomena berkembangnya demokrasi itu mengafirmasi dan menggaungkan kembali gagasan filsuf ekonomi Austria, Fredrich A. Hayek (1944) dalam The Road to Serfdom, bahwa sentralitas negara dalam ranah ekonomi ditengarai sebagai marabahaya bagi lahirnya kembali zaman perbudakan, dan bahwa kebebasan ekonomi—yang kemudian diterjemahkan sebagai pasar bebas—merupakan prasyarat bagi kebebasan politik (political freedom). Gagasan itu kemudian diteruskan oleh muridnya, Milton Friedman, terutama dalam Capitalism and Freedom (1962), yang juga digunakan untuk menghantam gagasan Keynes yang mendukung peranan negara dominan.[2]

Gagasan untuk memangkas peran negara ini terus meluas, dan bersambut ke seluruh belahan dunia. Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia bersama-sama dengan Departemen Keuangan membentuk standar-satandar reformasi negara, yang intinya adalah gagasan more market and less state. Gagasan-gagasan itu, yang oleh penggagasnya disebut sebagai “Konsensus Washington” dan “neoliberal” oleh para pengkritiknya, kemudian menjadi orientasi baru dalam program-program stabilisasi ekonomi global. [3]

Namun, memasuki tahun 1990-an, reformasi ekonomi yang dibangun melalui Konsensus Washington pun mulai menunjukkan sejumlah kegagalannya, terutama di negara-negara Afrika Sub-Sahara. Dan, untuk pertama kalinya, Bank Dunia (1989) melalui laporannya, Sub-Saharan Africa: From Crisis towards Sustainable Development, memperkenalkan istilah governance sebagai formula baru untuk menjawab kegagalan-kegagalan pembangunan itu. Oleh Bank Dunia, governance dimaknai sebagai “suatu perangkat dalam mana kekuasaan digunakan untuk mengatur dan mengelola sumber daya sosial dan ekonomi bangsa.” Untuk menjalankan proses-proses pembangunan yang berkelanjutan, gagasan governance ini menekankan pada pentingnya legitimasi politik dan konsensus, yang hanya bisa dipenuhi dengan cara membangun sinergi dan melibatkan aktor masyarakat seluas-luasnya, serta tetap membatasi peran-peran negara.

Mengacu pada pengalaman pembangunan negara-negara Afrika Sub-Sahara, argumen-argumen dalam laporan itu dibangun dengan keyakinan bahwa negara adalah sumber masalah dan biang kegagalan pembangunan. Oleh karenanya, resep yang ditawarkan Bank Dunia kemudian adalah membangun standar tata pemerintahan yang baik, good governance. Terang saja, perspektif baru ini mengubah pandangan lama mengenai perdebatan negara. Mulai pertengahan dasawarsa 1990-an kita menyaksikan ada pergeseran pandangan mengenai negara—dari tuntutan less state, yang digaungkan sejak Konsensus Washington, menjadi tuntutan adanya better state.

* * *

Tumbangnya rezim otoritarianisme Orde Baru satu dasawarsa silam yang diikuti oleh ikhtiar demokratisasi itu berlangsung dalam tegangan zeitgeist itu. Untuk membangun demokrasi, demikian keyakinan para teoretisi transisi demokrasi, diperlukan adanya format kelembagaan yang menjamin otoritarianisme tidak datang berulang. Dominannya lembaga ekskutif, yang oleh pemikir teori transisi demokrasi semisal Juan Linz dan Alfred Steppan dianggap sebagai suatu yang inheren dalam rezim otoriter, segera dikuti dengan upaya untuk memperkuat lembaga parlemen melalui pemilu multi-partai dan pemilihan presiden langsung. Sedangkan, dominannya pusat sebagai arena politik selama Orde Baru segera terkikis setelah diintroduksinya kebijakan desentralisasi.

Krisis ekonomi yang parah dan trauma otoritarianisme Orde Baru, menjadikan gagasan untuk menolak negara (state denial) itu menemukan ruangnya yang paling kompleks sekaligus ambivalen dalam kasus Indonesia. Demikian, gagasan untuk mendispersi kekuasaan dipandang sebagai jalan demokratisasi yang paling mungkin di Indonesia. Secara ideologis, gagasan ini juga sejalan dengan upaya penciptaan better state melalui pembangunan legitimasi politik, yang membuka ruang bagi aktor-aktor politik baru dan sekaligus meminimalkan peran negara. Sedangkan dalam realpolitik, gagasan ini juga dipandang sebagai kemenangan perjuangan demokrasi civil society dan perjuangan politik daerah.

Dispersi kekuasaan ini secara langsung berimplikasi pada semakin beragamnya aktor dan semakin melubernya medan-medan politik. Parlemen, misalnya, yang sebelumnya disubordinasi lembaga eksekutif dan diseleksi melalui pemilu manipulatif, melalui sistem pemilu multi-partai, akses terhadap lembaga itu semakin terbuka lebar. Demikian pula, pemerintah daerah yang awalnya adalah kepanjangan pemerintah pusat, melalui desentralisasi, sekarang menjadi entitas yang otonom. Beragamnya aktor dan berkembangnya ruang memerlukan adanya suatu kerangka kelembagaan yang memungkinkan kepentingan mereka dapat diakomodasikan. Dalam literatur transisi demokrasi, memang penciptaan pakta politik (political pact) melalui negosiasi-negosiasi kekuasaan itu dipandang sebagai jalan yang paling aman dalam demokratisasi.

Dalam arsitektural politik Indonesia, negosiasi-negosiasi kekuasaan itu mengambil bentuknya dalam penciptaan lembaga-lembaga komisi yang dikenal dengan state-auxilary institutions, yang marak. Pada satu sisi, arsitektural kelembagaan ini adalah produk standardisasi better state yang amat didukung oleh lembaga-lembaga neoliberal untuk memangkas negara. Sementara pada sisi yang lain, berkembangnya lembaga-lembaga hibrida ini juga merupakan produk negosiasi kekuasaan yang paling logis dalam kerangka demokratisasi.

Pergeseran-pergeseran arsitektural politik semacam inilah yang oleh Mark Warren (1992) dalam esainya, Democratic Theory and Self-Transformation, disebut sebagai fenomena ‘demokrasi ekspansif’. Berkembangnya ‘demokrasi ekspansif’ ini, menurut Warren, ditandai dengan “meningkatnya partisipasi, baik melalui perangkat-perangkat demokrasi langsung atau melalui ikatan-ikatan organisasional yang menambatkan kepentingan-kepentingan warga negara itu dengan lembaga-lembaga politik; dan meluasnya proses-proses demokrasi yang melampaui ranah-ranah politik tradisional”. Dengan demikian, ruang-ruang (space) tidaklah ada yang netral lagi, tapi sudah berkembang menjadi arena yang sangat politis sifatnya.

Perubahan arsitektural politik Indonesia ini disikapi dengan pandangan yang mendua. Sebagian pengamat memandang perubahan politik pasca-Soeharto ini sebagai sebuah periode transisi dari rezim otoriter menuju sistem baru yang lebih demokratis. Bangkitnya partisipasi masyarakat sipil, meluasnya arena-arena politik yang melintas-batas sekat “negara-masyarakat” dan “pusat-daerah” adalah harapan-harapan baru yang menjanjikan, yang bakal melahirkan, apa yang disebut Warren sebagai, ‘demokrasi ekspansif’.

Akan tetapi, para pengamat lain justru melihat perubahan politik pasca-Suharto ini dengan lebih pesimistik. Malahan perubahan-perubahan itu kerap ditengarai sebagai transisi negatif ‘dari keteraturan menuju ketidakmenentuan’— order to disorder. Menyusutnya kekuasaan negara tidaklah secara niscaya akan dibarengi dengan bangkitnya masyarakat sipil yang bisa kukuh menyokong tegaknya demokrasi yang masih baru. Bahkan, reformasi yang ditujukan untuk membangun stuktur ekonomi dan politik baru yang lebih demokratis juga menunjukkan hasil-hasil yang berkebalikan. Diintroduksinya sistem multi-partai dan desentralisasi telah membuka ruang yang demikian terbuka bagi masuknya kelompok ‘oligarkisme lama’ untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan ‘membajak’ skema-skema demokratisasi yang baru. Desentralisasi juga telah menjadi medan baru untuk mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, yang bukan hanya kerap menjadi arena pertarungan panas di daerah, tetapi juga menjadi arena baru dalam mana shadow states—bangkitnya kekuatan tertentu, termasuk premanisme dan bossisme, yang mengendalikan pemerintahan—dan praktik-praktik korupsi itu berlangsung dengan skala yang lebih ekstensif.

* * *

Kalau demikian yang terjadi, lalu apa sesungguhnya yang salah dengan perubahan-perubahan politik selama satu dasawarsa terakhir ini? Mengapa berbagai perubahan yang pada awalnya diyakini sebagai upaya perbaikan politik Indonesia, sekarang malah menampilkan hasil-hasilnya yang memilukan? Tentu saja bukan bermaksud hendak menafikan berbagai perubahan baik yang telah dicapai, yang jelas-jelas ada banyak jumlahnya. Tetapi, alangkah berbahayanya jikalau kita tidak awas terhadap berbagai paradoks dan kontradiksi dalam perubahan-perubahan baru itu.

Patut disimak kembali bahwa O’Donnell dan Schmitter (1986)—teoretikus transisi demokrasi yang berpengaruh—pernah mengingatkan kita: transisi demokrasi adalah “perubahan dari suatu rezim otoritarian menuju ‘sesuatu yang lain’ yang belum jelas”. Wajah-wajah yang lain itu bisa berwujud tegaknya sebuah demokrasi politik atau malah sebaliknya: dibangkitkannya kembali suatu bentuk pemerintah otoritarian baru. Bisa juga, ‘sesuatu yang lain itu’ hanyalah sebuah “rotasi kekuasaan dari pemerintahan yang silih berganti namun tetap saja gagal memberi terobosan baru yang mapan”.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa suatu perubahan desain kelembagaan juga akan menuntut adanya mode pengelolaan dan hubungan kekuasaan yang baru. Dan inilah yang tampaknya menjadi persoalan: proliferasi kelembagaan politik di Indonesia sebagai resep demokratisasi dan disokong oleh lembaga-lembaga internasional hanya menjadi replika saja tanpa ada upaya kontekstualisasi yang memadai. Untuk sebagian, hal ini dipengaruhi oleh keyakinan mereka bahwa “melalui desain format kelembagaan yang demokratis, dengan meminimasi peran negara, secara otomatis demokrasi bisa dicapai”. Pandangan ini mengabaikan bahwa dispersi kekuasaan dan perubahan kelembagaan itu tidak berlangsung dalam ruang hampa, melainkan proses itu berlangsung—dan ini justru yang paling penting—dalam konteks sejarah di mana hubungan-hubungan kekuasaan (power relations) terus berubah dan mencari titik ekuilibriumnya yang baru.

Oleh karena itu, sungguh tidaklah memadai kalau demokrasi semata-semata dimaknai sebagai etalase yang menampilkan beragam lembaga dan prosedur formal yang ‘semestinya’ terdapat dalam suatu negara demokratis, dan suatu negara dibilang demokratis hanya ditimbang dengan cara mengidentifikasi lembaga-lembaga itu. Pokok yang lebih penting, sebagaimana dipersoalkan oleh Harris, Stokke, dan Tornquist (2004), adalah “bagaimana membuat lembaga-lembaga baru itu memiliki makna bagi rakyatnya.” Dan, salah satu tren yang berkembang dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang semakin horizontal itu adalah pergeseran perdebatan demokrasi dari ranah normatif ke ranah empiris. Hal ini tidak berarti bahwa perdebatan normatif itu telah usai dan tak diperlukan lagi. Tetapi, dinamika hubungan kelembagaan demokrasi—yang hanya bisa dicermati lewat kajian-kajian lapangan (empirical grounds)—sekarang memiliki urgensi yang barangkali jauh lebih mendesak.

Yogyakarta, 4 Mei 2009

[1] Makalah untuk kajian diskusi Being Community edisi 11 Tahun Reformasi, 10 Mei 2009. Untuk komunikasi lebih jauh silakan lewat aim.hakim@gmail.com atau +62817 469 332.

[2] Perdebatan ini dikenal dengan perdebatan “kegagalan pasar” versus “kegagalan negara”. Pokok soalnya sangat “khas” ekonomi, yakni perkara pola konsumsi masyarakat. Bagi Keynes, pola konsumsi itu ditentukan oleh “curent income”, sedang bagi Friedman pola itu dibentuk oleh “apa yang diharapkan akan menjadi income di masa mendatang”. Menurut Keynes, pemerintahlah yang harus melakukan belanja sosial untuk menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak tingkat konsumsi (demand), tetapi “jika konsumsi itu urusan proyeksi individual,” tantang Friedman, “upaya Keynes itu tidak ada artinya”.

[3] Sekedar mengingatkan, Konsensus Washington ini meliputi 10 butir prinsip reformasi negara dan pasar, yakni: disiplin fiskal; konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik; reformasi perpajakan; bunga bank yang dikendalikan pasar; nilai mata uang yang kompetitif; liberalisasi perdagangan; keterbukaan terhadap investasi asing; privatisasi; deregulasi; jaminan kepastian hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar