Kamis, 16 Desember 2010

BINTANG KEJORA DI LANGIT KENDAL sajak : enes suryadi.
oleh Enes Suryadi pada 15 Desember 2010 jam 21:25

BINTANG KEJORA DI LANGIT KENDAL

Sajak : Enes Suryadi.





Malam malam di langit kotaku, tak kutemukan lagi kejora. Pendar bulatan cahaya sebesar telur angsa begitu memikat mata.



Maka kumasuki lorong-lorong dan pelosok malam, di setiap tubir waktu, mencari kejoraku.



Dengan menenteng pelita minyak zaitun, kupanggil-panggil kejoraku. Suaraku menggema, mengetuk-ngetuk dinding langit yang mengantuk dan lena.



Dan langit pun terusik oleh suaraku. Para Bidadari dan Peri, dengan tangga cahaya, turun berombongan menghampiriku, menyatakan simpati padaku. Mereka memukul rebana, meniup seruling, memetik harpa, menari dan menyanyikan puisi, agar kejora bangkit dari sembunyi. Berdatangan pula burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, bergabung bersama Peri dan Bidadari. Mereka memanggil-manggil kejora dengan bahasa mereka.



Tapi kejora tetap juga sembunyi.



Maka di dalam malam yang kian menganga, kami lakukan perjalanan panjang amat mistis mencari kejoraku.



Kami lewati hutan-hutan, kami lewati persawahan, kami lewati sungai-sungai, kami lewati danau-danau, kami lewati gunung-gunung, kami lewati pemakaman.



Waktu lewat dan sunyi memeluk kami.



Kami tiba di pelabuhan.



Kapal-kapal lelap di tepi dermaga, di bawah cahaya dingin bulan yang sayup. Lelah berjalan, kami istirah di lantai dermaga. Setengah putus asa, kami seakan tak berniat bersuara. Hanya detak jantung dan nafas kami saling mencerna.



Waktu lewat dan resah memeluk kami.



Tiba-tiba, ketika aku tertarik mendongak langit, aku melihat segumpal awan tebal di utara menjauh mendekat bulan. Perlahan dan hati-hati, menyembul kulihat pendar cerlang cahaya dari sepotong bulatan kecil yang makin penuh dan penuh seiring ditinggal pergi awan mendekat melintas bulan. Dan ahai, aku terperangah, sempurna sudah pendar cahaya dari bulatan sebesar telur angsa begitu memikat mata kini kusaksikan. Tak ragu sudah, aku telah menemukan kejoraku di atas langit pelabuhan ini! Aku telah menemukan kejoraku! Dengan gembira yang histeria, kubangunkan para Peri, Bidadari, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, dari termangu mereka. Nyaris serempak mereka pun mendongak langit menatap kejora bagai tak percaya. Dan sesaat kemudian, dengan gembira yang juga histeria, mereka mulai pula berpesta. Mereka memukul rebana, memetik harpa, meniup seruling dan menyanyikan puisi-puisi surgawi sambil menari berputar-putar melingkar dalam sebuah tarian yang amat ritmis, menyambut kejora. Aku bagai tak puas-puas memandangi kejora yang terus menerus tersenyum amat sumringah.



Waktu lewat dan damai yang purna memeluk kami.



Tiba kini saat aku harus menjemput kejora untuk kubawa ke langit kotaku dan kumasukan ke dalam rumahku. Keharuan perpisahan mulai menjalari hatiku saat tangga cahaya mulai menuruni langit ke atas dermaga. Para Bidadari dan Peri, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, memandangiku bagai tak rela. Aku merasakan rebak air mata di dada mereka.



Seraya melambai dan menoleh beberapa kali pada sahabat-sahabatku para Bidadari dan Peri, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, dengan berat hati kutinggalkan mereka menaiki tangga cahaya untuk menjemput kejoraku. Malam begitu hening dan kudus. Tak ada suara-suara. Aku merasakan di dada para Bidadari dan Peri, burung-burung malam, kelelawar-kelelawar dan srigala-srigala perindu bulan, deras meleleh sudah air mata, berbarengan dengan deras lelehan air mata di dadaku. Tapi kutetapkan hatiku untuk melangkah terus menaiki tangga cahaya untuk menjemput kejoraku. Semakin tinggi aku menaiki tangga cahaya, semakin kurasakan berkurang kesedihan perpisahan. Kini kegembiraan yang tiada tara mulai menjalari seluruh dinding-dinding hatiku. Kurasakan juga kegembiraan tiada tara pada wajah kejora. Senyumnya kulihat makin sangat sumringah. Pendar-pendar cahaya cemerlang dari bulatan sebesar telur angsa begitu memikat mata! Oh…aku dirasuki kerinduan berabad-abad purba bermilyar tahun perjalanan cahaya. Aku merasakan kerinduan yang sama pula pada mata kejora.



Kini sampai sudah aku pada kejora. Dalam diam yang lama, kami hanya saling bertatap dan bertukar senyuman. Hanya isi dada kami saling memaknai dan bicara. Dan akhirnya, leburlah semua kerinduan purba kami dalam waktu yang tiba-tiba begitu sangat memendekkan jarak kami. Kami saling berpeluk dan berpagut, dalam selubung cahaya, dalam lingkar waktu bermilyar tahun perjalanan semesta yang memendek menjadi kini, tak ingin lepas-lepas lagi. Tak ingin lepas-lepas lagi. Tak ingin lepas-lepas lagi.



Waktu lewat. Malam dini hari menjelang pagi.







Tangerang, 28 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar