Kamis, 02 Desember 2010

Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah (in new and true story) Setiap orang ingin pacaran
oleh Desi Dan Dewi pada 03 Desember 2010 jam 0:55

NIKMATNYA PACARAN SETELAH MENIKAH

( IN NEW AND TRUE STORY )

SETIAP ORANG INGIN PACARAN



Meski setiap orang di dunia ini akan menyangkal, aku tetap akan menceritakan dan menulis kisah ini. Inilah hidupku dan inilah aku, perlu kurenungkan kembali hidupku, apa masalahku?

Pertama-tama aku seorang perempuan dengan tampang pas-pasan, itu artinya hidupku rumit. Kedua, sayangnya aku punya indera perasa dan pemikiran yang tajam itu berarti aku mempunyai cara yang berbeda, sedikit aneh dan juga terlalu sensitif.

“Hai…namaku Desi Wulandari! Orang sering memanggilku Desi...kenapa tidak Wulan ya? Kayaknya lebih cantik dan menawan seperti bulan…wuaha…ha. Mungkin karena Desi itu adalah nama seorang artis cantik dan terkenal di negeri ini yang tidak begitu terkenal di dunia, yang tampangnya lebih mirip diriku dari pada aku mirip dengannya…wakkakakakkakak. Najis habis gue…he…he…maafkan saya Mbak Desi Ratnasari telah menyeretmu dalam kasus ini. Yeach…apalah artinya sebuah nama kata William Shakespeare, tapi tak kasih tahu artinya namaku…sebelum banyak pertanyaan tentang asal-usul namaku dan akhirnya membawa usil…he…he….Desi itu berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti gadis desa…ha…ha…’wong ndeso’, Wulan dari bahasa Jawa yang artinya bulan, dan Dari itu dari kata Ndadari dalam bahasa Jawa yang artinya besar, kalo yang lebih tragis dan narsis ‘dari’ diambil dari kata bidadari katanya ibukku biar irit, maklum aku lahir ketika jaman masih susah jadi semua hal harus diirit termasuk nama…ha…ha…. Jadi kurang dan banyak lebihnya beginilah kira-kira arti dari namaku: “Seorang gadis desa yang bagaikan bulan purnama atau bidadari dari bulan yang diturunkan di sebuah desa”…wakakkakakkaka. Jika ingin protes ataupun kecewa boleh menghubungi nomor ini 081804242131, dijamin tidak akan ditanggapi dan dibalas kecuali orang-orang yang telah menyelamatkan kehidupanku dengan mengirimiku pulsa…wakkakakakak. Tapi semoga nama itu sesuai dengan pengharapan kedua orang tuaku…amiiin.”

Inilah kisahku.

Pada tahun 2002 aku diterima di jurusan Sosiologi UGM yang pada saat yang sama banyak orang yang ditolak dari jurusan itu. “Hmmmm…ternyata aku yang rada-rada bego gini bisa masuk UGM juga, meski harus mengalami perjuangan dua tahun ditolak terus oleh UGM…wakkakakakak…dasar UGM kagak bisa bedain mana orang pinter dan mana orang bego.” Semua sama di mata hasil UMPTN yang cara mengerjakan soalnya menggunakan rumus umpetan (umum dan penuh pengetahuan) wakakkakkkkk…dan pada akhirnya semua hal ditentukan oleh faktor yang namanya ‘keberuntungan’ tak peduli seberapa pintar dan seberapa bodohnya seseorang. “ Syukur alhamdulillah…aku termasuk orang yang beruntung, lebih beruntungnya lagi aku masuk di UGM yang belum mengenal sistem UM (uang masuk)…ha…ha…jadi masih bisalah aku sekolah di sana. Coba tahun berikutnya di jamin aku tak kan bisa kuliah di sana, yang mana pada saat itu “Orang miskin dilarang sekolah”. Aneh sekali memang pendidikan sekarang ini, semuanya dari, oleh, dan untuk UM (uang or money).

Aduh…maafkan saya para pembaca tersayang, ceritanya masih pada mulanya belum pada intinya…wakkakakakakk. Dalilku untuk alasan itu ‘Apa gunanya inti, jika kau tak tahu awal mulanya’…he…he…mari kita kembali ke jalan yang benar-benar benar!

Tahun 2005, tahun di mana aku sangat sibuk dengan dakwah kampus di bawah naungan JMF (jama’ah muslim FISIPOL). Di mana pada saat itu saya diamanahi sebagai Kabid Kemuslimahan, bagi yang belum tahu kepanjangan dari Kabid tak kasih tahu dech. Kabid itu kepanjangan tangan dari ketua bidang he…he…kok bisa ya saya jadi ketua bidang…biasanya saya jadi ketua umum...maklum laki-laki itu kan pemimpin perempuan, jadi ya manut sajalah apa kata imam (untungnya pada saat itu saya masih manutan).

Kedudukan yang prestisius yang sebenarnya tidak kuinginkan, gimana tidak prestisius dan pelik harus meratui dan mengurusi para akhwat (perempuan). Jadi perempuan saja sudah rumit apalagi harus mengurusi perempuan lain…banyak lagi, yang paling enak adalah mengurusi laki-laki karena mudah mengatakan ‘tidak’ kepada laki-laki daripada kepada perempuan. Pada saat yang sama, muncullah buku yang berjudul “Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah” karya Salim A Fillah yang diterbitkan oleh penerbit Pro-U Media yang masih baru di kalangan penerbit buku, maka gemparlah kerajaanku yang serba sensitif. Bagaimana tidak gempar, buku itu menjadi pemicu permasalahan di kalangan para akhwat di kerajaanku. Di sini kaumku terbagi menjadi dua kubu, Kubu pertama yang terprovokatori untuk menikah dan Kubu kedua sebagai oposisinya, yaitu kubu yang anti poligami…eh..eh…wait…wait apa hubungannya ya…? Aku juga tidak tahu, yang jelas ini hanya permasalahan penamaan. Dan sebagai seorang ketua aku harus bisa adil dan bijaksana terhadap dua kubu itu, meskipun sebenarnya dan sejujurnya aku berada dalam kubu yang kedua…hah…hah….

Permasalahan itu semakin sengit ketika kedua kubu beradu argument lewat adu opini masing-masing, meskipun itu hal yang sangat biasa dan tidak mencolok dalam kehidupan masyarakat SOSPOL yang terbiasa hidup dengan perbedaan. Ini hanyalah untuk menuju cerita intinya…he…he….

Karena penasaran dengan buku yang membuat teman-teman akhwat yang sering membicarakannya, akupun mencari tahu buku itu. Diiringi do’a dan rasa penasaranku yang menggebu (jargon salah satu anggota kemuslimahanku, yang di tahun berikutnya menggantikan kedudukanku…halo Mia Zuhara…salam Menggebbu…sekali menggebbu tetap menggebbu)…he…he…, dipertemukanlah aku dengan buku itu lewat jalur yang selalu kusukai yaitu meminjam buku teman, yang dikemudian hari tanpa kusadari itu menjadi tradisiku. Hal itu kulakukan sebagai target pribadi, supaya lebih cepat membaca karena yang punya belum membaca sehingga mengejar-ngejarku untuk mengembalikan bukunya, betapa enaknya dikejar-kejar saat itu…ha…ha….Kuucapkan terimakasih buat keluarga Az-Zuhruf (Anis Zuraidah, Ummi Kalstum, Rosi, mbak Aini Firdaus, Mbak Dian Era, Retno Palupi, Iken Lestari, Sari, Mia Zuhara) yang salah satu diantara yang kusebutkan itu adalah si pemilik buku yang berbaik hati meminjamiku buku itu…maaf kan saya si pemilik buku yang telah melupakan bahwa kau pemilik sebenarnya, gimana bisa ingat pemiliknya wong waktu meminjamnya dan waktu mengembalikannya tinggal ambil dan taruh saja…wkakakkakakk.

Ternyata buku itu terlalu berat untukku dari pada membaca resep masakan ala chef di majalah Femina…ha…ha…soalnya harus pake praktek, baru bilang enak. Gimana tidak repot dan bingung jika bahan-bahannya saja tidak tersedia di toko-toko terdekat, harus ke supermarket dulu baru bisa mendapatkannya. Lho kok gak nyambung nih…maksudku mencari suami itu tidak mudah seperti mencari bahan-bahan resep masakan apalagi bisa bilang enak, kalau belum pernah mencobanya…he…he…(cari suami kok coba-coba). Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Dan betapa terkejutnya diriku mengetahui bahwa yang menulis buku itu adalah adik kelasku beda jurusan dan fakultas dia anak tehnik dan ternyata belum menikah. Oh…layaklah dia terhujat oleh teman seperguruanku yang merupakan kubu kedua, hai Nenok…saat ini kau tersangka utamanya…ha…ha…, katamu:”Ikhwan yang menulis buku itu benar-benar aneh.” Yang lebih tragis lagi kata Wigke teman sepermainanku tapi tetap slalu mesra:”Durung nikah…kok wani nulis buku nikah!” maaf jika ada roaming bahasa, kira-kira begini bahasa planetnya “belum menikah kok berani menulis buku tentang nikah”. Hai Wig…apa kabarmu, sebentar lagi menikah ya…berarti kau bisa menulis buku tentang ‘rahasia menikah’…ha…ha…piss man. Sebenarnya gak kejam-kejam amat sih hujatannya, malah cenderung menggelitik dan asyik…artinya menggelitik pikiranmu dan mengusik imajinasimu.

Ternyata teori itu berlaku, semakin kontroversil sesuatu semakin banyak orang menginginkannya. Jadilah buku itu best seller di kota pelajar dan penulis buku itu menjadi the most wanted, terbukti saat kami mengundangnya di acara yang kami adakan, beliau tidak bisa karena jadwal telah padat dan pull di bulan itu…he…he…, maaf buat sang penulis anda juga saya ikutkan dalam cerita ini.

Saat aku menyelasikan buku Salim A Fillah yang satu ini, ini membuatku dan membawaku pada pemikiran yang berbeda…aku menamainya “bermain dengan bahaya” kata Foucault,”Jika segala hal berbahaya setidaknya ada hal yang bisa kita lakukan.” Dan yang kupikirkan setelah membaca buku ini adalah “aku harus berpacaran”, tahu kenapa?Dan kenapa harus tahu? Tak lain dan tak bukan karena aku belum percaya kalau pacaran sebelum menikah itu tidak nikmat, buktinya saja banyak orang yang berpacaran dan sibuk mencari pacar, itu berarti pacaran itu diinginkan setiap orang dan sesuatu yang diinginkan itu selalu nikmat jika didapatkan.

Sejak saat itu resmilah aku mencari pacar…ha…ha…kadang kita semua melakukan sesuatu yang tidak masuk akal sekedar mau mencari tahu kebenarannya. Orang lain hanya bisa bercerita soal cinta, pacaran dan indahnya pernikahan, bagiku ini soal realita dan rasa masing-masing orang tentunya memiliki pengalaman dan rasa yang berbeda…ini soal rasa dan cinta men bukan soal ujian semester yang bisa dipelajari semalam suntuk (sehabis tidak tidur semalam terus suntuk)…wkakakkkkaka. Jika Tuhan menginginkan semua orang sama, Dia akan melakukan hal yang sama pada semua orang, itu berarti aku bisa mendapatkan pacar dalam waktu terdekat…wakkakkkakkakkk…(Ngimpiiiiii…). Inilah kesulitan pertama yang kukatakan di awal tadi, bagaimana mungkin si buruk rupa mencari pacar ganteng nan rupawan, tampang saja pas-pasan, pas jeleknya maksudnya…wakkakaaakakk. Ini berarti aku harus belajar banyak hal dan belajar jurus-jurus menaklukan hati laki-laki…ha…ha….

Dan mulailah aku belajar mencari cinta…eh …pacar pada temenku yang memililki dan bergaul dengan banyak cowok yang saat itu telah sukses berpacaran karena telah memilki beberapa pacar…ups…hai Meif …jangan tersinggung dan tergoda ya…ha…ha…love you soo much. Seiring perjalananku mencari pacar aku bertemu dengan seorang teman sekaligus seorang ustadz. Di sebuah kajian yang temanya tentang pacaran dia mengatakan:”Pacaran itu boleh, tapi ada syaratnya”. Mendengar hal itu aku sangat senang, karena baru kali ini ada ustadz yang mendukung pacaran padahal yang lainnya selalu mengharamkan pacaran. Saking antusiasnya aku pun bertanya:”Ustadz…lalu apa syarat-syaratnya”, dan jawabannya jauh lebih tak terduga daripada yang telah kuduga…ha…ha…:”Pacaran itu boleh asal tidak bersentuhan, jika bersentuhan itu namanya nafsu bukan cinta…kau tinggal pilih, pilih nafsu atau cinta” (hai Am…jawabanmu sungguh selalu tak terduga, bagaimana kabar Ngawi bro?Masih tetap berjuangkah...). Hmmmmm…bagus sekali jawabannya…okelah kalau begithu…misi tetap dilanjutkan…”mencari pacar”…semangat…1000 kali.

Waktu berjalan sangat cepat, hingga tak satupun pacar yang kudapatkan…nasib buruk kadang memang kurang ngajar. Tapi anehnya datanglah sebuah pinangan dari seorang ikhwan (tak usah kusebut merknya karena aku tak mau mengingatnya…semoga beliau mendapatkan yang terbaik), masalahnya pada saat itu aku kan tidak sedang mencari suami…aku mencarinya pacar…jadi kutolaklah pinangannya. Beberapa pinangan telah kulewati dari hakim, bisnisman, engeenering, seniman, guru, ustadz, dll semua profesi kayaknya pernah mendaftar…wakkakakkaka…sok laku benar gue (cerita ini hanyalah fiktif belaka, para pembaca yang budiman dilarang keras untuk mudah tertipu) ini benar-benar rekayasa, faktanya tidak ada yang mau sampai sekarang…wkakakkakakak.

Akhirnya karena tidak juga aku menemukan pacar, bertanyalah aku pada banyak orang. Sembilan dari 10 pria yang kutanyai mengatakan :”Apa artinya pacaran tanpa sentuhan?”. Kesimpulannya berarti orang yang berpacaran itu karena nafsu bukan cinta. Karena diriku adalah perempuan sejati yang mana menjaga kehormatan dan kesuciannya adalah darmanya seorang wanita (wanita sholihah), maka kuputuskan untuk mengakhiri ‘bermain dengan bahaya’, aku tidak lagi mencari pacar. Kata temenku yang telah lebih dulu menikah: “Menikah itu adalah urusan Tuhan, jadi jangan pernah memikirkan apalagi mengurusi urusan Tuhan.” Hai Ulil (Lusi Dian Mayasari) miss you soo much, terimakasih selalu menyuruhku untuk selalu berpikir menikah.

Hal ini diperparah dengan kejombloanku yang sangat menggembirakan dan menyenangkan tapi selalu terusik dengan pertanyaan ibuku: “Kapan anak perempuanku ini menikah, suadah tua lho…sudah 29 tahun?” Dan selalu kujawab dengan bukunya Salim A Fillah: “Bagaimana mungkin aku mendapatkan suami wong aku tidak pacaran…” he...he…selamatlah riwayatku. Inilah yang kukatakan sebagai hal kedua yang terlalu berpikir dan memiliki perasaan tajam, terlalu sensitif jika berurusan dengan pilihan hidup apalagi soal menikah…ha…ha…masih dalam pemikiran belum perbuatan…ah tak mengapa…insyaallah jika Allah mengijinkan, tunggu saja undangannya.

Biasanya orang berlari ke tempat yang ingin semua orang tuju, menikah adalah hal yang diinginkan semua perempuan. Tapi untuk yang satu ini aku ingin menyerahkannya pada Tuhan, biarlah dia yang menentukan dan memilihkan waktu dan orang yang tepat…amiin. Terimakasih Faida telah memberitahuku tentang arti kata cantik, karena tidak hanya perempuan cantik saja yang laku…ha…ha…dan untuk Anis Zuraidah yang sering kupanggil dengan bahasa tersayangku Uul, yang senantiasa mendoakanku untuk menikah bahkan bersepakat membuat resolusi menikah di tahun 2010 ini, ternyata kau duluan...ya jelaslah Ul kau duluan yang menikah wong calonnya dah ada, tinggal dipanggil…ha…ha….

Jika menikah adalah sebuah kesempurnaan hidup, maka aku ingin menikah dengan kesempurnaan jiwaku, hai Ummi Kaltsum…terimakasih telah membuatku belajar bahwa menikah itu sebenarnya mudah yang rumit adalah jika kita tak pernah siap untuk menikah…he…he…kapan aku siapnya ya Mi…salam kangen buat Agha.

Kehidupanku bukanlah sesuatu yang kusesali…meski terlalu banyak tangis yang mengiringi bukan karena tidak punya pacar dan juga belum menikah. Buat Isri (Sri Lestari) dan Fiya (Alfiya Pusparini) tak perlu khawatir karena aku gak juga laku-laku…ha…ha…tapi kau tahu aku masih tetap semangat menyambut kehidupan, kata Tia (Tia Setadi) guru memanahku…eh…guruku menulis “Semangat itulah yang bisa melampaui waktu”…terimaksih guru, aku telah menulis hari ini dan untuk esok dan esoknya lagi. Dan juga buat Mr. Advant Garde dan Surealism, terimakasih telah selalu mengejekku karena gak laku-laku tapi selalu setia dalam debat-debat panjangnya ha…ha…salam buat Kang Pajar Aprianto.

Sekali lagi maaf…karena isinya ucapan terimaksih semua terhadap temen-temen Sospolku yang luar biasa, membersamaiku dalam membangun dan menghidupkan kisah kehidupanku.

Dan terakhir pesanku untuk semuanya: Jangan pernah coba-coba pacaran kalau tidak serius pacarannya!wkakakkakaakkak…ups…dilarang salah tafsir! Maksudku adalah ketika kau telah bertemu cinta maka ada dua pilihan: jatuh cinta atau membangun cinta, kalau katanya sang penulis buku Nikmatnya Pacaran Setelah Menikah, pilihlah yang kedua, kalau kata ku pililhlah dua-duanya karena mengapa harus memilih salah satu jika soal cinta kau bisa mendapatkan dua-duanya. Terimakasih banyak buat Salim A Fillah yang telah menginspirasiku untuk menulis hari ini, itulah alasan paling tepat bukan untuk apa-apa atau untuk siapapun. Aku menulis agar aku dicintai, itulah hal pertama yang ingin kubangun di sini atas nama Cinta sehingga pacaran bukanlah cara yang tepat untuk mengatakan dan menyatakan cinta.

Menjelang malam di Semarang, 2 Nopember 2010

Buat temen-temen Sospol atau temen-temen terbaikku yang lain yang tak kusebutkan, lain kali pasti kusebutkan dalam tulisanku yang lain. Hidupku tak berarti tanpa kalian…we always love you forever.

Buat para pembaca mohon maaf jika ada salah kata dan perkataan saya yang kurang berkenan, saya selalu menyediakan ruang diskusi untuk itu.



Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar