Kamis, 16 Desember 2010

Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja
Kamis, 24 Juni 2010 | 02:22 WIB
ARY AMHIR
Pantai pasir putih yang sunyi di Morotai.

Orkestra Jiwa

Sajak Pilihan Dimas Arika Mihardja

MENGABADIKAN CINTA

dari tanah kembali ke remah. begitulah risalah cinta
yang tak lelah kulidahkan siang dan malam. kugali tanah liat
di puncak bukit, serupa musa di puncak tursina kutatah dan kubentuk lekuk
misteri dalam puisi yang tak pernah jadi dan selalu sisakan nyeri:
jerit 99 namamu menjadi belati menusuk ulu hati!

dari remah kembali ke rumah cinta. begitulah kisah pengembara
melacak jejak mencinta. kuciumi setiap jejak kaki sepanjang jalan tualang
sebab setiap pergi adalah juga kembali dan setiap pulang adalah perjalanan
menuju rumah keabadian. rambu jalan dan tikungan, terminal dan pelabuhan
selalu saja bergetar saat peluit kapal memberi isyarat merapat
kusiapkan tali dan sekoci diri saat badai sore gemuruh sebelum kapal dan perahu
berlabuh. kupersiapkan janji perjumpaan untuk melunaskan impian camar

dari remah kembali ke rumah keabadian. begitulah kisah pejalan sunyi
menyisir pasir pantai, menghitung cangkang kerang, teripang, juga aneka
bayang memungut remah istana pasir usai diporandakan lidah ombak,
lalu jemari terus bergerak membangun istana yang baru. o, kekasihku,
sampan dan perahu rindu terus saja menderu sepanjang waktu
pergulatan!

bengkel puisi swadaya mandiri, 23 mei 2010

GERAI RAMBUT YESSIKA

saat rambutmu tergerai, di dada waktu tumbuh badai
menyapu butir pasir di pantai landai

ombak rambutmu menggelombang lalu bergulung
menyapu gedung dan gunung di dadaku

aku tersesat di hutan rambutmu yang hitam
menangkap kilau dan menghirup aroma bunga

saat rambutmu berkibar, aku menangkap kabar
awal dan akhir langkah: bersama kembaramu!

bengkel puisi swadaya mandiri, 23 mei 2010

JEMARI YESSIKA

jemari yessika selalu saja memetik dawai hati
nyanyikan qasidah cinta
mencabik jiwa mendamba
ngusap airmata

jemari yessika selalu saja alirkan irama bosanova
saat berjuta kuda lari di luas savana dada
debu debu waktu nempel di wajahku
dan jemari lentik itu memungutnya satu satu

jemari yessika selalu saja menanam rembulan
memanen matahari dan mengirim sampan ke sungai
sepanjang urat nadi!

bengkel puisi swadaya mandiri, 22 mei 2010

RENDEZVOUS: PADA SEBUAH PANTAI

dik, lihatkah riak dan ombak itu? itulah gemuruh
dadaku memandangmu

bang, lihatkah lidah ombak itu?
itulah harap dan cemasku pada kesetianmu

sejoli itu lalu saling pandang, membaca cuaca
mengabadikan nama di pasir yang lalu disapu ombak

bengkel puisi swadaya mandiri, 22 mei 2010

JARAK, SAAT MENJAUH

tentu saja aku meluka!
masih kuhafal harum parfum di leher jenjang saat ayat
tibatiba menyayat: aku lebih dekat dari urat lehermu

kekasihku, jangan lagi kau siksa aku
dengan berlaksa jarak
aku masih ingin berlamalama di atas ranjang gelombang
bersama mengambang di langit kamar dan menulis kaligrafi

kereta senja menjelang dan aku mengejang
mengeja bayang menghilang:
tinggalkan senyum itu!

bengkel puisi swadaya mandiri, 2010

POTRET DIRI: MEMBACA BIOGRAFI YANG TAK BERSIH

ayah mengajarkan bagaimana membaca sejarah
sebuah wajah takkan berubah lantaran limbah
percayalah pada kesejukan lembah
pada diam tugu batu
segala lagu dan ngilu membeku di situ

lihatlah, pada mataku berkibar sebuah bendera
mengabarkan gelora cinta pada keabadian
sungaisungai dan muara menjadi tanda perjalanan
dan lautan merekam perih kehidupan

sejarah takkan membelah diri menjadi bayi
bicara pada sunyi
membangun biografi di atas duriduri
abadi mendekap luka ini

bengkel puisi swadaya mandiri, 18 mei 2010

KIDUNG REMBANG PETANG

seiring lagu rindu kuketuk pintu hatimu, ibu
telah lama aku berjalan menembus kabut di matamu
mengurai mbako susur yang melingkar di bibir waktu
terasa pahit di lidah, tapi tak juga kaumuntahkan
lewat angin semilir kukirim lagu rindu menembus langit biru

kini aku melangkah menujumu, ibu
aku mengarah hanya pada puting susumu
masih kuingat betapa jari jemarimu tak letih
menyulam perih luka batinku

meski tertatih, kini jemari tanganku tak letih
meniti tasbih menguntai jiwa putih
mendekap jiwa perih. ibu, sendirian aku berjalan
memasuki gerbang istana-Nya, mengetuk piintu rindu
ibu, senjakala berwarna jingga mengurai senyummu.

bengkel puisi sawada mandiri, jambi 18 mei 2010

SAJAK PENDEK UNTUKMU

aku mau meneruskan perjalanan
menjumput Kasihmu
bagi kekasihku yang merindu
kabulkanlah: amin.

bengkel puisi swadaya mandiri, 18 mei 2010

AKU MEMANGGIL NAMAMU IBU

setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu: ibu!
bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta? ibu,
jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang
kupanggil sepenuh gigil hanya namamu. saat sampan dan perahu melaju
di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagi sampan
bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar

jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran
rindang pohon di sepanjang tualang mengingatkan hangat dekap di dadamu
deru lalulintas jalanan, ramburambu, dan simpang lampu adalah nasihat
yang selalu mengobarkan semangat berjihad

aku memanggil namamu ibu
sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh
aku memanggul namamu ibu
sebab segala lagu mengombak di bibirmu
aku selalu memanggil dan memanggul namamu:
ibu!

bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 17 mei 2010

KISAH KASIH

selalu kukisahkan padamu pelita yang tak pernah padam
sebab cahayanya selalu nyala di dalam dada. saat tangan
saling genggam kita menghitung ruas jemari dengan nafas
kasih dan kisah keabadian. kita bertegursapa di ruang lengang
mengurai misteri cinta lalu sama melinangkan airmata
keharuan selunas kerinduan

akulah Adam yang menggenggam buah kuldi, menimbang
keraguan demi sebuah pertanyaan, "kenapa buah ini dilarang?"
Hawa pun lalu merasa hampa penuh damba "kanda, santaplah!"
maka petaka pertama terasa mendera lantaran mencinta. sorga
tak ada lagi sebab mereka telah tercampak di bumi mendekap nyeri
harihari yang panas dan ranggas: tersesat di hutan penuh binatang buas

"Hawa, aku di sini!" teriak Adam di rerimbun semak sajak, "di manakah
engkau kekasihku?" di suatu tumpak bergurun pasir mahaluas Hawa pun
menjelma burung, hatinya suwung disaput mendung. sayapsayapnya
yang patah mengibaskan Siksa dan Dera. Adam dan Hawa tersesat
di rimba gelap, di tengah belantara yang Senyap. mereka lalu
membangun unggun dari serpihan resah, rerating duka, dan puing
dosa. mereka menatap kelebat doa berharap ampunan-Nya.

benegkel puisi swadaya mandiri, jambi 2010

AN NUR OO:50

ana nur, ada cahaya, menyala di dalam dada
terasa sayat ayatayat saat risau dan galau menjadi pisau
o, tikamkan lagi dan lagi kilau pandangmu di surau hatiku
biar aku meregang dan menegang dipanggang api cintamu

kau dan aku bercumbu di atas lembaran permadani bermoitif lampu gantung
serasa aku terbang melayang di cerlang cahayamu
menarikan jemari melati putih
o, putikkan lagi kelopak bunga hatiku

usai sudah pertemuan demi pergumulan di atas ranjang malam
dalam gelap melindap cahayamu merayap. hangat
mengusap debudebu di hati merindu: hanya cahaya
semata cahaya!

bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 16 mei 2010


SERENADA RUMAH CINTA

telah kubangun sebuah rumah di dalam dada : tersusun
dari batubatu rindu, desir pasir waktu, semen kesetiaan
pada ruang tamu kupajang kaligrafi, rumah Allah, dan kubah
mesjid. di beranda depan saling berhadapan kursi buat kencan
dan di sebuah ruang lengang tergelar sajadah dan untaian 99
permata namamu

atap rumah, iman, menebarkan rasa nyaman dan melindungi
cuaca buruk, salah musim, dan kemarau panjang. dinding rumah itu
terbuat dari anyaman sajak yang penuh isak keharuan. daun
pintu dan jendela selalu nganga terbuka membagi kesejukan
sepanjang musim bercinta

di kebun belakang kutanam pohonpohon jatidiri yang tumbuh
di antara ilalang yang tak lelah bergoyang menyebut 99 nama
di taman depan kutanam beraneka bunga yang beraroma, tempat rama-rama
dan kupu bercumbu sepanjang waktu


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 15 mei 2010

KISAH PADA JENDELA BASAH

saat kaubuka jendela dadamu, ada yang termangu memandang laut rindu
mengombak dalam kecipak riak. perahu perahan rindu bersilancar
di kedalaman debar saat seraut wajah tak juga singgah di malam
penuh penantian. ia masih termangu memandang kumandang
desah kerinduan yang rindang: ingin berdekapan

saat kumasuki jendela dadamu yang nganga terbuka, kurasakan
gigil cintamu memanggil dan menyebut hanya namaku. ya, aku
akan datang setiap bibir hatimu berdzikir sepenuh gigil. aku akan menginap
di kedalaman hatimu saat mengingatku, tapi aku segera bergegas lepas
saat kau mulai melupa katakata doa

kaca jendelamu biarkan terbuka. biarkan kacakaca itu memantulkan
seraut wajahnya, juga seulas senyum yang kaurindu. ia telah masuk
dan merasuk di kenyal hatimu saat jendela dadamu basah terbasuh
linangan airmata cinta semata.

bengkel puisi swadaya mandiri, jambi, 15 mei 2010

MAKRIFAT JUMAT

1/
ana nur, ada cahaya yang melumuri seluruh tubuh menjadi aura cinta. ana nur
bermakna ada bersama cahaya, adanya bermula dari cahaya hingga dadanya
penuh cahaya. ia berada dan mengada hanya lantaran cahaya. apakah kalian lihat
cerlang mata cahayanya? seperti juga yessika yang suka mandi cahaya dan tak suka
menantang bahaya, di dalam dadanya selalu bergetar perasan perasaan suka
pada sesama, sepenuh cinta.

2/
asal muasal manusia dari setetes air hina. apakah dengan begitu mereka pantas dihina? jika air hina itu menetes dari perasan cinta dan atas kehendak dan titah, apakah zarah mendebu yang melekati seluruh tubuh tak bisa disucikan dengan terang cahaya? hanya di terang cahaya manusia bisa mengaca betapa debu waktu akan mengajarkan doa dan pengharapan, cinta dan pengabdian, usaha menumbuhkan rasa sayang sepanjang malam dan siang.

3/
di dalam dada manusia terdapat jagad kecil, tempat jantung dan hati berdegup
menyebut makna cahaya. dada akan terasa hampa tanpa cahaya. dada diancam bahaya
bila di dalamnya tumbuh hutan lengkap dengan binatang buas yang saling terkam. dada akan menghitam saat cahaya melindap. sebaiknya dada apabila di dalamnya tumbuh taman bunga beraneka. terasa ada keharuman, kelembutan, dan rasa sayang
yang selalu berkembang.

bengkel puisi swadaya mandiri, 14 mei 2010

MENYISIR PANTAI, 1
kembali kuterjemahkan arah kaki menyisir pantai
memaknai kilau butir pasir yang terus berdesir
menikmati dingin riak dan cambuk ombak yang menderas
mengabadikan bayangmu di cakrawala senja

wajahmu mengambang
berenang ke tepian hatiku

o, aku tak ingin melenggang menuju pulang
sebelum mendekap cintamu!


bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 2010

MENYISIR PANTAI, 2

ingin kuajak kaki kalian menyisir pantai landai
menghitung desir pasir, kerikil, dan bebatuan lumutan. lidah ombak
tak lelah menjilati bibir pantai. berpasang camar gemetar di tiang layar
bertahan dari hantaman badai

kapal dan perahu melaju di hati merindu, merapat di dermaga
cintamu. ada juga kerang, teripang, dan aneka bayang
menggenang dan menggunung di dada yessika. kiblat, niat dan tekad
menjadi karang, tempat burung membangun sarang. karang itu
telunjuknya lurus ke langit

di pantai, bertemu dua dunia: laut dan darat
bayang maut dan isyarat tamat. angin mengendap di darat
dan laut mendeburkan gelora denyut hidup. darat dan laut
berpagut dan kita di sini saling renggut!


bengkel puisi swadaya mandiri, usai samadi 2010

MELANGIT CINTAKU

wajah awan
gerak hujan

pukau bayang
kilau wajahmu

tembus atap langit
lengkingan jerit:

cinta terasa legit!

bengkel puisi swadaya mandiri, 13 mei 2010

SAJAK BULAN KEEMASAN
: bersama weni suryandari & trisnowati josiah

awal mula adalah perjumpaan
saat malam mengandung rembulan
maka purnamalah kerinduan

kau berbisik pelan, "ada yang mencarimu"
dan aku menyaksikan bidadari malam memijarkan senyuman
lalu sama kita jumput kata yang berkejaran di keremangan
sama kita pagut hangat rembulan

di atas terang cahaya semakin jelas kata bersitatap
seperti lambaian sayap malaikat. seusai saling jabat dan dekap
kembali kau berbisik pelan, "ada yang mencarimu"
dan aku menyaksikan senyum itu purnama di wajahmu

bengkel puisi swadaya mandiri, jambi 10 Mei 2010

MENEMU PEREMPUAN DALAM SAJAK

malam mengirim rembulan di dadaku. engkaulah kemilau
pada remang malam. senyumkan lagi degup yang hidup
di dalam hangat dekapan!

akulah adam yang selalu merindu wangimu dalam aroma sajak putih
dan engkaulah hawa yang berhembus dalam tarikan nafasku!

kutemukan dirimu tersenyum dalam purnama kata
kutemukan dirimu dalam sajak penuh isak keharuan
tak letih menterjemahkan makna kerinduan
yang maha dalam!

bengkel puisi swadaya mandiri, jambi mei 2010

USAI PERTEMUAN

apakah yang kalian lipat usai pertemuan?
ya genang kenangan saat dada kita saling merapat,
merapal dan mengamalkan doadoa

tiada yang kusebut selain hanya denyut namamu
sepanjang waktu bercumbu. tanganku
masih bergetar usai menguntai ruas jemari waktu sembari terus
menyebut harum namamu kekasih. berkali kau raba nadi
dan tak henti kaualiri rasa kasmaran ini

usai pertemuan, jalan membuka arah petualangan
dan ramburambu di tepi jalan
memberi ciuman kehangatan.

Depok, 8 Mei 2010

LILIN UNTUK RAMA

LILIN itu biarlah menyala sepanjang waktu. telah kita nyalakan lilin diri, tak lelah
leleh di beranda dada. lihatlah nyala itu, cahaya yang berCahaya di remang galengan
hingga rumput di sepanjang jalan turut menyebutmu sebagai doa

LILIN itu biarlah tetap menyala di dadamu. hingga mawar itu mengelopak di lapak
pasar loak menjajakan sandang-papan-pangan sebagai bekal perjalanan. kau tak perlu
tahta itu. kembalilah masuk ke relung pertapaan. di sana senyap akan menyergap
dan gemerlap.

LILIN itu terus nyala di kerling matamu, rama!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 7 Mei 2010

MATA EYANG
: erry amanda

MATA elang itu tak berkedip memandangmu. garuda itu selalu mengepakkan sayap waktu di keluasan dadamu. mata eyang selalu bening berkilau mewartakan untaian isyarat yang semestinya kalian tangkap: ayatayat

MATA eyang tak lekang oleh panas, tak bsah oleh simbah hujan. mata itu selalu saja
mengawasi gerakgerik waktu lalu mengabadikannya di dalam senyum cerah-bergairah untuk selalu bercumbu dengan aneka bayangmu: derita cinta itu

MATA eyang adalah mata garuda, elang gunung yang tak pernah murung. tak pernah
mengurung atau mau dikurung. mata yang sepenuh renung. tiap pagi, mata itu
adalah matahari. dan malam menjadi kilau-pukau rembulan. bintangbintang di langit
wingit selalu mewiridkan gurit kepada kalian: berjuta murid.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 7 Mei 2010

PEREMPUAN YANG MENCARI KONDE PENYAIR HAN
: diah hadaning dan hanna fransisca

PEREMPUAN itu datang dari pantai kartini: jati jepara
bersanggul melati pada rambut kembang bakung
ia suka menanam bunga gundosuli di halaman rumahnya. pohon itu tumbuh
di dekat kolam ikan. 700 puisi di hari jadinya ke-70. perempuan yang mencari itu telah tumbuh menjadi beringin putih yang sulursulurnya menjulur sebatas bahu.
dahan tangannya tumbuh daun kasih sayang dan akar tunjangnya berserabut
melindungi kolam dan ikanikan. perempuan yang mencari itu tumbuh diasuh angin gunung merapi dibasuh rindu gelinjang waktu hingga di dalam tubuhnya mengalir sunga-sungai.
perempuan yang mencari itu suka menggambar segitiga samasisi:
langit
ibu bumi
laut.

KONDE yang dicari wanita itu dikenakan Penyair Han malam ini. Konde Penyair Han tentu bukanlah hiasan atau aksesoris. Konde, seperti juga keris yang dikenakan
oleh perempuan yang mencari itu disisipkan di belakang pinggangnya, dan siap bergerak menusuk atau menikam tanpa dendam, melainkan cinta semata. Konde dan keris samasama punya aura dan kharisma.

KONDE dari daratan cina memancarkan cinta. itulah mengapa perempuan berkeris itu lalu mencari Konde Penyair Han untuk bisa duduk berdampingan di altar persembahan merayakan kemenangan.

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 7 Mei 2010

NADA CINTA DI REMBANG PETANG
: buat eyang erry amanda yang memanen senja

masihkah mengingat genang kenangan, saat kelebat bayang senja menapak
di pantai landai? kita sama duduk diaduk pertanyaan, "inikah senyum waktu?"
kau bertanya sembari bersandar pada karang. lalu kita sama menghitung
jejak pada pasir basah. lalu kita sama membasuh kaki pada lidah ombak. lalu

kau genggam jemariku melihat waktu di bening matamu. apakah kita pernah
bertamu, bertemu lantas bercumbu? selalu saja engkau meragu. pertemuan
demi perjumpaan ternyata tidak mengguratkan tanda. "apakah kau masih mencinta?"
ya, seperti gemuruh waktu di dadaku, aku hanya menyebut namamu. lalu

angin menderas senja itu. kau duduk di muka wajah berpelangi.
harum rambutmu mengombak dan berenang di atas air yang menderas
ya, kau telah melinangkan air di sudut hatiku yang merindu. tiap waktu
kita bertemu. berkisah tentang arah perjalanan pulang
yang kian lengang!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 4 Mei 2010

KWATRIN: SEBELUM BERANGKAT

suraisurai kuda merah-putih hati memantas diri
sebelum matahari memanaskan api pembakaran
jemari tak letih menarinari menunjuk ke langit
yang mengabadikan cinta dan segala prahara


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Mengawali Mei 2010

KWATRIN : MEI MENUJU DANAU NING ATI (1)

"pa, ini tanggal satu kan?" bisik ibu nurani sembari kecup pipi
pagi selalu saja berseri, bersiap mengantar bidadari menjumput bintang
mei pelan menapak dan mengajak ke danau ning ati yang berkilau airnya
sebagai matahari aku selalu memepati janji untuk datang dan lalu pergi

"kenalkah kalian pada mei?" tanyaku pada rumput di sepanjang jalan
rumput itu terus bergoyang dengan riang menyanyikan serenada dan gita kembara
"mei hanyalah kembaranku saat melawat langit di bawah rindang cemara"
rumputrumput itu tak lagi cemberut, ia menghamparkan embun di ujung daun

seusai april menggigil, kini mei yang berselendang keemasan datang melenggang
rambutnya yang kembang mayang dibiarkannya melambai serupa surai
saat selalu berlari mengejar waktu dan bersama menuju zaman baru
hei, mei berjalan sendiri ke danau ning ati menuju sunyi!

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Awal Mei 2010

KWATRIN: MEI MENUJU DANAU NING ATI (2)

maju dua langkah kalian sampai di bibir danau cemara
duduklah. hirup udara segar. kosongkan pikiran. atur nafas.
heningkan cipta. ya, kalian telah sampai danau ning ati
keheningan yang bening mengambang di wajah yang teduh

desau cemara menghalau risaurisau
desah angin mengalirkan keinginan
gericik air mericikkan gugusan gagasan
kebeningan yang hening terasa nyaring

maju dua langkah, mei menghitung hari
mengejar matahari bersama matahati
di alir waktu bergulir: ia tersihir oleh langkah
memanjang seluas sajadah bermotif ka'bah


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi, 2 Mei 2010

SAJAK BAGI YESSIKA

(1)
yang terbayang hanya jemarimu saat menyapa bibirku
sembari berkata: "adakah keabadian seusai kebisuan dan
kebisingan rayuan setiap saat? berapa harga sebait doa
yang melangit?" kau tak menjawab, hanya kian merapat
dan mengusap wajahku yang berdebu

(2)
kau selalu membuka jendela, hingga ruang pertemuan
menghangat saat kita saling dekap semalaman di ranjang
waktu menggelinjang. kaulah yang mengajarkan bagaimana
aku menyebut indah namamu malam itu, yessika
sungguh kita mengarungi bahtera bahagia

(3)
di jalan pasir berliku kutahu banyak tapak jejak untuk kembali
dalam dekapmu, yessika. aku mulai merasa harum tubuhmu
saat lidah ombak menyapu gambar hati terpanah di pantai
saat camar gemetar di tiang layar, kau pernah berujar:
perahu berlayar ke pangkuan!

(4)
sajak putih yang kugubah, yessika
adalah cermin yang menyumbulkan bayang cantik parasmu
saat bersolek memoles dan memulas alis mata cahaya
sajak yang tak letih menulis harum rambutmu
adalah bahasa diam, jauh dari mendendam

(5)
yessika, telah kurenggut topeng di muka pura
kini aku telanjang bugil dalam gigil mengekalkan
peradaban: ritual peribadatan!
riak dan ombak menjilat pantai sekadar untuk terburai
mengurai makna cinta!


Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2010

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, Jambi 2010

TENTANG PENULIS
Dimas Arika Mihardja adalah pseudonim Sudaryono, lahir di Yogyakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003). Sajak-sajaknya terangkum dalam antologi tunggal seperti Sang Guru Sejati (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Malin Kundang (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1993), Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Potret Diri (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,1997), dan Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri danTelanai Printing Graft, 2003). Sajak-sajaknya juga dipublikasikan oleh media massa lokal Sumatera: Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan; media massa di Jawa: surabaya, Malang, Semarang, Jogja, Bandung, dan Jakarta. Antologi puisi bersama antara lain Riak-riak Batanghari (Teater Bohemian, 1988), Nyanyian Kafilah (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Prosesi (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1992), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi, 1992, 1993), Serambi 1,2,3 (Teater Bohemian, 1991, 1992, 1993), Rendezvous (Orbit Poros Lampung (1993), Jejak, Kumpulan Puisi Penyair Sumbagsel (BKKNI-Taman Budaya Jambi, 1993), Luka Liwa (Teater Potlot Palembang, 1993), Muaro (Taman Budaya jambi 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Negeri Bayang-bayang (Festival Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ-TIM Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa Bandung, 1997), Amsal Sebuah Patung: Antologi Borobudur Award (Yayasan Gunungan Magelang, 1997), Angkatan 2000 dalam Kesusastraan Indonesia (Gramedia, 2000), Kolaborasi Nusantara (KPKPK-Gama Media, 2006), Antologi Puisi Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2007), Tanah Pilih (Disbudpar Provinsi Jambi, 2008), Jambi di Mata Sastrawan: bungarampai Puisi (Disbudpar Provinsi Jambi, 2009). Novelnya Catatan Harian Maya dimuat secara bersambung di Harian Jambi Independent (2002). Cerpen, esai, dan kritik sastra yang ia tulis tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah. . e-mail: dimasarikmihardja@yahoo.co.id. atau dimasmihardja@gmail.com,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar